Berita tentang tutupnya sebuah toko buku yang legendaris mengagetkan banyak pihak. Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, buku tidak lagi menjadi salah satu primadona kehidupan. Bahkan, tidak hanya buku. Koran, majalah, atau tabloid banyak yang bertumbangan. Berbagai hal dikemukakan tentang tumbangnya toko buku dan media cetak. Minat baca yang rendah dan pola pergeseran budaya masyarakat dari cetak ke digital setidaknya menjadi dua hal utama.
Rendahnya minat baca memang menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama. Masyarakat cenderung menyukai menonton video, terutama video-video pendek. Dengan gawai di genggaman, masyarakat bebas mencari video sesuai dengan selera masing-masing. Televisi kadang dinyalakan sesekali untuk menonton sinetron atau siaran langsung pertandingan olahraga.
Menahan gempuran teknologi memang tidak mungkin. Artinya, pegiat industri cetak mau tidak mau harus beradaptasi dengan perkembangan yang ada. Cara mencari atau mendalami kedalaman informasi yang tadinya lewat buku berganti melalui proses digital. Sebagai contoh, orang tak perlu lagi repot-repot mencari informasi dari ensiklopedia yang tebal dan berjilid-jilid. Wikipedia menyediakan banyak informasi dengan sangat mudah bagi pembaca.
Proses pergeseran industi cetak ke digital sebenarnya sudah dilakukan. Banyak media bertransformasi ke digital secara total. Ada juga yang tetap menyediakan bentuk cetaknya. Perubahan ini mutlak dilakukan untuk mengikuti arus perkembangan zaman yang terus berlari meninggalkan industri cetak. Â Hal ini tentu tidak mudah karena memerlukan aspek finansial dan keahlian dalam membangun infrastruktur teknologi informasi.
Tidak mudah mengajak orang ke toko buku kemudian membeli buku. Pengunjung yang makin berkurang berimbas pada turunnya penjualan yang muaranya adalah penutupan. Kondisi ini bisa jadi bisa dihindari jika aspek pemasaran buku dilakukan dengan mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat.
Ada satu mal di Jakarta sepi pengunjung. Beberapa waktu kemudian, mal tersebut membuka gerai bioskop di salah satu lantai. Bisa ditebak, mal tersebut ramai dikunjungsi, terutama oleh kaum remaja. Ramainya pengunjung berimbas pada gera-gerai di mal tersebut.
Strategi ini bisa diterapkan oleh toko buku. Toko buku perlu mendekatkan diri dengan budaya populer di masyarakat. Jemput bola menjadi kunci. Gerai-gerai toko buku bisa menempel atau mendekati pusat-pusat kerumunan masyarakat, salah satunya bioskop. Diharapkan tingkat kunjungan meningkat dan berimbas pada penjualan.
Tempat lain yang menjadi daya tarik masyarakat adalah tempat makan dalam bentuk restoran atau kios-kios penjualan makanan. Jenis makanan lokal semakin beragam. Bahkan, jajanan-jajanan luar negeri semakin menjamur. Artinya, selain untuk kebutuhan pokok, makanan juga menarik minat masyarakat untuk sekadar jajan. Â Kondisi ini dapat dimanfaatkan toko buku dengan menempatkan gerainya tidak jauh dari restoran atau kios-kios penjualan makanan. Bahkan, bisa juga menyewakan sebagian lahannya untuk diisi restoran atau kios-kios penjualan makanan. Lagi-lagi, diaharapkan banyaknya kunjungan ke tempat-tempat tersebut berimbas ke toko buku yang muaranya adalah peningkatan penjualan buku.
Strategi pemasaran dibutuhkan untuk memasarkan produk, tak terkecuali buku. Bahkan, memasarkan buku dapat dibilang lebih berat karena pola pergeseran budaya masyarakat yang lebih mengarah ke digital. Intinya adalah mendekatkan buku kepada masyarakat.
Selain mendekatkan buku kepada budaya-budaya pop di masyarakat, kegiatan-kegiatan lain perlu dilakukan untuk mendekatkan masyarakat pada toko buku. Acara-acara bedah buku, lomba-lomba, atau mungkin jumpa penulis bisa menjadi cara untuk mengajak masyarakat mengunjungi toko buku.
Selain strategi pemasaran, peningkatan minat baca mutlak diperlukan. Dalam hal ini, sektor pendidikan dapat berperan aktif. Pola mendekatkan buku kepada masyarakat juga dilakukan di bidang pendidikan. Demi meningkatkan tingkat literasi, perpustakaan tidak lagi menjadi tempat satu-satunya untuk membaca buku. Banyak sekolah membuka pojok-pojok baca untuk mendekatkan buku kepada para siswa.
Perpustakaan tetap menjadi ujung tombak dalam kegiatan literasi. Pembenahan fisik perpustakaan dirancang sedemikian rupa untuk memberi kenyamanan dalam membaca. Begitu pula dengan program-progam peningkatan literasi dari pengelola sekolah. Sebagai contoh, para guru tiap bidang studi mengadakan minimal sebulan sekali belajar di perpustakaan. Dengan cara ini, diharapkan tumbuh kecintaan terhadap buku yang muaranya tumbuh pula keinginan untuk membeli buku di toko buku. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H