Mohon tunggu...
Louis Leman
Louis Leman Mohon Tunggu... -

concern citizen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Demokrasi Tidak Langsung Adalah Pilihan Kita?

1 Oktober 2014   12:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:50 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Sumber: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN"][/caption]

Dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat bisa langsung, bisa tidak langsung (representatif). Kelemahan sistem representatif adalah kecenderungan terdegradasi menjadi oligarki atau partaikrasi (lihat juga http://metagovernment.org/wiki/Representative_democracy, disini dipaparkan kelebihan/ kekurangan sistem tidak langsung). Sistem demokrasi langsung lebih demokratis daripada sistem demokrasi tidak langsung, karena pada sistem langsung partisipasi rakyat lebih besar dan signifikan daripada sistem tidak langsung. Semakin luas ruang partisipasi rakyat semakin demokratis. Itulah sebab-nya salah satu alasan mendukung demokrasi tidak langsung adalah karena rakyat kita belum siap, belum cerdas (atau masih lugu dan polos, bahkan bodoh), atau rakyat belum berkesadaran tinggi untuk peduli bernegara, dengan kata lain belum sanggup untuk berdemokrasi sehingga lebih baik di wakil-kan saja.

Pada sistem tidak langsung, walau secara prinsip dari, oleh, untuk rakyat, namun dalam praktek-nya ada kecenderungan-nya menjadi dari rakyat atau wakil rakyat, oleh wakil rakyat, untuk kepentingan pribadi/kelompok dari para wakil,  lain2,  rakyat. Dengan berkurang-nya peran dan partisipasi rakyat (karena sudah diwakilkan), justru perlu peran lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga anti penyelewengan seperti KPK yang lebih independent, kuat dan kokoh dari yang sekarang (termasuk juga Undang Undang terutama yang terkait dengan KKN dengan sanksi hukum yang lebih adil dan tegas serta berefek jera), tanpa penguatan seperti diuraikan diatas lebih tidak mudah untuk lebih yakin kepentingan rakyat akan lebih terperhatikan dari sistem sebelum-nya.

Alasan untuk pilkada tidak langsung adalah biaya tinggi, pejabat yang gagal jadi stress, konflik-konflik dsb. Itulah sebab-nya untuk pilkada diwakilkan saja. Disisi lain untuk Pemilu Legislatif juga dipilih oleh rakyat. Karena juga dipilih langsung oleh rakyat, masalah-nya juga sama dengan Pilkada (biaya tinggi, orang stres, dsb, ditambah lagi persaingan tidak sehat antar sesama calon legislatif dari partai yang sama). Apakah lantas untuk Pemilu Legislatif rakyat juga tidak perlu coblos dan cukup diwakili saja? Mesti-nya yang konsisten dong.

Kalau keberatan pada demokrasi langsung terutama karena biaya tinggi, pejabat yang gagal jadi stress, konflik-konflik dsb., ternyata ada sistem didunia yang kendala diatas dapat ditekan menjadi sangat kecil bahkan dapat dibilang praktis tidak ada. Sistem tersebut adalah sistem monarki absolut (hanya negara sbb.: Brunei, Oman, Saudi Arabia, Swaziland, Uni Emirat Arab, Vatican, Qatar), dimana pimpinan tertinggi adalah Raja, dan seluruh urusan pemilihan diwakilkan sepenuh-nya kepada Raja. Dengan begitu baik presiden/ perdana menteri, kepala daerah, wakil rakyat, hakim agung, semua dipilih oleh Raja. Namun negara yang menganut sistem semacam inipun ternyata mulai memberi beberapa ruang terbatas maupun simbolis untuk partisipasi rakyat. Kebanyakan negara kerajaan justru mengadopsi sistem demokrasi dengan mengizinkan partisipasi rakyat yang lebih luas. Jakni dengan bentuk monarki konstitusional, dimana peran monarki atau Raja yang terbatas, sementara peran konstitusi yang lebih besar, contoh-nya Malaysia, Thailand, dsb. Kita kini malah bergerak ke arah cenderung seperti monarki absolut, dimulai dengan upaya menguasai eksekutif, yakni dengan kepala daerah maupun presiden dipilih oleh Legislatif. Ini akan berakibat pada lembaga Judikatif. Ingat untuk Mahkamah Konstitusi: 3 dari Eksekutif, 3 dari Legislatif, 3 dari yudikatif. Nah dengan Presiden-nya yang dipilih Legislatif (presiden mandataris MPR, tentu-nya cenderung tidak bersikap berseberangan dengan pemberi mandat), berarti sama saja komposisi di Mahkamah Konstitusi menjadi 6 Legislatif, 3 yudikatif), ditambah lagi manuver di lembaga Legislatif lewat perubahan tatib dan UU MD3.

Bila UU Pilkada dinyatakan sah menurut MK, akan ada kecenderungan terjadi-nya dualisme dalam pemerintahan, dimana urusan di tingkat pusat atau nasional dan politik luar negeri ada di presiden, sementara urusan daerah pengaruh Legislatif bisa lebih besar (bukankah pemerintah Daerah mendapatkan mandat-nya dari Legislatif, alias mandataris DPRD). Jurang antara pemerintah pusat dan daerah akan menjadi besar, dimana kelancaran program nasional pemerintah pusat dapat terganggu. Tentu-nya yang menjadi korban adalah rakyat, yang tidak lagi punya suara untuk mengkoreksi langsung kerja pemda (misal-nya rakyat tidak akan memilihnya lagi baik sebagai gubernur, bupati atau walikota).  Implikasi-nya  negara kita akan cenderung menjadi seperti negara dengan sistem federalisme yakni sistem pemerintahan dimana kedaulatan secara konstitusional terbagi antara pemerintah pusat (yang dipilih rakyat) dan pemerintah daerah (yang dipilih Legislatif: DPRD).

Dengan perubahan-perubahan undang-undang ini,  Kita akan bergeser dari Eksekutif yang super dominan seperti masa Order-Baru, ke Legislatif yang super dominan; dari dominasi satu orang (presiden), ke dominasi sekelompok orang (elit partai politik). Padahal sistem demokrasi mengedepankan sistem check-and-balance, dimana ada pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif dan Yudikatif.

Kalau mengatakan sistem tidak langsung lebih relevan daripada sistem langsung, pada kenyataan-nya negara-negara yang mengeluhkan pemerintah-nya, dan menyatakan cobalah pemerintah untuk bisa lebih perhatian, dan lebih dekat dengan keprihatinan rakyat seperti di Indonesia justru muncul dari negara yang menganut Demokrasi Representatif. Kekecewaan ini muncul seperti di India, media 'The Hindu' dengan headline: Mencari Jokowi-nya India, ataupun tulisan di 'The Malay Mail': Dicari dengan teramat sangat Jokowi-nya Malaysia. (Jokowi disini tidak semata merujuk pada individu tertentu, tetapi lebih pada sosok tertentu atau ketanggapan pemerintah yang diharapkan pada masing-masing negara tersebut).  Sementara itu kita dengan sistem demokrasi yang lebih demokratis yakni keterlibatan rakyat langsung,  justru ingin menanggalkan sistem ini dengan mengurangi keterlibatan rakyat. Inikah yang disebut sebuah langkah maju?

Referensi:

http://metagovernment.org/wiki/Representative_democracy

http://en.wikipedia.org/wiki/Representative_democracy

http://en.wikipedia.org/wiki/Monarchy

http://timesofindia.indiatimes.com/india/Learning-with-the-Times-7-nations-still-under-absolute-monarchy/articleshow/3692953.cms

https://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Oligarchy.html

http://www.saudiembassy.net/about/country-information/laws/The_Basic_Law_Of_Governance.aspx pada khusus-nya pasal 52, 56, 68

http://id.wikipedia.org/wiki/Federalisme

http://news.liputan6.com/read/518053/malaysia-butuh-sosok-seperti-jokowi

http://www.thehindu.com/opinion/op-ed/in-search-of-the-indian-jokowi/article4860863.ece

http://www.tempo.co/read/news/2014/09/29/078610474/Koalisi-Prabowo-Usulkan-Pilpres-oleh-MPR-Lagi

http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/11/menyimak-kembali-checks-and-balances.html

http://en.wikipedia.org/wiki/Separation_of_powers

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun