Aku mengenalnya sebagai Ano. Seorang lelaki berwajah sendu yang jika berjalan, setiap langkahnya menyiratkan rasa kesepian dan putus asa. Matanya redup, bibirnya seakan selalu kering. Bahkan jika dia tersenyum, senyumnya selalu tampak dipaksakan. Bagiku tak ada gambaran rasa bahagia di setiap inci tubuhnya. Di setiap garis-garis di wajahnya.
Hingga detik ini, aku masih bisa mengingat Ano dengan baik. Aku mengenalnya sejak kami duduk di Sekolah Menengah Akhir yang sama (walaupun kami tak pernah akrab). Aku masih bisa mengingat, bagaimana dulu para guru harus dibuat pusing untuk menentukan di kelas mana Ano harus ditempatkan. Nyaris semua kelas menolaknya. Penolakan itu terjadi karena isu yang menyebar bahwa Ano adalah anak dari seorang pelacur. Kata mereka, ibu Ano adalah pelacur, begitu yang kudengar. Walaupun, terlepas dari itu, aku akui bahwa Ano adalah orang yang aneh. Penyendiri dan jarang sekali bicara.
Tapi aku tahu, seaneh-anehnya Ano, dia tetaplah manusia yang butuh bersosialisasi. Aku pernah melihatnya, di tahun kedua masa sekolah kami, mendatangi sekumpulan anak laki-laki yang sedang asyik nongkrong sambil ngobrol di kantin. Tanpa bicara sepatah katapun, Ano mengambil duduk di dekat mereka. Awalnya mereka tak menyadari kehadiran Ano, sampai akhirnya salah satu dari mereka berkata-kata dalam nada tinggi. Mengusir Ano. Menolaknya duduk di dekat mereka.
Ternyata label sebagai anak pelacur itu tak hanya mempengaruhi para siswa. Beberapa gurupun terlihat memberikan perlakuan yang berbeda kepada Ano. Seperti seorang guru Biologi, yang aku lihat mengabaikan acungan tangan Ano atas pertanyaan yang guru itu sendiri berikan.
Aku sendiri tak pernah berbicara pada Ano barang sepatah kata. Tapi aku melihat dia tak pernah mengeluh apalagi protes, atas perlakuan sekolahan ini kepadanya. Dia disingkirkan, diasingkan, dilecehkan dan berkali-kali menerima penolakan. Tapi dia tak pernah pindah dari sekolah ini. Dia tetap berada di sini, sampai lulus.
Namun, satu hal yang paling kuingat tentang Ano. Saat itu seminggu sebelum pesta kelulusan kami, aku melihat pemandangan yang amat sangat langka. Jeff, seorang murid laki-laki paling populer di SMA kami, bersama gengnya menghampiri Ano. Gila! Aku pikir. Jeff dan teman-temannya itu terkenal angkuh dan sombong sekali. Dan hari itu, mereka mendatangi Ano di meja kelasnya? Mengajaknya ngobrol dan tertawa bersama-sama? Detik itu juga aku menyadari, bahwa Jeff akan berbuat sesuatu yang jahat pada Ano.
Benar saja, aku menguping pembicaraan mereka diam-diam. Aku dengar Jeff berusaha meyakinkan Ano bahwa salah seorang siswi di sekolah ini, Lia namanya, diam-diam naksir pada Ano. Ini lebih gila lagi! Lia? Dia ini superstar SMA ini. Diva! Cantik, kaya dan menjadi impian setiap murid laki-laki di sini.
Aku mulai khawatir. Dan semakin khawatir ketika melihat Ano tampak membuka diri kepada Jeff dan bualannya. Dia, dengan bodoh dan polosnya, termakan omongan Jeff. Ano-pun percaya, dan dia tampak bahagia, bahwa Lia benar-benar naksir padanya.
Dan apa yang kuduga selama itu terjadi juga. Ano nembak Lia di lapangan basket sekolah, dengan disaksikan puluhan siswa kelas 3 lainnya, termasuk aku. Termasuk Jeff dan gengnya. Apa yang terjadi berikutnya, adalah sesuatu yang aku sendiri selalu berdoa agar aku tak pernah mengalaminya. Tak hanya ditolak, Ano juga dimaki-maki Lia dengan sebutan 'pria aneh', 'tak tahu diri' sampai 'anak pelacur'.
Ano terdiam. Mukanya pucat sekali. Sedangkan semua orang yang menyaksikannya hanya tertawa terbahak-bahak. Bagi mereka dan Jeff, itu semua adalah hiburan yang bisa membuat gembira. Tertawa. Merayakan kehancuran Ano, yang aku akui, terjadi karena kebodohannya sendiri.
Hari itu adalah hari dimana Ano mendapatkan penolakan untuk kesekian kali dalam hidupnya.