pendidikan dan mencetak generasi penerus bangsa yang siap bersaing di kancah Nasional maupun Internasional. Dalam menghadapi era globalisasi dimana semakin tingginya persaingan yang akan dihadapi oleh generasi yang akan datang, maka sekolah harus mempunyai kurikulum yang siap menjawab tantangan tersebut dan mampu menghadapi era tersebut. Apabila generasi muda tidak disiapkan dari sekarang, maka akan tertinggal dari luar negeri. Akan tetapi, kondisi peserta didik saat ini, jika dilihat dari hasil survei TIMSS (Trends in Mathematic and Science Study), maka negara Indonesia berada di urutan 45 dari 50 negara dunia dan hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018 Indonesia berada di peringkat 75 dari 81 negara dunia dengan skor 379 untuk matematikanya. Dari skor PISA maupun TIMSS, bisa dikatakan Indonesia berada pada peringkat rendah. Untuk menyikapi hasil survei ini, maka sekolah sebagai pelaksana pembelajaran sudah harus berbenah dan merubah pembelajaran dari pembelajaran konvensional menjadi pembelajaran yang menerapkan pola berpikir tingkat tinggi atau disebut HOTS yang merupakan tuntutan di masa kini yaitu abad 21. HOTS pertama kali dikemukakan oleh Susan M. Brookhart (seorang penulis dan profesor). Ia mendefinisikan HOTS ini sebagai metode untuk transfer pengetahuan, berpikir kritis, dan memecahkan masalah (Gamal Thabroni, 2022).
Sekolah merupakan ujung tombak dalam memajukanMenurut Sani (2019), HOTS adalah kemampuan berpikir strategis untuk menggunakan informasi dalam menyelesaikan masalah, menganalisa argumen, negosiasi isu atau membuat prediksi. Perlu diketahui, HOTS bukanlah sekedar model soal saja, akan tetapi mencakup model pembelajaran. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa pengertian HOTS adalah kemampuan berpikir tingkat kompleks untuk menguraikan, menyimpulkan, menganalisis, dan kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang tidak memiliki algoritma, tidak dapat di prediksi, serta hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan berbeda dari berbagai permasalahan dan contoh yang telah ada. Menurut Taksonomi Bloom, ketrampilan koginitif dibagi menjadi 2 bagian. Pertama adalah ketrampilan berpikir tingkat rendah yang meliputi C1, C2, dan C3. Kedua adalah ketrampilan berpikir tingkat tinggi yang meliputi C4, C5, dan C6. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa indikator untuk mengukur HOTS adalah C4 – C6 yaitu menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Ini juga dapat kita temukan di Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyatakan bahwa penilaian aspek kognitif terbagi menjadi 5 level, yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi.
Menurut Resnick (dalam Gamal T, 2022) karakteristik dari HOTS adalah : (1) Higher order thinking is nonalgorithmic; that is, the path of action is not fully specified in advance. Artinya adalah berpikir tingkat tinggi bersifat nonalgoritmik, yaitu jalan menuju tindakan tidak dapat sepenuhnya ditentukan terlebih dahulu. (2) Higher order thinking tends to be complex. Artinya adalah berpikir tingkat tinggi cenderung rumit atau kompleks. (3) Higher order thinking often yields multiple solutions, each with costs and benefits, rather than unique solutions. Artinya adalah berpikir tingkat tinggi sering menghasilkan multi solusi, dimana setiap solusi lebih memiliki kelebihan dan kelemahan, bukan solusi yang berbeda-beda. (4) Higher order thinking involves nuanced judgment and interpretation. Artinya berpikir tingkat tinggi melibatkan penilaian dan interpretasi yang bervariasi. (5) Higher order thinking is effortful. There is considerable mental work involved in the kinds of elaborations and judgements required. Artinya berpikir tingkat tinggi itu membutuhkan usaha keras. Terdapat banyak pekerjaan mental yang terlibat dalam jenis elaborasi dan penilaian yang diperlukan.
Menurut Anderson dan Krathwohl, agar pelaksanaan pembelajaran dapat terlaksana sesuai dengan harapan yaitu peserta didik mampu berpikir tingkat tinggi, maka perlu merencanakan pemilihan metode pembelajaran yang tepat diantaranya adalah dengan berdiskusi untuk pemecahan masalah, yang diikuti dengan kegiatan-kegiatan yang memotivasi peserta didik untuk melakukan kegiatan-kegiatan berpikir tingkat tinggi seperti peserta didik mampu untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta sesuai dengan tingkatan. Selain itu RPP perlu diintegrasikan kebutuhan masa kini yaitu kegiatan-kegiatan peserta didik yang mampu merangsang atau memotivasi peserta didik memiliki karakter yang baik, memiliki kebiasaan mengakses ilmu melalui kegiatan literasi, mampu berpikir kritis, mengembangkan sikap kreatif, mampu berkolaborasi, dan cakap berkomunikasi. Kemudian pada kegiatan inti diharapkan guru dapat menggunakan model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pelajaran. Contoh model pembelajaran yang dapat digunakan adalah Inquiry Learning (IL), Discovery Learning (DL), Problem Based Learning (PBL), dan Project Based Learning (PjBL). Dengan demikian, HOTS dalam pembelajaran matematika akan tercapai apabila rencana pembelajaran dibuat sesuai dengan model pembelajaran yang cocok dengan materi pelajaran dan juga penilaian hasil belajar yang mencakup soal-soal HOTS disusun sedemikian rupa agar dapat mengetahui kemampuan peserta didik dalam berpikir tingkat tinggi.
Referensi :
1. Dit. Pembinaan SMA. (2015). Model-model Pembelajara. Kemendiknas: Jakarta.
2. Fahdi Fahlezi. (2022). https://www.tribunnews.com/nasional/2022/04/13/peringkat-indonesia-rendah-berdasarkan-hasil-survei-pisa-pembelajaran-matematika-harus-komprehensif diunduh pada tanggal 26 Oktober 2023
3. Resnick, L.B. (1987). Education and and Learning to Think. Washington, D.C.: National Academy Press.
4. Tim Kemendikbud. (2019). Buku Penilaian Berorientasi Higher Order Thinking Skills. Jakarta: Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H