Mohon tunggu...
Nalendra Satyatama
Nalendra Satyatama Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA

Menyelami hikmah dalam semesta

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Menetapkan Pilihan dalam Bermedia Sosial

26 Desember 2024   21:49 Diperbarui: 26 Desember 2024   21:49 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebuah foto profil dengan pose senyum termuat di profil akun Friendster saya sekitar awal dekade sekitar tahun 2003. Itulah media sosial pertama saya dan memang Friendster dikenal sebagai media sosial pertama di dunia. Waktu itu status saya masih mahasiswa. Tertulislah di kolom profil status sebagai mahasiswa berikut nama kampusnya. Tentu dengan harapan bisa menarik banyak teman baru. Mulailah petualangan bermedia sosial di Friendster. Tak banyak yang saya ingat dari Friendster ini. 

Perjalanan saya dengan Friendster terhenti saat Facebook merajalela. Saya masih ingat akun Facebook saya dibuat tahun 2009. Mulailah Facebook mengisi hari-hari dengan berbagai fiturnya. Belum cukup, sekitar tahun 2012 ikutlah buat akun Twitter. Setelah itu, bikin juga akun Line. Dari semua itu, saya lebih banyak aktif di Facebook.  Selain jejaring pertemanan, di Facebook juga ada kolom untuk menulis. Di situlah saya bisa betah menulis berbagai hal di media Facebook. Enaknya lagi banyak grup Facebook dengan hobi yang sama atau grup lowongan kerja yang saya ikuti.  

Tak terasa sepertinya waktu saya lebih banyak tersita di Facebook. Setidaknya itu yang saya rasakan. Ada euforia yang terus menjalar dengan jejaring pertemanan dan lebih mengarah kepada hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan berlama-lama. Masih banyak hal di dunia nyata yang belum saya pelajari, masih perlu saya perdalam, dan tingkatkan kualitasnya. Tahun 2015 setelah menjalani masa enam tahun berselancar di Facebook cukup membuat saya jenuh. Bebebrapa teman saya mengatakan Facebook kan bisa juga dipake buat jualan. Yup, memang benar. Banyak  hal positif yang bisa saya dapatkan. Namun, entah kenapa, titik jenuh itu sudah makin memuncak dan rasa ketidaknyamanan terlalu banyak di dunia maya semakin menguat. Hal itu ditambah pula dengan makin maraknya penggunaan instagram. Sama sekali tak tertarik untuk membuka akun di instagram.

Maksud hati tetap ingin berselancar di dunia maya, tetapi dalam lingkup yang terbatas. Tahun 2014 itu, mulailah bertumbuh jejarang whatsapp (wa). Kegelisahan saya seakan terjawab di wa ini. Mau tetap di dunia maya, tetapi terbatas. Kira-kira begitu rumusnya. Hal itu juga dirasakan istri. Kami sepakat menutup akun fb, twitter, dan line yang kebetulan saat itu hanya itu yang kami punya. Interaksi di dunia maya hanya sebatas di wa. Benar saja. Makin massifnya penggunaan wa dari tahun ke tahun sudah cukup membuat kami terpuaskan dengan membatasi interaksi hanya di wa. 

Seiring berjalan tahun, arus informasi sepertinya mulai bergeser ke instagram. Kebutuhan informasi seminar, lomba-lomba, pementasan drama, bahkan ceramah agama tidak lagi melalui istilah "googling" aja tapi "cek aja di ig". Pernah juga saat anak saya sakit dan berobat ke ruma sakit. Cek jadwal dokter spesialis di situs rumah sakitnya. Sampai di sana, kata petugas administrasinya jadwal ter-update adalah yang tercantum di akun ig  rumah sakit. Dari alasan-alasan di situlah, saya dan istri sepakat untuk membuat akun ig tapi hanya sebatas untuk mencari informasi. Tidak memakai bio pribadi dan tidak follow-follow-an dengan teman. Yang kami follow hanya lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh yang memang kami kepo mengikuti update-nya, misalnya pemain bola, tokoh politik, atau pesohor lainnya. 

Ketiadaan akun ig tanpa bio pribadi ini sebenarnya membuat gerak saya terbatas. Banyak kegiatan yang mengharuskan saya posting di ig dan menautkannya ke teman. Tentu saja itu tidak dapat saya lakukan.  Banyak juga yang menyayangkan di ig saya bisa jualan. Kebetulan saya juga jualan makanan yang dibuat istri. Ada juga yang menyayangkan karena di ig saya bisa menambah personal branding yang muaranya dapat memperkuat portofolio saya.

Selain wa dan ig dengan fungsi saya batasi tadi, Kompasiana menjadi sarana media sosial yang masih masuk kriteria yang saya tetapkan. Sebenarnya, saya bergabung dan aktif menulis di Kompasiana sejak Maret 2011 sampai kira-kira akhir-akhir tahun 2013. Sejak itu, saya vakum sampai kemudian timbul keinginan kembali untuk menulis dan belajar dari banyak orang hebat di Kompasiana. Mei 2022, saya buat akun baru dan aktif kembali di Kompasiana.  

Pada akhirnya, semua kembali kepada pilihan dan kenyamanan masing-masing. Semua pilihan kehidupan tentu sudah dipertimbangkan kelebihan dan kekurangannya sesuai dengan takaran personal.  Tentunya, setiap diri harus bertanggung jawab dengan apa pun pilihan tersebut.  Apa pun media sosial yang kita jalani berharap itu semua dapat menambah nilai positif bagi pribadi, lingkungan sekitar, dan semesta. 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun