Selama ini, masyarakat awam apabila ditanya soal pabrik gula apa yang berada di Yogya, rata2 pasti akan menjawab PG Madukismo. Benarkah demikian ? Fakta sejarah menunjukan bahwa di masa kolonial, Yogya pernah memiliki 19 pabrik gula. Selain Gunungkidul dan Kota Yogyakarta, pabrik gula itu tersebar hampir merata di penjuru  provinsi D.I.Y. Penasaran bagaimana ke-tujuh belas pabrik gula tersebut bisa berdiri di Yogyakarta dan mengapa akhirnya tinggal nama saja.
Berawal dari UU Liberal.
Belanda, sekitar 1870an. Para pengusaha swasta di Belanda sedang tersenyum. Ya, mereka mendapat angin segar berupa Agrarische Wet yang baru saja disahkan oleh parlemen. Poin utama pada undang-undang tersebut ialah semakin terbukanya ekonomi kolonial untuk swasta. Berbondong-bondong para pengusaha swasta menanamkan modalnya di Hindia-Belanda dalam bentuk perusahaan perkebunan swasta berorientasi tanaman ekspor seperti teh, kopi, kina, tembakau, dan terutama, tebu. Pada waktu itu, harga gula di pasaran dunia sedang cukup bagus sehingga dibukalah perkebunan tebu beserta pabrik gula dari Pantura hingga Jawa Timur. Wilayah Yogyakarta-Surakarta yang pada waktu itu disebut Vorstenlandenjuga ikut menikmati manisnya bisnis gula.
Nyaris Tak Tersisa
Yah, sayangnya kejayaan ke-sembilan belas pabrik gula tadi kini tinggal bayanganya saja. Lupakanlah gambaran tentang kompleks pabrik gula yang besar dengan deretan rumah dinas pegawainya yang megah karena jika ditelusuri satu persatu, rata-rata kompleks pabrik gula tersebut sudah menjadi pemukiman warga atau kebun. Meskipun demikian, tidak semua pabrik gula di Yogyakarta habis tidak tersisa. Beberapa di antaranya masih meninggalkan jejak yang setidaknya bisa memberi gambaran pabrik gula di masa jayanya. Pabrik gula yang jejaknya cukup signifikan antara lain di PG Medari, PG Sewugalur, PG Kalasan, PG Wonocatur, PG Randugunting, dan PG Gondanglipuro.
Lalu mengapa Pabrik-pabrik gula tersebut sudah nyaris tidak tersisa lagi ? Waktu mundur kembali, kali ini pada tahun 1930an. Dunia pada waktu itu sedang lesu. Badai krisis ekonomi baru saja menghantam perekonomian dunia dengan begitu hebatnya. Harga-harga barang ekspor anjlok tajam, termasuk gula. Tidak mau terus merugi, perusahaan-perusahaan yang berinvestasi pabrik gula di Jawa akhirnya memutuskan untuk menutup pabrik. Dari ratusan PG yang ada di Jawa, paska krisis diperkirakan tinggal puluhan saja yang masih bertahan. Di Yogyakarta sendiri, dari 19 pabrik gula, tinggal tujuh saja yang masih beroperasi. Cobaan datang kembali ketika tentara Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Semua pabrik gula yang masih bertahan diambil alih dan setelah kemerdekaan, tinggal empat saja. Sialnya, paska kemerdekaan, pabrik-pabrik gula itu menjadi korban taktik bumi hangus dengan tujuan agar bangunan pabrik gula tidak digunakan sebagai markas Belanda. Berkahir sudahlah eksistensi pabrik gula milik Belanda di Yogyakarta. Di atas puing sebuah pabrik gula, yakni PG Padokan, dibangun sebuah Pabrik Gula baru yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1955. Kini pabrik gula baru itu dikenal sebagai PG Madukismo…
Demikianlah kisah manisnya industri gula di Yogyakarta. Yah meskipun di balik manisnya gula tentu ada kisah pahitnya kehidupan para buruh tani tebu dan pabrik gula, tapi itu semua tentu akan menjadi cerita menarik yang akan kita ceritakan pada anak cucu kita suatu hari nanti..
Referensi
http://jejakkolonial.blogspot.co.id/2016/05/bayangan-kejayaan-pabrik-gula-kalasan.html
http://jejakkolonial.blogspot.co.id/2015/11/yang-tersisa-dari-pabrik-gula-medari.html
http://jejakkolonial.blogspot.co.id/2016/02/telusur-sisa-pabrik-gula-sewugalur.html
Dingemans, L.F. 1920. Gegevens Over Djokjakarta.Â
van Bruggen, M. P dan Wassing, R.P . 1998. Djokja Solo; Beeld van Vorstenlanden. Asia Maior. Amsterdam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H