Mohon tunggu...
Lely Zailani
Lely Zailani Mohon Tunggu... Guru - Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga dengan satu anak. Pendiri dan aktif di HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) organisasi non pemerintah yang bekerja untuk pemberdayaan perempuan akar rumput di perdesaan. Saat ini tinggal Deli Serdang Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urgensi Pengarusutamaan Gender dalam Penanganan Covid-19

14 Mei 2020   10:58 Diperbarui: 14 Mei 2020   11:34 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Bahan Presentasi Webinar INFIN, 6 Mei 2020)

Komitmen untuk PUG : Layak Diapresiasi

Patut diapresiasi bahwa pemerintah Indonesia sesungguhnya telah menunjukkan komitmen yang kuat melakukan Pengarusutamaan Gender (PUG) dengan catatan kronologis yang panjang, hingga dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender oleh Presiden Abdurahman Wahid.

Diikuti dengan berbagai kebijakan konkrit untuk menginstitusionalisasikan perspektif gender dalam perencanaan, implementasi, monitoring evaluasi dan penganggaran oleh Menteri Dalam Negeri dalam Permendagri No. 67 tahun 2011 tentang Perubahan Permendagri No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, pada Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender. Diikuti dengan berbagai Perda PUG di daerah.

Upaya mempercepat pelaksanaan PUG kemudian dilakukan melalui uji coba pelaksanaan Anggaran Responsif Gender (ARG). Untuk pertama kalinya dalam RPJMN 2010-2014, kebijakan pengarusutamaan gender diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran, yang memuat kebijakan, indikator, dan sasaran yang terpilah gender dari berbagai kementerian dan lembaga, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam penyusunannya.

Pun berbagai kebijakan untuk perlindungan perempuan dari tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang kemudian diturunkan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan di seluruh propinsi telah tersedia. Juga diperkuat dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 460/813/SJ yang ditujukan kepada Gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia tentang kewajiban membuat program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dengan demikian, setiap daerah telah memiliki kebijakan menjalankan mandate yang tertuang dalam Inpres No.9/2009.

Dalam Situasi Darurat Bencana : Pemerintan Abai

Kebijakan PUG dalam situasi darurat penanganan bencana juga sudah dikeluarkan melalui Peraturan Kepala (Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 13 tahun 2014 tentang PUG dalam Penanganan bencana. Perka ini mengatur kewajiban untuk memperhatikan pengalaman perempuan dan anak perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan mereka. Perka BNPB ini merupakan satu-satunya regulasi pemerintah yang tersedia saat ini, sebagai rujukan bagi Satuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19.[1] Sayangnya tidak menjadi rujukan hukum dalam pembentukan SK Satgas Percepatan Penanganan Covid 19 No. 18 tahun 2020 yang versi revisinya dikeluarkan pada tanggal 29 April 2020. 

Tidak digunakannya Perka No. 13 Tahun 2014 tentang PUG dalam kebencanaan sebagai landasan hukum dalam pembuatan kebijakan, program dan anggaran penanggulangan Covid-19 (perencanaan hingga impelementasi) menjadikan pemerintah “abai” dalam melakukan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan memberi celah dimana pemenuhan hak-hak perempuan, kelompok disabilitas, kelompok orientasi seksual yang berbeda dan kelompok minoritas lainnya akan terabaikan. 

Minimnya Representasi Perempuan 

Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi terpadu dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian kebijakan dan program pembangunan nasional. Hilangnya dimensi gender dalam kebijakan dan pengelolaan Covid-19 di Indonesia, menyebabkan mainstreaming gender terlupakan dalam struktur Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Ini dimulai dengan minimnya representasi perempuan dalam struktur kelembagaan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 sejak di tingkat nasional hingga daerah. Dengan kata lain, tampaknya keterwakilan perempuan tidak menjadi pertimbangan.

Di tingkat nasional, kita hanya dapat mengidentifikasi satu perempuan (Sri Mulyani, Menteri Ekonomi) yang berada dalam gugus sebagai Sekretaris Dewan Pengarah dan belakangan tidak terlihat lagi di gugus tugas ini. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pun tidak nampak masuk dalam gugus tugas Covid-19 di tingkat nasional Di tingkat daerah, ketua gugus tugas adalah kepala daerah yang jumlahnya sekitar 8% saja. Data ini mengacu pada data kepala daerah perempuan terpilih hasil pemilu 2015, 2017 dan 2018 (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018). Angka ini jauh di bawah target kebijakan afirmasi (30 %) yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu.

Hingga ke tingkat pemerintahan desa/kelurahan Relawan Covid-19 yang dibentuk berdasarkan surat Menteri Desa No 8/2020 tentang desa tanggap Covid-19 pun minim representasi perempuan, karena tidak “didesak” atau setidaknya “didorong” oleh spirit pengarusutamaan gender. Secara terbatas, perempuan yang dilibatkan dalam Relawan Covid-19 berasal dari PKK dan Kader Kesehatan (Posyandu), belum banyak melibatkan komunitas-komunitas perempuan lainnya di luar organisasi bentukan pemerintah desa.

Diskriminasi dan Resiko Kekerasan terhadap Perempuan

Seruan untuk di rumah saja melakukan pekerjaan dari rumah (Work from Home) serta diikuti dengan kebijakan belajar dari rumah (School from Home) menyebabkan perempuan menanggung multi beban. Tekanan sosial lebih kuat ditujukan kepada perempuan agar mampu menjalankan berbagai peran sebagai konsekuensi diberlakukannya kebijakan untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Sayangnya, hal ini tidak diikuti dengan narasi-narasi edukatif mendorong praktik gotong-royong seluruh anggota keluarga untuk melakukan pekerjaan domestic. Akibatnya, perempuan mengalami diskriminasi gender dengan beban berlapis, rentan stress dan sakit karena kelelahan, serta kekurangan nutrisi karena harus mendahulukan anak-anak dan suami mereka.

Situasi ekonomi selama pandemic ini juga menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada masyarakat dan meningkatkan resiko kekerasan pada perempuan. Data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) Kementrian Pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa  per 2 Maret-25 April 2020 tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dengan total korban sebanyak 277 orang dan 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban sebanyak 407 anak[2]. Sementara sampai saat ini belum ada ketentuan kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mekanisme layanan korban kekerasan selama pandemi berlangsung, dengan menyesuaikan kondisi pembatasan social. Kerentanan ini kurang disadari, tertutupi oleh narasi besar pandemic global Covid-19. 

Hambatan Akses Partisipasi dan Kontrol Perempuan

bc60754b-0d1d-4a00-9ec1-7099d5f1c9b1-w650-r0-s-5ebcc8d8d541df7fe8461b14.jpg
bc60754b-0d1d-4a00-9ec1-7099d5f1c9b1-w650-r0-s-5ebcc8d8d541df7fe8461b14.jpg
Di satu sisi, ekspektasi terhadap peran perempuan untuk berkontribusi dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19 terus digaungkan, karena terbukti memiliki peran signifikan di garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (Letjen TNI Doni Monardo) menyebutkan bahwa berdasarkan data sebanyak 256.326 orang perawat Indonesia (71%) adalah perempuan dan hanya 103.013 orang (29 %) perawat laki-laki. Hampir sama dengan jumlah tenaga kesehatan global yaitu 70% persen tenaga medis global adalah perempuan. Data ini digunakan untuk menunjukkan besarnya kontribusi perempuan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, bahkan di dunia.

Belum termasuk jumlah perempuan di berbagai komunitas dan dari berbagai wilayah di Indonesia yang secara sukarela berpartisipasi aktif mengambil peran dalam penanganan Covid-19. Mulai dari melakukan edukasi pencegahan (memberikan penyuluhan kepada warga), menggerakkan solidaritas memastikan tersedianya pangan keluarga paling terdampak, membuat dan membagikan alat-alat pelindung diri (masker), hingga pembagian benih produk pangan, dan lain sebagainya yang jumlahnya belum terdata.

Dalam berbagai kesempatan, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 meminta kepada perempuan agar mengimplementasikan segala kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 di rumah. Misalnya, dengan memastikan praktik physical distancing di rumah dan menjaga imunitas tubuh anggota keluarga melalui penyediaan makanan sehat dan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).

PUG : Dengan atau Tanpa Representasi Perempuan

Tetapi, tingginya partisipasi perempuan tidak (belum) diikuti dengan penguatan akses dan control perempuan terhadap kebijakan-kebijakan strategis untuk memastikan kebutuhan perempuan ikut dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Di tingkat daerah, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Sumut) misalnya, hanya dilibatkan dalam rapat-rapat terbatas untuk merespon kasus terkait Covid-19 jika ada kaitannya langsung dengan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (KDRT, TPPO). Ini menunjukkan belum berjalannya pengarusutamaan gender dalam  penanganan Covid-19 dan dominannya perspektif maskulin di sana.

Padahal, dengan atau tanpa adanya representasi perempuan dalam gugus tugas penanganan Covid-19, pemerintah harus memastikan adanya perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan. Perawat perempuan misalnya, membutuhkan fleksibilitas jam kerja untuk bertemu anak-anak mereka di rumah, jadwal pemberian ASI bagi perawat yang masih menyusui bayinya, hingga kebutuhan alat pelindung diri yang aman dan nyaman untuk perempuan, dan lain-lain. Termasuk jenis bantuan pangan yang didistribusikan ke rumah-rumah warga, harus mempertimbangkan kebutuhan spesifik  perempuan seperti susu bayi, atau makanan bernutrisi (sayur-mayur, ikan) serta kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan, dan seterusnya.

