Contoh pada adegan Au Revoir! Shosanna di Inglourious Basterds (2009), saat Kol. Hans Landa (Christoph Waltz) mengarahkan anak buahnya untuk menembak lantai, nada yang mengiringi tiap adegan menekankan suasana horor-dramatis beberapa saat sebelum para tentara menembak lantai hingga adegan Shosanna lari menjauh dari rumah. Pastinya nada-nada ini bukan nada yang khas tercipta pada era modern ini. Kerennya, Tarantino berhasil mengawinkan tiap adegan pada filmnya dengan lagu atau nada-nada tuanya dan tetap memberikan predikat ikonik di telinga dan mata penonton masa kini. Seakan-akan film tidak bermaknanya tetap mampu beradaptasi dengan vibes jaman sekarang. Kemampuan yang belum tentu dimiliki oleh setiap sutradara yang ada saat ini. Mungkin untuk sutradara sekelas Steven Spielberg, David Fincher, James Cameron, dan Christopher Nolan bisa memakai nada-nada seperti ini, tapi ku rasa mereka pun belum tentu memiliki naluri seperti Tarantino.
Lagu-lagu yang digunakan Tarantino pada film-filmnya adalah lagu-lagu yang sejaman dengan film-film awal Martin Scorsese. Hal ini bisa saja berhubungan mengingat salah satu film favorit Tarantino adalah Taxi Driver (1976) yang di sutradarai oleh Martin Scorsese itu sendiri yang juga menggunakan soundtrack yang mirip dengan film-filmnya Tarantino. Di sisi lain, diriku merasa nada-nada itu justru memberikan sensasi menonton film yang berbeda dari film-film modern lainnya di saat film-film sekarang kerap kali menggunakan lagu dan nada yang mengintonasikan sisi kepahlawanan.
Bab III
Kaki Perempuan dan Orang Kulit Hitam
Foto: Google
Keduanya merupakan unsur yang paling sering di objektifikasi dalam film-filmnya Quentin Tarantino. Terkesan misoginis dan anti kulit hitam, namun faktanya semua unsur tersebut selalu dideskripsikan sebagai pihak yang menang di akhir film. Semua penggemar Tarantino tau kalo Tarantino memiliki signature scene yang mengambil adegan kaki terutama kaki perempuan. Dulu diriku tidak mengerti maksud dari scene kaki perempuan ini. Kalo scene kaki laki-laki jelas bisa ku tangkap maksudnya untuk mempertajam ancaman atau memperlihatkan detik-detik ‘moment before disaster’. Tapi kaki perempuan? Sempat ku simpulkan scene ini sekadar sebagai scene tambahan yang melengkapi durasi film. Setelah menonton film-film lain yang memiliki scene yang sama ku rasa Tarantino ingin mengeksplorasi keindahan perempuan lewat sudut yang jarang diperlihatkan oleh film-film lain.
Masih seirama dengan eksplorasi Tarantino, berbicara tentang tentang kaki dan perempuan mengingatkanku dengan Grindhouse: Death Proof (2007) karya Tarantino yang mayoritas pemerannya adalah perempuan. Di Grindhouse: Death Proof (2007) ada sebuah feet scene yang ternyata memiliki konotasi yang lebih lebar dari eksplorasi keindahan makhluk Tuhan bernama perempuan. Konotasi itu adalah objektifikasi perempuan. Objektifikasi perempuan ini mencapai puncaknya saat Arlene (Vanessa Ferlito) mengiyakan tantangan Stuntman Mike (Kurt Russell) untuk melakukan striptease padanya. Sebagai catatan: striptease-nya bukan striptease yang buka pakaian satu-persatu seperti umumnya tarian-tarian striptease. Arlene hanya menari mengikuti gerakan penari striptease tapi tidak sampai membuka baju, apa lagi telanjang. Bahkan secara teknis, film ini tidak memiliki unsur pornografi di dalamnya. Sayangnya, akhir-akhir ini baru ku sadari objektifikasi perempuan semacam ini ternyata lebih berbahaya dari sekadar nonton video-video lawas Maria Ozawa.
Objektifikasi yang umum dilakukan Tarantino pada karya-karya selanjutnya adalah objektifikasi kulit hitam. Percaya saya, kata niger, nigga, negro adalah kata yang umum di dalam film-filmnya Quentin Tarantino. Dan parahnya, kata-kata tersebut banyak dikatakan oleh karakter-karakter kulit putih. Atas nama keren, hinaan bernada rasis sah untuk di lakukan. Atas nama seni, hinaan yang berkonotasi melukai martabat suatu kaum sah untuk dilakukan. Atas nama edgy, hinaan yang mengingatkan masa-masa perbudakan suatu kaum sah untuk dilakukan. Pertunjukkan teater macam apa yang secara terang-terangan, eksplisit, tanpa sensor mengadopsi unsur kekerasan verbal terhadap salah satu golongan tertentu? Jawabannya adalah pertunjukkan teater yang ditulis dan disutradarai oleh Quentin Tarantino. Hahaha.. film-film ini benar-benar fucked up.
