Di silabus Bahasa A: Bahasa dan Sastra terdapat beberapa pertanyaan terkait TOK dan pengetahuan tentang pembaca, penulis dan teks, seperti pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apa perbedaannya antara pengetahuan yang kita dapat memperoleh melalui bahasa dan sastra dengan pengetahuan yang kita dapat memperoleh melalui bidang atau mata pelajaran lain? (2) Apakah pelajaran bahasa dan sastra dapat dianggap sebagai sebuah sains? (3) Adakah interpretasi sastra yang lebih baik daripada interpretasi lain? Apabila jawabannya ‘ya’, bagaimana cara membedakan antara beberapa interpretasi? (IBO, 2019, Language A: Language and Literature: 24).
Mengenai konteks sebuah teks atau novel, ada pertanyaan: (1) Apa saja yang hilang ketika sebuah karya sastra diterjemahkan dari bahasa aslinya kepada bahasa asing? (2) Ketika pembaca memiliki wawasan dunia yang berbeda dengan penulis karya sastra, apakah perbedaan tersebut menjadi sebuah halangan untuk memahami maksud dan nilai yang terkandung di dalamnya? (IBO, 2019, Language A: Language and Literature: 25). Dari silabus Bahasa A: Sastra, ada pertanyaan tambahan yaitu (3) Apa saja yang dapat kita belajar melalui sastra? Apa guna atau tujuan dari sastra?
Sebelum membahas topik-topik filsafat bahasa yang dapat dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, harus ditentukan unsur-unsur apa saja yang ada dalam silabus teori pengetahuan (TOK) mengenai bahasa. Secara umum di mata pelajaran TOK, setiap topik dikaji menurut empat bagian: (1) skop, (2) pandangan, (3) metode dan alat, dan (4) etika, dan tema “Pengetahuan dan Bahasa” juga menggunakan kajian tersebut. Antara lain, berikut adalah beberapa pertanyaan dari setiap bagian yang memiliki unsur filsafat bahasa: (1) dari unsur skop: (a) Dapatkah kita berpikir tanpa menggunakan bahasa? (b) Sejauh mana bahasa memampukan kita membukakan pengalami pribadi kepada orang lain? (2) Dari unsur pandangan: (a) Pengetahuan apa yang akan hilang jika seluruh dunia memiliki / menggunakan hanya satu bahasa? (3) Dari unsur metode dan alat: (a) Bagaimana bahasa dapat digunakan untuk memengaruhi, meyakinkan atau manipulasi emosi manusia? (b) Sejauh mana nama dan kategori yang kita menggunakan membantu atau menghalangi penerimaan pengetahuan orang? (4) Dari unsur etika: (a) Bagaimana kita dapat menentukan apabila bahasa digunakan untuk memengaruhi atau manipulasi kita? (IBO, 2019, TOK: 19).
Filsafat bahasa adalah sebuah bidang yang mencakup sangat banyak cabang, topik dan pandangan yang berbeda, bahkan kadang-kadang meliputi definisi istilah yang bertentangan. Namun, topik-topik yang dibahas di sini adalah topik yang dapat dikaitkan dengan tujuan kurikulum IB TOK. Pertama, Jamil (2019: 111) menyebut delapan fungsi bahasa, termasuk (1) alat berkomunikasi (menyampaikan maksud), (2) alat penyampai rasa santun, (3) penyampai rasa keakraban dan hormat, dan (4) cermin peradaban bangsa. Fungsi-fungsi seperti inilah dapat dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dari TOK seperti 1a dan 1b.
Setelah menguraikan unsur-unsur silabus di atas, penelitian ini memilih lima bagian dari filsafat bahasa untuk membantu siswa IB PTA menjawab pertanyaan-pertanyaan teori pengetahuan, yaitu sebagai berikut:
- Komunikasi: bahasa dan pikiran. Menurut Gottlob Frege, pikiran manusia menggunakan bahasa dan pikiran itu apa yang dapat digunakan untuk mengucapkan sesuatu (Devitt & Hanley, 2006: 77-78). Topik ini dapat dikaitkan dengan pertanyaan TOK 1a dan 1b.
- Bahasa dan interaksi sosial. Konsep terutama di sini adalah politeness atau kesopanan, di mana manusia berusaha diterima dengan baik oleh orang lain, atau pada saat tertentu, menjauh daripada orang lain (Chapman & Routledge, 2009: 158). Topik ini dapat dikaitkan dengan pertanyaan 3a dan 4a dari pertanyaan TOK.
- Kebenaran. Menurut Gottlob Frege, setiap kalimat deklaratif memiliki sifat benar atau salah (Chapman & Routledge, 2009: 244) dan dapat dikaitkan dengan pertanyaan 3b dan 4a.
- Terjemahan bahasa, yang seringkali dikaitkan dengan teori Sapir-Whorf, di mana keterbatasan bahasa tertentu menjadi keterbatasan pemahaman dan dunia penutur asli bahasa tersebut (Chapman & Routledge, 2009: 116). Topik ini dapat dikaitkan dengan pertanyaan dari silabus sastra mengenai terjemahan, dan pertanyaan 2a dari pertanyaan TOK.
- Kreativitas, yang didefinisikan oleh Chapman dan Routledge sebagai kemampuan manusia untuk menciptakan kalimat baru yang tidak pernah diungkapkan sebelumnya oleh manusia lain tetapi dapat dipahami dengan jelas oleh penutur bahasa tersebut (2009: 44). Topik ini dapat dikaitkan dengan pertanyaan apa saja yang dapat kita belajar melalui sastra – karena sastra merupakan contoh kreativitas manusia dengan penggunaan bahasa.
- Kajian Kembali ke Desa sebagai contoh IB teks interdisiciplinary
Novel Kembali ke Desa menceritakan seorang gadis desa bernama Putu Larasati, yang menikah pada usia remaja kepada seorang perwira Belanda pada zaman penjajahan Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia. Ketika suaminya Putu Larasati meninggal dunia beberapa tahun setelah pernikahannya, Putu dihadapi dengan tantangan yang besar, yaitu bagaimana cara melanjutkan kehidupannya sebagai seorang janda muda. Komandan tangsi Belanda di mana suaminya bertugas sebelum meninggal, bernama Mayor Hoffman, berusaha merayu Putu dan berharap Putu akan jatuh cinta dengan dia. Novel Kembali ke Desa menunjukkan bagaimana Putu Larasati dapat tetap bertahan melawan keinginan Mayor Hoffman, seorang egois yang penuh kebencian.
Berikut adalah kutipan-kutipan novel Kembali ke Desa yang dapat digunakan dan dibahas di kelas bahasa ketika pengajar mata pelajaran Sastra Indonesia mau mengajak para siswa untuk merenungkan topik-topik filsafat bahasa:
- Komunikasi: bahasa dan pikiran
Bab 1, mulai halaman 8 sampai halaman 86 berpusat kepada sebuah percakapan antara Putu Larasati dengan Mayor Hoffman. Latar belakang mereka diceritakan dan para pembaca novel mulai memahami hubungan dekat yang telah dialami oleh Putu dengan suaminya sebelum dia meninggal dunia. Namun selama bab pertama ini seringkali para pembaca dapat membedakan antara bahasa Putu Larasati dan Mayor Hoffman dan pikiran Putu Larasati dan Mayor Hoffman.
Contohnya pada halaman 34: “ ‘Benar tidak kataku? Engkau memang mencari-cari alasan sampai-sampai mengungkit soal anak segala, bukan?’ tanya Mayor Hoffman sambal tetap tertawa. Tidak ada gunanya mecari-cari alasan di hadapanku anak manis. Aku ini seorang Mayor Kavaleri.” Para pembaca dapat merenungkan perbedaan antara pikiran manusia dengan perkataan manusia.
Pada halaman berikutnya, pikiran dan bahasa Putu Larasati muncul:
“Saya tidak mencari-cari alasan, Tuhan!” kata Putu Larasati setelah tawa Mayor Hoffman berhenti dan cuma tertinggal senyumnya. “Soal saya tidak mempunyai anak adalah benar-benar alasan, meskipun alasan itu cumalah salah satu dari banyak alasan yang menyebabakan saya memutuskan untuk pergi dari sini.” Alasan lain, yang jumlahnya cukup banyak itu, sama pentingnya dengan alasan yang ini, Mayor! (2018: 35)