Pengalaman Perempuan Akar Rumput : Sinergi yang Terhenti

Sebelum pandemic Covid-19 ini, sebagai Lembaga Layanan untuk Perempuan dan Anak korban kekerasan berbasis gender, HAPSARI telah membangun kolaborasi dan sinergi layanan dengan pemerintah kabupaten (Deli Serdang) melalui Dinas Sosial dalam Program SLRT (Sistim Layanan dan Rujukan Terpadu) untuk Penanggulangan Kemiskinan. Perempuan korban kekerasan berbasis gender diidentifikasi sebagai kelompok rentan miskin yang harus dimasukkan dalam sistim pendataan dan potensial penerima manfaat program-program perlindungan social. Sinergi antara SLRT dan HAPSARI di tingkat kabupaten secara hirarkis hingga ke tingkat kecamatan dengan Fasilitator SLRT dan di tingkat Desa dengan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dan Layanan Berbasis Komunitas (LBK) yang dikembangkan HAPSARI di desa-desa dan memiliki dasar hukum, mulai dari Perbup (Peraturan Bupati) hingga Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur pembagian peran dan cara berkoordinasi.

Sinergi program ini tumbuh menjadi model implementasi pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan dalam isu penanggulangan kemiskinan daerah, sehingga kerja-kerja penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terintegrasi dengan berbagai layanan perlindungan social dengan berbagai Organisasi Perangkat Daerah.

Sayangnya, partisipasi perempuan dalam pencegahan dan penanganan Covid-19 yang juga tumbuh di akar rumput di komunitas-komunitas HAPSARI (dan di seluruh wilayah di Indonesia) telah kehilangan akses dan kontrolnya, ketika struktur kelembagaan Desa Tanggap Covid-19 dan pembentukan Relawan Desa, mengabaikan pendekatan pengarusutamaan gender dan (sekaligus) pemberdayaan perempuan. Partisipasi perempuan akar rumput di luar struktur formal pemerintahan desa, telah kehilangan ruang apresiasi. Komposisi kepemimpinan Satgas Covid-19 yang tidak gender balance mulai dari tingkat nasional sampai daerah juga menyebabkan perempuan kehilangan akses menjadi bagian dari kepemimpinan di Satgas Covid-19.

Penutup

Pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi terpadu dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian kebijakan dan program pembangunan nasional, dengan atau tanpa representasi perempuan dalam struktur kelembagaan. Urgensi pengarusutamaan gender dan komitmen mengimplementasikannya dalam respon kedaruratan bencana adalah agar setiap warga bangsa ini memperoleh hak perlindungan yang setara dan adil untuk keluar dari masa sulit pandemic Covid-19.

Ada sejumlah masalah besar yang harus direspons secara serius oleh pemerintah terkait dampak Covid-19, mulai dari aspek social, ekonomi, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, melalui antara lain kebijakan stimulus fiskal dan jaring pengaman sosial. Pengarusutamaan gender hendak memastikan bahwa (dengan atau tanpa representasi perempuan dalam kelembagaan penanganan Covid-19), intervensi yang diberikan pemerintah (dan pemangku kepentingan) dalam keadaan darurat harus tetap bersifat responsif, inklusif, dan akuntabel, seperti prinsip yang selalu digaungan oleh SDGs dalam Tujuan 16.

Namun, tanpa adanya representasi perempuan, sulit memastikan bahwa kebutuhan spesifik perempuan akan dipertimbangkan secara seksama, misalnya kebutuhan sistem atau protokol perlindungan perempuan (termasuk tenaga medis) dari tingginya resiko tindak kekerasan saat pandemic berlangsung, desain Alat Pelindung Diri (APD) yang sensitif perempuan, kebutuhan hygiene kit khusus perempuan untuk tenaga medis perempuan, dan seterusnya. Sulit memastikan bahwa aspirasi dan kepentingan perempuan bahwa jenis kelamin perempuan tidak hilang dalam daftar penerima distribusi bantuan selama pandemic berlangsung.

Tanpa representasi perempuan, sulit memastikan bahwa intervensi penanganan bencana untuk melindungi hak dan kebutuhan perempuan dan laki-laki secara adil dan manusiawi dapat terpenuhi dalam narasi-narasi maskulin dan praktik yang diskriminatif gender, khususnya kepada perempuan. Maka, representasi dan partisipasi perempuan dan kelompok-kelompok marginal lainnya tidak boleh diabaikan.***

Lubuk Pakam, 5 Mei 2020

Laili Zailani, Ketua Dewan Pengurus HAPSARI

Anggota Pokja PUG Covid-19

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun