Mohon tunggu...
Raka Zulfikar
Raka Zulfikar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang MM, Masters of Moron-ness..

Life can be full of surprises~

Selanjutnya

Tutup

Humor

Pedagogi Dosa #8: Belajar Mengenal Anekdot "Tidak Bermakna" yang Dihasilkan oleh Imaji-imaji Liar

6 Maret 2023   16:57 Diperbarui: 6 Maret 2023   17:14 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Foto: Google

[Apa yang terjadi jika Indonesia tidak pernah dijajah? Beberapa tahun yang lalu diriku membaca artikel yang membahas pertanyaan ini. Salah satu tesis di dalamnya menjawab kemungkinan Indonesia tidak akan ada. Setiap pulau yang sekarang tergabung menjadi bagian negara ini akan menjadi negara sendiri-sendiri. Setiap kerajaan akan menciptakan negaranya sendiri. Dan mungkin tidak akan ada bahasa Indonesia, karena setiap kerajaan memiliki bahasanya masing-masing. Contoh, kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan akan menggunakan bahasa Bugis-Makassar, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara akan menggunakan bahasa Buton, Tolaki, dan Muna, kerajaan-kerajaan di Kalimantan akan menggunakan bahasa Dayak dan Melayu, serta pada kerajaan-kerajaan lainnya. Sejalan dengan judul tulisan ini, pertanyaan di atas adalah salah satu dari banyaknya imaji-imaji liar yang berkembang di luar sana, menunggu seseorang untuk menyadarinya dan mempertanyakannya.

Seperti imaji-imaji yang ditawarkan oleh salah satu sutradara favoritku, Quentin Tarantino, dalam karya-karyanya yang mengimajinasikan bagaimana jika seandainya Adolf Hitler mati di dalam gedung bioskop? Atau bagaimana jika ada orang kulit hitam yang menjadi sosok pahlawan dimasa-masanya yang paling kelam? Atau bagaimana suasana Hollywood di akhir tahun 60an terlepas dari apapun sejarah yang membentuknya? Imaji-imaji liar tersebut ku rasa dapat menjadi diskursus yang menyenangkan ditengah gempuran pertunjukan teater modern yang melulu mempertunjukkan sesuatu yang memang sudah seperti itu adanya, penuh pesan-pesan kebaikan dan keniscayaan, dan penggambaran kebaikan yang klise, fana, dan cenderung berulang terus-menerus. Karena hal-hal seperti ini lah ku rasa dunia perfilman saat ini akan tetap membutuhkan orang-orang yang memiliki paradigma seperti Quentin Tarantino.

Tulisan ini ku bagi menjadi enam bab anekdot, yakni:

Bab I               : Reservoir Dogs (1992) dan Sudut Pandang “Tidak Bermakna”

Bab II              : Nada-Nada dari Pertengahan Abad ke 20

Bab III             : Kaki Perempuan dan Kulit Hitam

Bab IV             : Domergue’s Got a Secret

Bab V              : Gerakan yang Memecah Keheningan

Bab VI             : Setuju Untuk Tidak Setuju Vol. 1

Membuatnya menjadi seri Pedagogi Dosa terpanjang yang pernah ku tulis sejauh ini.]

Bab I 

Reservoir Dogs (1992) dan Sudut Pandang “Tidak Bermakna”

Foto: Google

Fiksi. Fiksi yang benar seharusnya tidak relate dengan kenyataan. Kalimat pertama yang muncul di dalam kepala ku ketika menyelesaikan Reservoir Dogs (1992). Film ini adalah film pertama Quentin Tarantino. Film yang aneh, bercerita tentang beberapa orang yang merencanakan dan melakukan perampokan berlian dan di akhiri dengan *tiiiiittt. Terbagi dalam beberapa bagian yang menyatu di akhir. Tidak ada contoh dan teladan yang dapat ditiru dalam film ini. Minim makna dan sangat tidak mungkin skenario film ini terjadi di dunia nyata. Tentu saja ada kemungkinan skenario itu terjadi di dunia nyata, namun ku rasa peluang terjadinya hanya sepersekian persen. Adegan penyiksaannya lebih menjurus ke thriller dari sekadar drama/kejahatan. Keseluruhan film di dominasi dengan dialog ketimbang aksi nya. Diriku berani bertaruh orang biasa tidak akan betah duduk berlama-lama menonton film ini.

Sialnya, Reservoir Dogs (1992) benar-benar tidak menghasilkan kesimpulan yang memiliki bobot untukku, tapi entah mengapa diriku sangat menikmati jalannya film yang berdurasi satu setengah jam tersebut. Beberapa waktu lalu, sempat ku terkagum-kagum dengan Game of Thrones (2011) dan House of The Dragon (2022). Kedua series drama politik itu memberikan ku kesimpulan seperti yang telah ku bahas pada beberapa tulisan sebelumnya. Fight Club (1999) karya David Fincher memberikanku gambaran perjuangan seseorang melawan kebosanan. Interstellar (2014) karya Christopher Nolan menggambarkan penyesalan yang perlu dan harus diambil untuk kebaikan bersama. Semua film yang kusebutkan barusan memiliki pesan moral yang dalam dan penting untuk disampaikan kepada orang-orang. Reservoir Dogs (1992)? Tidak ada kesimpulan yang bisa dihasilkan dari film ini. Menjadikannya sebagai film tanpa makna yang bangsatnya berakhir spektakuler!

Yang menarik perhatianku dalam film ini adalah sepertinya film ini menjelaskan secara lugas tentang bagaimana orang dapat menikmati Reservoir Dogs (1992) dan karya-karya Tarantino ke depannya, yaitu dengan memperhatikan ‘detail’. Ada dialog yang berkata begini: “Hal-hal yang harus kau ingat adalah detailnya. Detail yang akan menjual ceritamu”. Tidak disebutkan detail apa yang dimaksud. Namun yang pasti, bagi mereka yang ‘khatam’ dengan film-film yang dibuat oleh Tarantino secara terperinci pasti tau kalo doi selalu memainkan dialog yang panjang, dan entah kenapa diriku merasa detail yang dimaksud oleh Reservoir Dogs (1992) adalah ‘detail’ percakapan dari dialog yang panjang-panjang tersebut. Seakan-akan Tarantino membuat Reservoir Dogs (1992) sebagai ‘buku panduan’ untuk bagaimana penonton memahami film-filmnya. Astaga!!

Reservoir Dogs (1992) keluar dengan mendapat sambutan yang sangat baik dari kritikus. Majalah film asal Inggris, Empire, bahkan menyebutnya sebagai “Film Independen Terbaik Sepanjang Masa”. Menjadikan Tarantino sebagai sutradara yang sangat cepat bersinar pada era 90an dan membuktikan kalo cerita-cerita fiksi, tidak linear, minim pesan moral dan filosofi dapat disukai oleh orang banyak. Tarantino menjual imajinasi liar pada suatu momen kehidupan yang acak dan membuat sesuatu yang ‘omong kosong’ menjadi spektakuler.

Bab II

Nada-Nada dari Pertengahan Abad 20


Sebagai sutradara yang hidup di era modern, Tarantino ternyata cukup eksentrik dengan menggunakan lagu-lagu yang berumur nyaris sama dengannya. Di saat sutradara lain gencar menggunakan nada-nada klasik terbarukan dan lagu-lagu yang se-era, doi berani mengambil risiko menggunakan genre yang hampir tidak terdengar oleh telinga-telinga orang masa kini. Bayangkan, kira-kira berapa banyak anak muda yang tau imagine dari John Lennon daripada anak muda yang tau Ghost dari Justin Bieber? Maksudku, risiko ini nyata karena soundtrack merupakan salah satu unsur daya tarik suatu suatu film. Kecocokan lagu pada suatu scene akan menyentuh ‘rasa’ seseorang yang menontonnya. Hal ini akan melepaskan sisi emosional penonton sehingga penonton menjadi lebih bersimpati pada suatu karakter dalm film. Untukku pribadi, lagu atau nada-nada pada film adalah unsur penting yang mengantarkan plot pada penekanan-penekanan yang kurang kuat diperlihatkan oleh adegan.

Contoh pada adegan Au Revoir! Shosanna di Inglourious Basterds (2009), saat Kol. Hans Landa (Christoph Waltz) mengarahkan anak buahnya untuk menembak lantai, nada yang mengiringi tiap adegan menekankan suasana horor-dramatis beberapa saat sebelum para tentara menembak lantai hingga adegan Shosanna lari menjauh dari rumah. Pastinya nada-nada ini bukan nada yang khas tercipta pada era modern ini. Kerennya, Tarantino berhasil mengawinkan tiap adegan pada filmnya dengan lagu atau nada-nada tuanya dan tetap memberikan predikat ikonik di telinga dan mata penonton masa kini. Seakan-akan film tidak bermaknanya tetap mampu beradaptasi dengan vibes jaman sekarang. Kemampuan yang belum tentu dimiliki oleh setiap sutradara yang ada saat ini. Mungkin untuk sutradara sekelas Steven Spielberg, David Fincher, James Cameron, dan Christopher Nolan bisa memakai nada-nada seperti ini, tapi ku rasa mereka pun belum tentu memiliki naluri seperti Tarantino.

Lagu-lagu yang digunakan Tarantino pada film-filmnya adalah lagu-lagu yang sejaman dengan film-film awal Martin Scorsese. Hal ini bisa saja berhubungan mengingat salah satu film favorit Tarantino adalah Taxi Driver (1976) yang di sutradarai oleh Martin Scorsese itu sendiri yang juga menggunakan soundtrack yang mirip dengan film-filmnya Tarantino. Di sisi lain, diriku merasa nada-nada itu justru memberikan sensasi menonton film yang berbeda dari film-film modern lainnya di saat film-film sekarang kerap kali menggunakan lagu dan nada yang mengintonasikan sisi kepahlawanan.

Bab III

Kaki Perempuan dan Orang Kulit Hitam

Foto: Google

Keduanya merupakan unsur yang paling sering di objektifikasi dalam film-filmnya Quentin Tarantino. Terkesan misoginis dan anti kulit hitam, namun faktanya semua unsur tersebut selalu dideskripsikan sebagai pihak yang menang di akhir film. Semua penggemar Tarantino tau kalo Tarantino memiliki signature scene yang mengambil adegan kaki terutama kaki perempuan. Dulu diriku tidak mengerti maksud dari scene kaki perempuan ini. Kalo scene kaki laki-laki jelas bisa ku tangkap maksudnya untuk mempertajam ancaman atau memperlihatkan detik-detik ‘moment before disaster’. Tapi kaki perempuan? Sempat ku simpulkan scene ini sekadar sebagai scene tambahan yang melengkapi durasi film. Setelah menonton film-film lain yang memiliki scene yang sama ku rasa Tarantino ingin mengeksplorasi keindahan perempuan lewat sudut yang jarang diperlihatkan oleh film-film lain.

