Bismillah,
"Hilal telah tampak" adalah kata perumpamaan yang diyakini Al bahwa akan segera ia dapatkan setelah bekerja di sebuah pabrik di Kota besar ini. Walau semua orang mengeluhkan beratnya Work From Home, namun tidak dengan Al. Ia malah tidak diberikan hari libur sedikitpun oleh bos-nya. Tiap hari tetap masuk pagi pukul 8 dan baru selesai bekerja pukul 4 sore. Memang semua protokol kebersihan dan jaga jarak saat bekerja diterapkan dengan baik oleh bos-nya. Namun....tetap saja Al merasa ada yang tidak benar karena alih-alih mematuhi aturan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, ini malah Al melanggarnya.
"Memange kowe biso opo?
Nek wani mbolos kerjo... Mengko kowe ora nduwe sangu gawe ibukmu nang deso loo... Arepe lebaran ngene."kata salah satu rekannya.
((Memangnya kamu bisa apa?
Berani bolos kerja, nanti malah di PHK dan gak dapet pesangon untuk Ibumu di desa. Apalagi mau lebaran begini...))
Huuff~
Memang susah kerja ikut orang, batin Al.
Selain bekerja di pabrik, waktu Al juga digunakan untuk tetap mengajar mengaji, walau saat ini sedang dirumahaja. Selama Ramadan, Al memindahkan jadwal mengajinya di malam hari, ba'da Isya. Muridnya yang rata-rata juga sesama pekerja, sangat senang bila Al sudah menyapa dengan bahasa Arabnya yang fasih.
Assalamu'alaykum...
Kaifa haluki, antum?
Alhamdulillah~
bi khoir...
Semangat Al yang membara saat mengajar mengaji, membuat semua murid-muridnya yang berjumlah 3 orang itu menjadi makin semangat. Tak pernah ada kata membolos, Al selalu mengajar tanpa pamrih.
Pernah suatu hari Al diberi uang untuk sekedar mengganti uang transportasi selama mengajar, ia malah menolak dan berkata "Afwan...lain kali doakan ana saja.." Begitu pinta Al kepada murid-muridnya.
Kebiasaan baik yang terus Al lakukan adalah terus menerus berucap syukur atas segala yang ia miliki. Walau pernah suatu hari, Al hanya memiliki uang 5 ribu rupiah di sakunya. "Bagaimana aku bisa makan?" Pikirnya.
Namun segera ia buang jauh-jauh prasangka buruk terhadap Allah. Ia yakin, 5 ribu masih cukup untuk membeli sebungkus mie dan akan ia masak di kost-an nanti, hiburnya dalam hati.
Tak disangka, sesampainya di kost-an, anak Ibu kost sedang berulang tahun dan Ibu kost merayakannya dengan berbagi rejeki. Walau tak banyak, begitu kata Bu Kost, Al tetap merasa bersyukur. Karena begitu dibuka, bungkusan itu berisi sepaket nasi kuning, sepotong ayam bagian paha, sambal goreng ati dan kering tempe. Eh, masih ada mie dan acar. Sungguh lengkap dan cukup membuat Al urung makan mie lagi...mie lagi.
Alhamdulillah bini'matihi tatimmush sholihaat.
Tak lupa Al mengucap syukur ketika mendapat kebaikan dan rejeki dari Allah.
Kembali ke aktivitas Al selama masih bekerja saat semua orang mengeluh dirumahaja, capek, bosan dan mati gaya serta lain-lain. Malah ada yang mulai tidak sabar sehingga tampak di berita-berita yang Al baca bahwa banyak orang yang sudah mulai berdesakan di mall dan pusat perbelanjaan hanya untuk belanja baju baru or just have fun, hang-out with their friends, Al masih tetap dengan protokol bekerja yang sama. Cek suhu tubuh ketika datang, semprot desinfektan lalu bekerja dengan physical distancing.
Hari yang dinanti pun tiba. Jum'at ini adalah hari terakhir Al bekerja. Ia diberi gaji utuh plus bingkisan Lebaran dari bosnya. Karena perekonomian sedang lesu, maka tak ada THR dalam bentuk uang, tahun ini. Semua berpaminta dengan syahdu tanpa mendekat. Al dengan gembira pulang ke kost-an dan telepon emak di kampung, hanya menggunakan telepon suara, tanpa bisa video call, karena emak tidak punya smartphone canggih.
"Maak...
Al nyuwun pangapuro sing akeh yo, mak... Tahun ini, Al ora biso mulih. Emak baik-baik di desa yaa...
Al tetap bisa transfer uang buat emak dan bapak. Jangan khawatir uang sekolah Lala, Mak... Al usahakan selalu. Dungakno Al yo, Mak...Pak."
((Maak...
Al minta maaf ya, mak... Tahun ini, Al gak bisa pulang kampung. Emak baik-baik di desa yaa...
Al tetap bisa transfer uang buat emak dan bapak. Jangan khawatir uang sekolah Lala, Mak... Al usahakan selalu. Doakan selalu Al disini yaa, Mak, Pak...))
Dengan bercucuran air mata, Emak mendoakan Al nun-jauh di sana, di kota yang kata orang, tempat mengadu nasib terbaik. Hanya Allah-lah tempat Emak mengadukan segalanya. Emak tetap memohon kesehatan dan keberkahan untuk anak sulungnya, Alfian.
Di bawah langit Jakarta, Al pun mendoakan hal yang sama untuk Emak Bapak dan adiknya, Lala yang berada di sebuah dusun di Jogjakarta, tempat dimana dulu bencana gunung merapi sempat meletus.
Walau Lebaran kali ini hanya ditemani empat buah dinding yang mengurungnya, Al tetap percaya bahwa hilal yang tampak tahun ini berupa rejeki kesehatan dan kesempatan untuk terus bekerja di pabrik. Itu sangat berarti untuk Al, seorang anak kampung yang hijrah ke kota demi sesuap nasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H