Mohon tunggu...
Sosbud Artikel Utama

Pabrik Gula di Yogya Tidak Hanya PG Madukismo

20 Mei 2017   11:40 Diperbarui: 20 Mei 2017   17:29 9195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga Schmutzer, pemilik PG Gondanglipuro ( sumber : geheugenvannederland.nl ).

Selama ini, masyarakat awam apabila ditanya soal pabrik gula apa yang berada di Yogya, rata2 pasti akan menjawab PG Madukismo. Benarkah demikian ? Fakta sejarah menunjukan bahwa di masa kolonial, Yogya pernah memiliki 19 pabrik gula. Selain Gunungkidul dan Kota Yogyakarta, pabrik gula itu tersebar hampir merata di penjuru  provinsi D.I.Y. Penasaran bagaimana ke-tujuh belas pabrik gula tersebut bisa berdiri di Yogyakarta dan mengapa akhirnya tinggal nama saja.

Berawal dari UU Liberal.

Belanda, sekitar 1870an. Para pengusaha swasta di Belanda sedang tersenyum. Ya, mereka mendapat angin segar berupa Agrarische Wet yang baru saja disahkan oleh parlemen. Poin utama pada undang-undang tersebut ialah semakin terbukanya ekonomi kolonial untuk swasta. Berbondong-bondong para pengusaha swasta menanamkan modalnya di Hindia-Belanda dalam bentuk perusahaan perkebunan swasta berorientasi tanaman ekspor seperti teh, kopi, kina, tembakau, dan terutama, tebu. Pada waktu itu, harga gula di pasaran dunia sedang cukup bagus sehingga dibukalah perkebunan tebu beserta pabrik gula dari Pantura hingga Jawa Timur. Wilayah Yogyakarta-Surakarta yang pada waktu itu disebut Vorstenlandenjuga ikut menikmati manisnya bisnis gula.

Pabrik gula Medari ( sumber : geheugenvannederlan.nl ).
Pabrik gula Medari ( sumber : geheugenvannederlan.nl ).
Tanahnya yang subur dan banyaknya sumber air yang cukup untuk menghidupi tanaman tebu menjadi alasan mengapa di wilayah Vorstenlandenkhususnya Yogyakarta bisa memiliki 19 pabrik gula. Seandainya semua pabrik gula tersebut melakukan giling bersama, dapat dibayakang udara Yogyakarta bakal pekat oleh asap pabrik dan dimana-mana akan tercium aroma limbah gula yang khas. Pabrik gula yang pernah berdiri di bumi Mataram antara lain PG Medari, PG Beran, PG Cebongan, PG Sewugalur, PG Gesikan, PG Bantul, PG Gondanglipuro, PG Barongan, PG Padokan, PG Demakijo, PG Rewulu, PG Sedayu, PG Klaci, PG Sendangpitu, PG Kedaton Plered, PG Pundong, PG Kalasan, PG Randugunting, dan PG Wonocatur.

PG Padokan. Di sinilah nantinya akan dibangun PG Madukismo ( sumber : troppenmusuem.nl ).
PG Padokan. Di sinilah nantinya akan dibangun PG Madukismo ( sumber : troppenmusuem.nl ).
Di tengah-tengah perjalanan, industri gula di Yogyakarta sempat diguncang dengan aksi pemogokan buruh tani dan pabrik secara besar-besaran pada tahun 1882. Para buruh ini menuntut kenaikan upah dan keringanan wajib kerja tanpa upah. Tuntutan yang tidak kunjung dipenuhi membuat massa semakin beringas. Tercatat beberapa administrator pabrik gula seperti W.J. de Ruyter de Wildt, Pijnacker Hoordijk, dan Broce terpaksa melarikan diri ke kota setelah rumah mereka dirusak oleh buruh. Akhirnya tuntutan buruh dipenuhi dan kondisi perkebunan tebu dan pabrik gula menjadi lebih kondusif.

Keluarga Schmutzer, pemilik PG Gondanglipuro ( sumber : geheugenvannederland.nl ).
Keluarga Schmutzer, pemilik PG Gondanglipuro ( sumber : geheugenvannederland.nl ).
Menariknya, tidak semua pabrik gula memperlakukan para buruh dengan sewenang-wenang seperti cerita di atas. Mungkin dari semua pabrik gula yang ada di Yogyakarta, PG Gondanglipuro yang dikelola oleh Julius dan Joseph Schmutzer adalah yang paling humanis. Sejak tahun 1912, PG Gondanglipuro yang semula milik E.F.W. Kathaus, diwariskan kepada putranya, Schmutzer bersaudara. Manajemen pabrik dibenahi dan mesin-mesin baru dipasang untuk meningkatkan kinerja pabrik. Sebagai penganut Katolik yang taat, Schmutzer bersaudara mematuhi Ajaran Sosial Gereja yang dicetuskan oleh Paus Leo XVIII. Ajaran yang menekankan pada hubungan baik kaum buruh dengan majikan dan sebaliknya diterapkan dalam bentuk pendirian sekolah dan rumah sakit di sekitar PG Gondanglipuro. Tidak lupa pula dibangun sebuah gereja di dekat pabrik yang kini menjadi Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran..

Nyaris Tak Tersisa

Yah, sayangnya kejayaan ke-sembilan belas pabrik gula tadi kini tinggal bayanganya saja. Lupakanlah gambaran tentang kompleks pabrik gula yang besar dengan deretan rumah dinas pegawainya yang megah karena jika ditelusuri satu persatu, rata-rata kompleks pabrik gula tersebut sudah menjadi pemukiman warga atau kebun. Meskipun demikian, tidak semua pabrik gula di Yogyakarta habis tidak tersisa. Beberapa di antaranya masih meninggalkan jejak yang setidaknya bisa memberi gambaran pabrik gula di masa jayanya. Pabrik gula yang jejaknya cukup signifikan antara lain di PG Medari, PG Sewugalur, PG Kalasan, PG Wonocatur, PG Randugunting, dan PG Gondanglipuro.

Bekas cerobong PG Randugunting ( dokumentasi pribadi ).
Bekas cerobong PG Randugunting ( dokumentasi pribadi ).
Bekas rumah administrateur PG Medari ( dokumentasi pribadi ).
Bekas rumah administrateur PG Medari ( dokumentasi pribadi ).
Di eks PG Medari, kita dapat melihat bekas rumah administrateur atau kepala Pabrik gula yang saat ini menjadi SMP N 1 Sleman. Di seberangnya juga terdapat rumah bergaya Indis yang juga menjadi bagian dari bekas PG Medari. Kemudian di PG Kalasan masih tersisa beberapa rumah dinas pegawai pabrik yang kondisinya cukup utuh. Sementara  PG Sewugalur yang ada di Kulonprogo, selain menyisakan bekas bangunan rumah dinas pegawai, juga menyisakan kompleks makam Belanda atau lazim dikenal sebagai kerkhof. Beranjak ke PG Randugunting, bekas dudukan cerobong asap yang sangat besar masih berdiri dengan kokohnya di tengah pemukiman warga. Jangan lupakan pula, Museum Dirgantara yang sering dikunjungi orang, itu dahulunya adalah bangunan Pabrik Gula Wonocatur yang dikonversi menjadi museum.

Bekas rumah dinas PG Sewugalur ( dokumentasi pribadi ).
Bekas rumah dinas PG Sewugalur ( dokumentasi pribadi ).
Gara-gara Krisis Ekonomi

Lalu mengapa Pabrik-pabrik gula tersebut sudah nyaris tidak tersisa lagi ? Waktu mundur kembali, kali ini pada tahun 1930an. Dunia pada waktu itu sedang lesu. Badai krisis ekonomi baru saja menghantam perekonomian dunia dengan begitu hebatnya. Harga-harga barang ekspor anjlok tajam, termasuk gula. Tidak mau terus merugi, perusahaan-perusahaan yang berinvestasi pabrik gula di Jawa akhirnya memutuskan untuk menutup pabrik. Dari ratusan PG yang ada di Jawa, paska krisis diperkirakan tinggal puluhan saja yang masih bertahan. Di Yogyakarta sendiri, dari 19 pabrik gula, tinggal tujuh saja yang masih beroperasi. Cobaan datang kembali ketika tentara Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Semua pabrik gula yang masih bertahan diambil alih dan setelah kemerdekaan, tinggal empat saja. Sialnya, paska kemerdekaan, pabrik-pabrik gula itu menjadi korban taktik bumi hangus dengan tujuan agar bangunan pabrik gula tidak digunakan sebagai markas Belanda. Berkahir sudahlah eksistensi pabrik gula milik Belanda di Yogyakarta. Di atas puing sebuah pabrik gula, yakni PG Padokan, dibangun sebuah Pabrik Gula baru yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1955. Kini pabrik gula baru itu dikenal sebagai PG Madukismo…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun