Seorang anak setidaknya menghabiskan waktu lima sampai dengan delapan jam sehari di sekolah. Itu pun belum ditambah jika anak itu ada kegiatan ekstrakurikuler.Â
Keberadaan anak-anak di sekolah tentu harus optimal. Sekolah dapat menjadi tempat anak-anak untuk mengembangkan karakter, bakat, dan tingkat intelektual. Fondasi utamanya adalah nilai-nilai pendidikan yang didapat keluarga. Â
Menyekolahkan anak tidak berari orang tua lepas tangan. Orang tua berperan utama dalam proses pendidikan seorang anak. Dalam kaitan dengan sekolah, perlu adanya kolaborasi antara orang tua dan pihak-pihak di sekolah, terutama guru dan wali kelas.
Saya mengajar di SMA swasta. Anak SMA bukan lagi anak-anak yang masih polos. Segala macam bentuk informasi dan perlakuan telah mereka terima minimal sampai usia 15 tahun masuk SMA. Sebagai generasi Z, anak-anak ini dapat dikatakan sudah mulai menerima informasi melalui gawai sejak usia balita.Â
Sebagai guru SMA, saya menerima anak-anak ini hadir ke sekolah dengan beragam karakter yang telah terbentuk sebelumnya. Â Ketika orang tua menyerahkan seorang anak untuk dididik dalam satu sistem sekolah, di situlah harus adanya kolaborasi.
Selain mengajar, saya juga diamanahkan sebagai wali kelas 12. Guru merupakan orang tua siswa di sekolah. Komitmen ini saya kuatkan dalam diri sebagai bekal interaksi dengan siswa dan orang tua.Â
Dengan memosisikan diri sebagai orang tua di sekolah, saya memandang siswa sebagai anak. Cara pandang ini akan menimbulkan sikap perhatian dan tanggung jawab dalam diri saya terhadap perkembangan anak didik, terutama di kelas yang saya walikan. Cara pandang ini juga penting dalam interaksi dengan orang tua.Â
Posisi guru dengan orang tua hakikatnya sama. Sejajar. Guru tidak perlu inferior berinteraksi dengan orang tua yang mungkin secara materi dan pendidikan lebih tinggi.
Bersikap layaknya orang tua di sekolah membuat saya percaya diri dan natural saat berinteraksi dengan orang tua. Â Setelah menguatkan komitmen bahwa saya adalah orang tua siswa di sekolah, hal yang saya lakukan berikutnya adalah menjalin komunikasi dengan orang tua.
Komunikasi memegang peranan penting dalam kolaborasi. Sesuai dengan era media sosial, ada grup whatss ap (WA) orang tua dan anak secara terpisah. Di semua grup WA itu saya lebih banyak insiatif membuka pembicaraan. Tentu di grup WA anak-anak bisa lebih cair.Â
Di grup WA orang tua, saya targetkan minimal sekali dalam sepekan ada informasi atau obrolan yang saya mulai duluan. Â Setiap ada kegiatan anak-anak, saya mengirim foto anak-anak disertai dengan kata-kata yang tidak sekadar informasi kegiatan.Â
Contohnya, saat kelas saya mendapat giliran dalam upacara bendera tiap Senin. Saya kirim satu-satu foto tiap anak dengan tambahan kata-kata seperti " Faiz terlihat gagah sebagai pemimpin upacara" dan tak lupa saya menambahkan emoticon. Â Cara ini mengundang respon interaktif dari orang tua karena dikirimi foto satu-satu dan kata-kata yang tidak terlalu formal.Â
Dalam proses komunikasi ini, perlu dihindari kata-kata "tidak tahu". Jika ada sesuatu yang belum kita ketahui, kita dapat menjawab akan dicarikan informasinya terlebih dahulu dan akan dikonfirmasi kembali. Jawaban demikian akan membuat orang tua merasa dihargai.Â
Tak lupa, di akhir kalimat, saya biasa mencantumkan kata sapaan "Bu" atau "Pak"atau jika keseluruhan dengan menggunakan "Ibu/Bapak". Â Mengakhirkan kalimat dengan sapaan tersebut dapat membangun susana akrab dan hangat. Â
Bentuk komunikasi lainnya adalah proaktif menambahkan informasi-informasi di luar informasi yang disampaikan sekolah. Target utama mayoritas siswa kelas 12 adalah diterima di perguruan tinggi negeri (PTN).Â
Kebetulan saya juga aktif di bimbingan belajar, bahkan jauh sebelum menjadi guru sekolah. Fokus bimbingan belajar tentu saja meluluskan siswanya ke PTN. Di sinilah saya banyak memberikan informasi tentang serba-serbi ujian masuk PTN, pemilihan program studi, informasi kampus, dan hal-hal lain yang terkait dengan PTN.Â
Tidak hanya itu, informasi tentang ujian kedinasan dan kampus swasta juga secara berkala saya berikan. Semua itu jelas mengundang beragam pertanyaan yang akhirnya bermuara pada sharing informasi dan pengalaman dari sesama orang tua .Â
Ada tiga kata sakti yang dapat membuat interaksi menjadi lebih dalam: maaf, tolong, dan terima kasih. Kebetulan kelas kami hanya berisi 17 siswa. Setiap informasi yang saya diberikan biasanya dibalas orang tua dengan ucapan terima kasih.Â
Sebagai bentuk apresiasi, saya balas kembali satu per satu setiap balasan ucapan terima kasih dari orang tua. Hal ini memang sepele tapi inilah salah satu bentuk apresiasi terhadap orang tua yang sudah merespons informasi yang saya berikan.Â
Bahagianya, setiap informasi yang saya berikan selalu direspons terima kasih oleh seluruh orang tua atau kalau lagi kurang hanya kurang 1-2 orang saja yang mungkin lupa merespons.Â
Dengan interaksi yang komunikatif, jika anak-anak kelas saya bermasalah dengan siswa lain atau guru, semua bisa terselesaikan di tingkat wali kelas, tidak sampai berlanjut ke kepala sekolah atau orang tua lain.
Komunikasi tidak hanya terjalin secara umum di grup, tetapi juga dapat secara personal. Hal ini dilakukan jika ada satu hal personal yang perlu dibahas terkait sang anak.Â
Perizinan tidak masuk, konfirmasi keterlambatan, atau izin pulang terlebih dahulu karena sesuatu yang mendesak harus dari orang tua. Orang tua perlu mengonfirmasi langsung hal-hal tersebut karena berhubungan dengan kedisiplinan dan kehadiran siswa secara fisik di sekolah. Tentu akan sangat berisiko jika konfirmasi ketidakhadiran hanya dari anak.Â
Bisa jadi dari rumah berangkat, tetapi  di tengah jalan melipir ke tempat lain dan tidak sampai ke sekolah tanpa sepengetahuan orang tua. Risiko ini tidak akan terjadi jika ada komunikasi langsung antara orang tua dan wali kelas.
Kolaborasi antara guru dan orang tua sangat penting dalam membersamai perjalanan anak selama menempuh pendidikan di sekolah. Wali kelas sebagai guru yang diamanahkan untuk membimbing secara intensif di suatu kelas mempunyai peran vital dalam proses kolaborasi tersebut.Â
Komunikasi adalah kunci utama dalam proses kolaborasi. Dengan membangun komunikasi yang positif, proses kolaborasi diharapkan dapat berjalan optimal sehingga anak-anak dapat menjalani masa pendidikan di sekolah dengan baik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H