Contoh paling gampang, saat Indonesia akan melakukan ujicoba penembakan rudal Yakhont dari KRI OWA (354). Yakhont yang memiliki jarak tembak maksimal 300 km, hanya ditembakkan menggunakan metode input data numerik, bukan input data radar. Hal itu dikarenakan radar dari KRI OWA tidak dapat menjangkau sasaran pada jarak 300 km dan tidak ada helicopter atau pesawat yang menginput sasaran pada jarak tersebut. Sangat disayangkan kita memiliki senjata yang memiliki jarak tembak jauh tetapi tidak dapat dimaksimalkan karena kekurangan peralatan pendukung.
Sebenarnya, sistem radar untuk helikopter beratnya hanya sekitar 100kg, contohnya Oceanmaster, produk dari Thales yang sudah digunakan TNI, berat totalnya hanyalah sekitar 85kg, ditambah dengan datalink LINK-Y Mk2 seberat 6kg pun belum mencapai 100kg.
[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Over The Horizon Target"]
3. Anti Submarine Warfare
Fungsi terakhir yang tidak kalah penting adalah untuk menghadapi peperangan anti kapal selam. Peperangan anti kapal selam menjadi fungsi vital dalam pertahanan armada. Perkembangan teknologi telah membuat kapal selam menjadi salah satu ancaman terbesar bagi armada kapal permukaan. Sampai saat ini salah satu metode efektif untuk mendeteksi kapal selam adalah dengan menggunakan helikopter yang dilengkapi sonar celup yang bisa diatur kedalamannya, sehingga bisa mencari kapal selam yang tersembunyi di kedalaman maupun di permukaan. Apabila kapal selam sudah terdeteksi, eksekusi bisa dilakukan heli melalui torpedo ringan yang dibawanya maupun oleh armada kapal permukaan yang ada di sekitarnya setelah data posisi kapal selam ditransmisikan ke kapal kawan. Dari sini bisa dilihat bahwa kemampuan menggotong torpedo ringan (Light Weight Torpedo, LWT) menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi sebuah heli Anti Kapal Selam agar mampu melaksanakan fungsi deteksi dan eksekusi secara mandiri sehingga mampu melindungi armada kawan dari serangan kapal selam musuh.
Jika suatu saat TNI AL berniat untuk melengkapi KRI nya dengan helicopter, maka ada beberapa syarat yang mutlak untuk dipertimbangkan:
1.Integrasi dengan KRI
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa untuk seluruh fungsi komunikasi di KRI kelas SIGMA menggunakan produk dari produsen yang sama yaitu Thales, sehingga untuk dapat melakukan 3 fungsi diatas helikopter yang akan melekat di KRI menggunakan sistem komunikasi (datalink) yang sama atau kompatibel. Sehingga apapun helikopter yang akan dipilih nantinya menggunakan produk komunikasi yang kompatibel dengan produk Thales yang telah terpasang di KRI kelas SIGMA. Sebagai contoh adalah heli kelas Panther yang sudah terbukti mampu mengusung peralatan buatan Thales dalam fungsinya sebagai komponen kapal perang. Integrasi dengan KRI akan terjadi melalui datalink LINK-Y Mk2 yang sudah terdapat di korvet kelas SIGMA. Dengan adanya LINK-Y versi airborne di helikopter yang akan diakuisi TNI AL, maka bisa terjadi pertukaran data tangkapan radar maupun deteksi kapal selam antara Kapal dan Helikopter. Karena belum adanya helikopter yang memiliki fasilitas datalink di inventori TNI AL, maka saat ini pertukaran data via datalink LINK-Y Mk2 hanya terjadi diantara kapal kelas SIGMA.
[caption id="" align="aligncenter" width="431" caption="Datalink"]
2.Berat dan dimensi helicopter
Kemampuan mengusung helicopter di KRI sepenuhnya juga tergantung dari bobot helicopter. Bobot helicopter yang diusung oleh Van Speijk Class dan Sigma Class tentunya berbeda, tetapi mengingat PKR yang nanti akan menjadi inti dari kekuatan pemukul TNI AL, maka sebaiknya mencari helicopter yang memiliki bobot yang diangkut oleh Sigma dan PKR. Van Speijk sendiri by design dirancang untuk mampu menampung heli sekelas Lynx. Disarankan untuk bijak dalam memilih berat dan dimensi helikopter sehingga nantinya mampu diusung oleh KRI-KRI yang mempunyai tempat pendaratan helikopter. Walaupun tak bisa dipungkiri berat dan dimensi akan berkorelasi dengan peralatan yang dibawa dan lamanya terbang sebuah helikopter. Di satu sisi jika ingin menggunakan heli yang bisa diakomodir semua KRI, maka akan terbatas pada Heli kelas 5 ton karena Nala dan SIGMA kemampuan maksimalnya adalah helikopter 5 ton. Sedangkan jika ingin mengakomodir fungsi yang lebih lengkap dari sebuah helikopter diperlukan heli kelas 8-10ton. Namun, penggunaan heli kelas 5 ton pun sebenarnya bisa mencukupi asalkan peralatan radar maritim, ASW (Anti submarine Warfare) Suite, dan datalink-nya bisa dibawa heli tersebut.