Masih seirama dengan eksplorasi Tarantino, berbicara tentang tentang kaki dan perempuan mengingatkanku dengan Grindhouse: Death Proof (2007) karya Tarantino yang mayoritas pemerannya adalah perempuan. Di Grindhouse: Death Proof (2007) ada sebuah feet scene yang ternyata memiliki konotasi yang lebih lebar dari eksplorasi keindahan makhluk Tuhan bernama perempuan. Konotasi itu adalah objektifikasi perempuan. Objektifikasi perempuan ini mencapai puncaknya saat Arlene (Vanessa Ferlito) mengiyakan tantangan Stuntman Mike (Kurt Russell) untuk melakukan striptease padanya. Sebagai catatan: striptease-nya bukan striptease yang buka pakaian satu-persatu seperti umumnya tarian-tarian striptease. Arlene hanya menari mengikuti gerakan penari striptease tapi tidak sampai membuka baju, apa lagi telanjang. Bahkan secara teknis, film ini tidak memiliki unsur pornografi di dalamnya. Sayangnya, akhir-akhir ini baru ku sadari objektifikasi perempuan semacam ini ternyata lebih berbahaya dari sekadar nonton video-video lawas Maria Ozawa.

Objektifikasi yang umum dilakukan Tarantino pada karya-karya selanjutnya adalah objektifikasi kulit hitam. Percaya saya, kata niger, nigga, negro adalah kata yang umum di dalam film-filmnya Quentin Tarantino. Dan parahnya, kata-kata tersebut banyak dikatakan oleh karakter-karakter kulit putih. Atas nama keren, hinaan bernada rasis sah untuk di lakukan. Atas nama seni, hinaan yang berkonotasi melukai martabat suatu kaum sah untuk dilakukan. Atas nama edgy, hinaan yang mengingatkan masa-masa perbudakan suatu kaum sah untuk dilakukan. Pertunjukkan teater macam apa yang secara terang-terangan, eksplisit, tanpa sensor mengadopsi unsur kekerasan verbal terhadap salah satu golongan tertentu? Jawabannya adalah pertunjukkan teater yang ditulis dan disutradarai oleh Quentin Tarantino. Hahaha.. film-film ini benar-benar fucked up.

Samuel L. Jackson adalah aktor kulit hitam yang tampil paling banyak dalam karya-karya Quentin Tarantino. Setidaknya, dia main dalam empat film dari total sembilan film yang telah diciptakan oleh Tarantino sejauh yang ku riset (Dalam interview-nya dia mengatakan main dalam enam film). Film-film tersebut adalah: Pulp Fiction (1994), Jackie Brown (1997), Django Unchained (2012), dan The Hateful Eight (2015). Menjadikannya sebagai aktor yang tampil paling banyak melebihi aktor dengan warna kulit yang lain. Terkadang diriku bertanya-tanya tentang apa yang dipikirkan oleh Samuel L. Jackson saat membaca skrip-skrip di film-film Tarantino yang ia mainkan. Dari total empat film yang ia mainkan, dua di antaranya menurutku paling parah kadar rasismenya, Django Unchained (2012) dan The Hateful Eight (2015). Kedua film tersebut memiliki latar belakang waktu di sekitaran tahun 1800an di Amerika, dimana saat itu adalah masa-masa paling gelap dan kelam untuk orang-orang berkulit hitam. Anehnya, Samuel L. Jackson memainkan semua karakter itu secara sukarela dan sukacita. Dalam wawancaranya ia mengatakan kalo semua karakter yang dimainkannya adalah karakter penting. Lebih lanjut, ia menambahkan orang yang tidak menyukai film-film Quentin Tarantino hanya melihat unsur eksploitasinya saja, mereka tidak melihat secara keseluruhan filmnya. Dan itu ada benarnya juga. Maksudku, penggemar film mana yang tidak tau scene “Does He Look Like a Bitch?” dari karakter Jules Winnfield yang dimainkan oleh Samuel L. Jackson di Pulp Fiction (1994)? Dan di akhir film Jules Winnfield digambarkan sebagai sosok yang dijagokan dari keseluruhan cerita di Pulp Fiction (1994).

Tapi untukku, bagaimana pun bentuk eksploitasi yang diperlihatkan oleh Tarantino adalah bentuk kebutuhan yang perlu dilakukan. Diriku pribadi setuju dengan Samuel L. Jackson, bahwa kita harusnya melihat secara keseluruhan film-film tersebut dan tidak hanya fokus pada hal yang negatifnya. Maksudnya, coba bayangkan jika tidak ada unsur eksploitasi kulit hitam dalam Django Unchained (2012), ku rasa film itu tidak akan bisa sepecah ini..

Bab IV

Domergue’s Got a Secret

Foto: Google

Adalah anekdot yang paling ku favoritkan dalam karya-karya Quentin Tarantino. Anekdot ini muncul di The Hateful Eight (2015) sebagai bagian ke empat sub cerita dalam film tersebut. Yang spesial dari bagian ke empat ini adalah terdapat dua plot yang terjadi dalam rentang waktu yang sama, Plot pertama yakni perdebatan antara Mayor Marquis Warren dan Jendral Sanford Smithers dan plot kedua saat Domergue melihat seseorang memasukkan racun ke dalam cerek kopi. Biasanya, pembuat naskah film akan menulis plot kedua sebagai gambaran saja, sehingga saat plot pertama yaitu perdebatan antara Mayor Marquis Warren dan Jendral Sanford Smithers berjalan, scene akan berganti cepat ke scene seseorang memasukkan racun lalu scene berpindah cepat kembali ke plot pertama. Namun dalam The Hateful Eight (2015) Tarantino tidak serta merta menyepelekan scene seseorang memasukkan racun tersebut, melainkan membuatkan narasi untuk scene tersebut hingga menjadi satu anekdot tersendiri untuk plot kedua di rentang waktu yang sama. Shit!! Jenius betul orang ini. Jadi Tarantino membuat dua jalan cerita berbeda pada waktu dan tempat yang sama. Dan kedua plot ini di satukan dan dijelaskan hubungannya pada bagian kelima film tersebut.

Menurutku The Hateful Eight (2015) adalah salah satu karya terbaik Quentin Tarantino. Banyak momen “Gerakan yang memecah keheningan” dalam film ini, yang mana, momen ini akan ku bahas pada bab ke lima selanjutnya. Dialog yang diucapkan juga padat dan cukup berhasil membuat penonton menyimak detail-detailnya. Adegan tembak-menembaknya juga tidak bisa diremehkan. Dan endingnya yang *tiiiiiitt. Namun orang-orang sepertinya tidak sependapat dengan ku. Beberapa komentar yang ku baca mengatakan film ini tidak terlalu bagus. Yahh.. yang namanya opini dan selera memang tidak bisa dipaksakan. Say adios to your huevos..~

Bab V

Gerakan yang Memecah Keheningan

Foto: Google

Seumur-umur hidup, menonton film dan series telah menjadi salah satu hiburan utama untukku. Hal-hal tidak terduga menjadi unsur menarik yang paling ditunggu-tunggu oleh penggemar film. Dan berbicara tentang hal-hal tidak terduga, temanku Melaha, seorang mahasiswa kedokteran yang sedang berada di fase akhir pendidikannya pernah bercerita dengan ku tentang kesehatan mental yang sering menjadi perbincangan di media sosial akhir-akhir ini. Doi ngomong kalo dalam ilmu psikiatri, pada dasarnya semua orang memiliki gangguan kejiwaan. Orang-orang normal yang tiap hari berinteraksi dengan kita baik orang tua, teman, adik, kakak, dosen, dan lain sebagainya itu sebenarnya memiliki gangguan kejiwaan, hanya gangguan kejiwaan tersebut belum terlihat saja saat ini. Kerennya, sepertinya Tarantino tau soal ini, mengingat dia selalu menciptakan karakter yang entah mengapa wataknya berubah ditengah atau diakhir jalan.

Dalam Once Upon a Time in Hollywood (2019) karakter Rick Dalton (Leonardo Di Caprio) diperkenalkan sebagai seorang aktor yang sedang berada dipuncak. Namun setelah puncak itu terlewati ia takut karir perfilmannya tamat. Ia mengalami post-power syndrome yang membuatnya berjuang dan melakukan apa saja untuk menyelamatkan karirnya. Yang harus digaris bawahi disini adalah Rick Dalton memperjuangkan karirnya tapi tetap dijalan yang lurus. Artinya, dalam proses penyelamatan tersebut dia (sepertinya) tidak sampai hati untuk menyakiti orang lain. Intinya adalah karakter Rick Dalton ini adalah karakter yang baik. Dan wataknya diperlihatkan seperti itu terus menerus sampai.. di akhir film(?). *Peringatan Spoiler *skip ke dua paragraf selanjutnya. Ada adegan dimana rumah Rick di masuki oleh sejumlah hippies sementara Rick sedang bersantai diatas pelampung kolam renangnya sambil mendengarkan radio yang terhubung dengan headphone. Singkat cerita karena dia menggunakan headphone, dia tidak mendengar perkelahian yang terjadi di dalam rumahnya antara sekumpulan hippies dan Cliff Booth (Brad Pitt), teman baik Rick. Rick tidak menyadari itu sampai salah satu hippies yang panik-histeris berlari menabrak jendela dan terjatuh di kolam renang sambil memegang pistol. Rick yang kaget melihat seorang hippies jatuh di kolam renang rumahnya tersebut cepat-cepat keluar dari kolam renang. Sampai disini, kira-kira penonton akan menebak apa yang dilakukan Rick setelah keluar dari kolam renang? Menelpon polisi? Membantu Cliff yang sedang berkelahi? Atau menyelamatkan Francesca (Lorenza Izzo) istrinya? Kalo melihat berdasarkan pembangunan karakter Rick Dalton dari awal film mungkin penonton akan memilih salah satu jawaban yang ku sebutkan barusan. Namun rasanya, bukan seorang Quentin Tarantino yang menulis naskah jika sebab-akibat nya tertebak seperti itu. Kembali ke Rick cepat-cepat keluar dari kolam renang dan BERGEGAS menuju gudang. Apa yang dia lakukan di gudang? Mengambil tongkat baseball? Mengambil pedang untuk mempertahankan diri? TIDAK. Sambil di iringi nada-nada horor pertengahan abad ke dua puluh, kamera mengambil gambar foot scene Rick yang berjalan keluar dari gudang, berjalan terus ke pinggir kolam renang, melebarkan jangkauan frame kamera hingga seluruh badan Rick terlihat-memegang sebuah flamethrower.. Astaga!! Bisa seperti itu dong plotnya.. Jenius memang Quentin Tarantino ini. Disinilah gangguan kejiwaan Rick terlihat. Setelah sampai dipinggir kolam renang, Rick menodongkan moncong flamethrower ke arah hippies tersebut dan membakarnya hidup-hidup.

