Buat orang yang tidak terlalu paham dengan fungsi-fungsi dari sebuah struktur perusahaan mungkin akan langsung mencak-mencak. Aku aja dapat berita ini dari ibuku yang tiba-tiba bilang "Nagita kok ini enggak bersyukur banget hidupnya udah enak kok masih ngeluh", setelah kubaca Nagita memang mengeluhkan saat menjadi CEO yang mengharuskan ia bekerja mengurusi sebuah perusahaan, karena mimpi dan keinginan dia adalah menjadi ibu rumah tangga, sama seperti kaya ibuku ya, hihi.
Sebuah anomali kehidupan banget, ibuku mau jadi kaya Nagita, Nagita malah mau jadi kaya ibuku. Masalah manusia memang punya kadarnya masing-masing.Â
Kalo ibuku tahu seberapa puyengnya jadi CEO sebuah perusahaan, saya yakin ibuku bakalan tetep memilih untuk jadi ibu rumah tangga dan hidup biasa-biasa aja, yang kepikiran buat orang "bawah" kaya kita ini memang melihat dari sisi "tajir"nya aja tanpa melihat bagaimana proses untuk mencapai ke situ sampai kesulitannya seperti apa.
Aku memang belum pernah ngerasain jadi CEO, mendekatinya pun belum, apalagi punya teman CEO, palingan temen-temenku yang suka nulis di bio Tiktoknya aja. Suka nulis CEO bla bla bla, padahal ya masih sama susahnya, hihi.
Jadi CEO pasti tidak mudah, bayangkan mengurusi kita sendiri aja pusingnya luar biasa, tiba-tiba lagi santai kadang langsung kepikiran gimana kita bayar kosan, bayar listrik, beli buat makan sehari-hari.Â
Kalo jadi CEO, udah kita pusing mikirin diri sendiri, pasti tugas CEO yang fungsional dia juga harus memikirkan bagaimana perusahaan bisa berjalan, sekaligus memikirkan bagaimana nasib orang-orang pekerja yang ada di perusahaannya.
Bayangkan bagaimana tekanannya jika tugas CEO-nya gagal, yang rugi buat cuma dia tapi bisa imbas ke nasib kehidupan para karyawannya yang misalnya sampai dipecat karena keuangan perusahaan gagal dikelola. Memang sih dibantu dengan para layer di bawahnya. Tapi ya tetap aja pusing ya, semakin tinggi jabatan yang saya yakin pasti tambah bikin pusing. Memang sih sebanding antara tanggung jawab dan kompensasi gajinya, cuma ya kalo pusingnya setiap hari kan ada bagian lain yang jadi masalah baru, bisa-bisa mental health juga bermasalah.
"Dulu pas lulus kuliah, gue bilang gue nggak mau lanjutin kuliah lagi, gue sudah cukup di S1 saja, gue nggak mau lanjutin S2. Gue mau cari suami saja. Gue mau nikah. Gue mau di rumah saja ngurus anak gitu," ucapnya.
"Kebetulan Raffi suka gini, kamu ngapain sih di rumah. Udah support lah, support kek apa gitu kalau ada acara gitu, kayak gitu. Yah suruh kerja. Tapi menurut gue itu bagian dari support suami sih," tandas Nagita Slavina.
Yang kubaca dari berita tersebut, jawaban Nagita memang rasional sih ya. Tekanan jadi CEO itu memang enggak sembarangan orang bisa menerimanya. Enggak heran banyak wanita yang memang memilih untuk tetap berada di rumah sebagai ibu rumah tangga seutuhnya.Â
Bukan berarti para wanita ini tidak sanggup, tapi memang sudah memilih role yang akan mereka mau jalankan. Jadi ibu rumah tangga juga enggak gampang loh. Salah langkah aja bisa jadi bad parenting.
Tapi balik lagi ya, kupikir semua orang punya jalannya masing-masing. Rintangan yang semakin berat kuyakin pasti ada rewards lebih yang akan didapat, perkara waktunya lebih lama atau lebih lambat.Â
Aku pun merasa seperti itu, karir dan hidup kita kok begini-begini aja tanpa progress yang signifikan. Satu yang kuyakin, kita cari peluang yang lebih cocok dan tepat untuk kita.Â
Kita usahakan terus walaupun rewards seperti masih sangat jauh, aku percaya kita akan mendapatkan hasil yang baik atas kerja keras kita. Walaupun masih terasa mengawang-awang. Yuk, semangat yuk...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H