Samuel L. Jackson adalah aktor kulit hitam yang tampil paling banyak dalam karya-karya Quentin Tarantino. Setidaknya, dia main dalam empat film dari total sembilan film yang telah diciptakan oleh Tarantino sejauh yang ku riset (Dalam interview-nya dia mengatakan main dalam enam film). Film-film tersebut adalah: Pulp Fiction (1994), Jackie Brown (1997), Django Unchained (2012), dan The Hateful Eight (2015). Menjadikannya sebagai aktor yang tampil paling banyak melebihi aktor dengan warna kulit yang lain. Terkadang diriku bertanya-tanya tentang apa yang dipikirkan oleh Samuel L. Jackson saat membaca skrip-skrip di film-film Tarantino yang ia mainkan. Dari total empat film yang ia mainkan, dua di antaranya menurutku paling parah kadar rasismenya, Django Unchained (2012) dan The Hateful Eight (2015). Kedua film tersebut memiliki latar belakang waktu di sekitaran tahun 1800an di Amerika, dimana saat itu adalah masa-masa paling gelap dan kelam untuk orang-orang berkulit hitam. Anehnya, Samuel L. Jackson memainkan semua karakter itu secara sukarela dan sukacita. Dalam wawancaranya ia mengatakan kalo semua karakter yang dimainkannya adalah karakter penting. Lebih lanjut, ia menambahkan orang yang tidak menyukai film-film Quentin Tarantino hanya melihat unsur eksploitasinya saja, mereka tidak melihat secara keseluruhan filmnya. Dan itu ada benarnya juga. Maksudku, penggemar film mana yang tidak tau scene “Does He Look Like a Bitch?” dari karakter Jules Winnfield yang dimainkan oleh Samuel L. Jackson di Pulp Fiction (1994)? Dan di akhir film Jules Winnfield digambarkan sebagai sosok yang dijagokan dari keseluruhan cerita di Pulp Fiction (1994).
Tapi untukku, bagaimana pun bentuk eksploitasi yang diperlihatkan oleh Tarantino adalah bentuk kebutuhan yang perlu dilakukan. Diriku pribadi setuju dengan Samuel L. Jackson, bahwa kita harusnya melihat secara keseluruhan film-film tersebut dan tidak hanya fokus pada hal yang negatifnya. Maksudnya, coba bayangkan jika tidak ada unsur eksploitasi kulit hitam dalam Django Unchained (2012), ku rasa film itu tidak akan bisa sepecah ini..
Bab IV
Domergue’s Got a Secret
Foto: Google
Adalah anekdot yang paling ku favoritkan dalam karya-karya Quentin Tarantino. Anekdot ini muncul di The Hateful Eight (2015) sebagai bagian ke empat sub cerita dalam film tersebut. Yang spesial dari bagian ke empat ini adalah terdapat dua plot yang terjadi dalam rentang waktu yang sama, Plot pertama yakni perdebatan antara Mayor Marquis Warren dan Jendral Sanford Smithers dan plot kedua saat Domergue melihat seseorang memasukkan racun ke dalam cerek kopi. Biasanya, pembuat naskah film akan menulis plot kedua sebagai gambaran saja, sehingga saat plot pertama yaitu perdebatan antara Mayor Marquis Warren dan Jendral Sanford Smithers berjalan, scene akan berganti cepat ke scene seseorang memasukkan racun lalu scene berpindah cepat kembali ke plot pertama. Namun dalam The Hateful Eight (2015) Tarantino tidak serta merta menyepelekan scene seseorang memasukkan racun tersebut, melainkan membuatkan narasi untuk scene tersebut hingga menjadi satu anekdot tersendiri untuk plot kedua di rentang waktu yang sama. Shit!! Jenius betul orang ini. Jadi Tarantino membuat dua jalan cerita berbeda pada waktu dan tempat yang sama. Dan kedua plot ini di satukan dan dijelaskan hubungannya pada bagian kelima film tersebut.
Menurutku The Hateful Eight (2015) adalah salah satu karya terbaik Quentin Tarantino. Banyak momen “Gerakan yang memecah keheningan” dalam film ini, yang mana, momen ini akan ku bahas pada bab ke lima selanjutnya. Dialog yang diucapkan juga padat dan cukup berhasil membuat penonton menyimak detail-detailnya. Adegan tembak-menembaknya juga tidak bisa diremehkan. Dan endingnya yang *tiiiiiitt. Namun orang-orang sepertinya tidak sependapat dengan ku. Beberapa komentar yang ku baca mengatakan film ini tidak terlalu bagus. Yahh.. yang namanya opini dan selera memang tidak bisa dipaksakan. Say adios to your huevos..~