Selain menciptakan karakter dengan watak yang berubah ditengah jalan, Tarantino ternyata memainkan emosi penontonnya dengan adegan-adegan yang mendobrak ekspektasi. *Peringatan Spoiler *skip ke paragraf selanjutnya Dalam Grindhouse: Death Proof (2007) misalnya, ada sebuah karakter yang bernama Stuntman Mike. Karena namanya Stuntman Mike berarti sudah jelas dia bekerja sebagai Stuntman (aktor/aktris pengganti untuk adegan-adegan berbahaya). Stuntman Mike ini mempunyai mobil Stuntman yang selalu dia gunakan kemana-mana. FYI Stuntman Mike ini adalah psikopat yang suka membunuh geng-geng yang berisi remaja-remaja perempuan dijalanan. Tidak jelas motifnya apa, namun dari pembangunan karakternya seakan-akan dia mendapat kepuasan tersendiri ketika membunuh kelompok-kelompok tersebut. Pada suatu waktu ketika ia ingin menghabisi mangsanya, Stuntman Mike mengikuti salah satu mobil yang berisi salah satu geng remaja tersebut. Kali ini, ia ingin membuat skenario pembunuhannya seperti kecelakaan lalu lintas. Segera ia memutuskan untuk melaju kencang menuju mobil sekelompok remaja tersebut dari arah yang berlawanan di jalan yang gelap. Stuntman Mike mempersiapkan posisinya, mematikan lampu mobilnya agar mangsanya tidak menyadari kedatangannya dan melaju kencang ke arah mereka. Sampai disini, kira-kira bagaimana penonton membayangkan teknis pembunuhannya terjadi? Stuntman Mike mengagetkan mereka dengan menyalakan lampu agar mereka kaget, mencoba menghindar, mobil mereka terbalik, dan meledak? Atau Stuntman Mike tancap gas ke arah mobil mereka dan loncat keluar dari mobil ketika jarak sudah dekat ala Fast and Furious (2009)? Hahaha semuanya salah. Dalam persepsi normal, jika seseorang ingin membunuh atau mencelakai orang lain, orang itu akan melancarkan aksinya dengan skenario yang meminimalisir dirinya terluka. Dan Stuntman Mike membantah persepsi itu. Stuntman Mike melaju kencang menuju mobil para remaja tersebut, menyalakan lampu ketika jarak antara kedua mobil sudah sangat dekat, dan menabrakan diri dengan kecepatan tinggi ke mobil mereka. Booomm!!! Mobil anak-anak remaja itu hancur total, badan mereka terpotong-potong akibat tabrakan, kepala Arlene hancur terkena ban mobil, kaki kanan Julia (Sydney Tamiia Poitier) terlepas dari badannya, dan anggota badan anak-anak lain berceceran di TKP. Tidak satupun remaja-remaja tersebut yang selamat dari kecelakaan maut ini. Sementara itu, bagaimana dengan Stuntman Mike? Perlu ku ingatkan lagi mobil Stuntman Mike adalah mobil Stuntman. Dan seperti pada umumnya mobil Stuntman lain, mobil Stuntman Mike di desain untuk meminimalisir kerusakan dan meminimalisir potensi kematian seorang Stuntman yang mengendarainya. Stuntman Mike hanya mendapatkan luka dihidung dan tangan kanan yang patah.

Biasanya diriku tidak begitu menyukai sesuatu yang tidak sesuai dengan premis awal. Tapi sensasi yang terasa melihat hasil karya Quentin Tarantino adalah sesuatu yang lain dari yang lain. Dan segera setelah scene ini ku berikan tepuk tangan untuk seorang sutradara yang luar biasa. Yang berhasil mendobrak standar dan persepsi sebab-akibat orang-orang yang terlalu lurus dan membosankan. Yang berhasil memberikan kejutan melalui ‘gerakan yang memecah keheningan’ seperti dua contoh diatas. Dan yang berhasil membuat film-film itu lebih plong untuk dinikmati ketimbang scene-scene umum yang cenderung yang cenderung terjadi lagi dan lagi.

Bab VI

Setuju untuk Tidak Setuju Vol. 1

Sepertinya hidup tidak melulu soal filosofi dan substansi, dan hal itu terbukti pada karya-karya Quentin Tarantino. Bagian ke lima ini adalah tulisan yang paling susah dalam esai ini menurutku. Karena pada bagian ini akan ku rangkum lima film-film Quentin Tarantino dari yang ku favoritkan ke yang paling ku favoritkan. (1) yang ku favoritkan, (9) yang paling ku favoritkan.

  • Jackie Brown (1997)
  • Kill Bill Vol. 1 & 2 (2003) & (2004)
  • Grindhouse: Death Proof (2007)
  • Django Unchained (2012)
  • The Hateful Eight (2015)
  • Inglourious Basterds (2009)
  • Reservoir Dogs (1992)
  • Pulp Fiction (1994)
  • Once Upon a Time in Hollywood (2019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun