Mohon tunggu...
M Nasrulloh
M Nasrulloh Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Krisis Edukasi terhadap Tokoh-tokoh Akidah Aswaja

18 Oktober 2023   23:54 Diperbarui: 23 Oktober 2023   09:21 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Krisis edukasi terhadap tokoh-tokoh akidah aswaja


Sejak runtuhnya Turki Utsmani pada 1924 M, sebagai simbol terakhir umat Islam. Umat ini telah melemah di berbagai sendi, perihal ekonomi, politik, apalagi akhlak tak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan yang paling menyakitkan adalah identitas umat ini juga ikut goyah, berbagai macam problema menimpa akidah umat Islam. Berangkat dari di sini, banyak sekali muncul tokoh-tokoh  yang ingin memodernisasikan kembali ajaran Islam agar Islam kembali murni dan bisa mengembalikan era kegemilangannya sekali lagi. Namun naasnya, pembaharuan yang orang-orang ini lakukan, alih-alih membuat agama lebih baik, malah menimbulkan masalah baru, akidah umat makin amburadul dan menyeleweng dari yang sebenarnnya.

Saya jadi teringat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kala belajar di SMA dulu, dalam buku mapel SKI kurikulum 2013 tersebut terdapat satu bab khusus yang memuat tentang modernisasi dalam Islam, lengkap dengan tahapan beserta para tokohnya.

Dalam buku itu, modernisasi/pembaruan diartikan oleh sebagian kelompok sebagai pemurnian kembali ajaran Islam seperti di masa salafus saleh, karena Islam di masa ini telah banyak bercampur dengan thraiqah-thariqah dan khurafat-khurafat menyesatkan yang membuat umat Islam menjadi mundur. Sebagian golongan lain mengartikan, pembaruan adalah menyesuaikan Islam dengan Barat, sebagai pusat kemajuan saat itu. dari sini, terjadilah pemisahan agama dengan kehidupan sosial, politik, dll. Mereka mencoba meniru cara bangkitnya peradaban Eropa  dari masa kegelapan menuju era kebangkitan.

Tahap pertama gerakan pembaruan ini disebut dengan "revivalisme pramodernis", dimulai pada akhir abad 18 hingga awal abad 19 M. Tercatat gerakan tersebut dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Namun sebenarnya, jauh sebelum Muhammad bin Abdul Wahab, pemikiran ini telah lebih dulu disebarkan oleh inspiratornya pada abad 14 M, Ibnu Taymiah. Di masa-masa berikutnya, kedua tokoh ini pun menjadi kunci pembaharuan dalam tubuh Islam, kemudian disusul oleh tokoh-tokoh lain seperti Jamaluddin al-Afghani, Sayyid Muhammad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Jinnah, Rasyid Ridha, dan beberapa lainnya. Nah, beginilah arti modernisasi dan sejarahnya yang ditulis di sana dan para tokoh ini pula yang diangkat dalam buku tersebut untuk selanjutnya diajarkan kepada seluruh anak-anak muslim di Sekolah Menengah Atas.

Pantas saja saat itu saya merasa bingung, karena tokoh pembaruan akidah yang diajarkan di sekolah sangat berbeda dengan yang diajarkan di dayah. Sosok seperti Ibnu Taymiah, apalagi Muhammad bin Abdul Wahab, merupakan tokoh yang begitu diwanti-wanti oleh guru dayah untuk dijauhi karya-karya mereka bagi orang yang belum kuat pondasi akidahnya, tapi di sekolah malah dipelajari dan disuruh hafal pula biografinya. Baru setelah banyak belajar dan membaca, saya pun tahu yang sebenarnya.

Realitanya, umat ini selain mengalami krisis dalam akidah sebagai penyakit utama, juga mengalami krisis edukasi terhadap tokoh-tokoh akidah Aswaja yang seharusnya dijadikan pegangan dalam beragama. Bayangkan, sebagian besar generasi lebih banyak belajar di sekolah-sekolah umum ketimbang belajar di pesantren tradisional. Tentu dapat disimpulkan, lebih banyak generasi yang mengenal Ibnu Taymiah ketimbang Imam asyary, Muhammad bin abdul wahab dan Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharu bagi mereka, nama-nama seperti Fakhruddin ar-Razi, Imam Sanusi, ad-Dawani, Taftazani sudah pasti terdengar asing di telinga mereka.

Apalagi saat mereka sudah beranjak ke jenjang kampus, mungkin tokoh-tokoh filsafat Barat, sperti Karl Mark, Francis bacon, Rene Descartes akan lebih populer di kalangan mereka, dan pada akhirnya buku-buku merekalah yang akan menjadi pegangan dalam menentukan identitas dan nilai hidup mereka. Bahkan, mungkin yang lebih ironi, generasi yang mengenyam pendidikan  di dayah sekalipun, kadang tidak mengenal para tokoh-tokoh akidah mereka. Ah, jangankan nama tokoh-tokoh Aswaja yang jarang didengar, musannif kitab yang tiap hari mereka pelajari pun terkadang mereka lupa, malahan ada yang tidak kenal sama sekali.

Dan bila pun para generasi mengenal tokoh Aswaja, seperti Imam ar-Razi misalnya, mereka mungkin hanya mengenal beliau sebagai sosok dokter atau penemu, bukan sebagai penjaga akidah, karena begitulah yang diajari di sekolah. Bahkan, tokoh sekaliber Imam al-Ghazali pun hanya terkenal sebagai seorang sufi. Sayyid Syarif, Imam Baidhawi, Adhuddin Iji, itu hanya nama musannif kitab, apa perannya bagi agama dan bagi dunia? Tidak ada yang tahu. Ya, di zaman ini, mungkin tokoh-tokoh Eropa lebih populer, sebab mereka memiliki jasa besar terhadap dunia dan kita akan dianggap keren dan berpendidikan jika mengenal mereka. Miris sekali.

Maka dari itu, mempelajari dan menggairahkan ilmu kalam sangat penting dilakukan sebagai jalan menyembuhkan kembali akidah. Di samping itu, pengenalan terhadap tokoh-tokohnya juga tak kalah penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun