Mohon tunggu...
Lely Zailani
Lely Zailani Mohon Tunggu... Guru - Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga dengan satu anak. Pendiri dan aktif di HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) organisasi non pemerintah yang bekerja untuk pemberdayaan perempuan akar rumput di perdesaan. Saat ini tinggal Deli Serdang Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggerakkan Perubahan Dari Desa

30 Oktober 2010   00:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:59 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siaran Pers :SerTANI Kulonprogo

Merefleksikan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Hari Pangan Sedunia:

Menggerakkan Perubahan Dari Desa

Saat ini, pertanian sebagai basis ekonomi kerakyatan yang melibatkan sebagian besar penduduk Indonesia terus mendapatkan ancaman dan permasalahan baik dari dalam maupun luar. Sektor pertanian rakyat saat ini terus mengalami marginalisasi, dengan mulai mendominasinya pertanian korporasi (corporate farming) dan ancaman ketersingkiran petani kecil pedesaan dengan adanya globalisasi pasar bebas Neo Liberalisme melalui kesepakatan Agreement on Agriculture (AoA).

Sementara itu, pertanian rakyat juga masih menghadapi berbagai persoalan klasik mulai dari pra produksi sampai pasca produksi. Mulai dari permasalahan tanah, sarana produksi, hingga dukungan infrastruktur pertanian seperti irigasi, dll. Pada proses produksi, in efisiensi akibat tingginya biaya in put dan minimnya aplikasi teknologi untuk meningkatkan produktifitas, masih harus menghadapi kenyataan rendahnya nilai tukar hasil produksi pertanian yang dihasilkan. Kondisi ini berujung pada wajah murung; petani tak kunjung sejahtera.

Dalam kondisi seperti ini, tampaknya pemerintah belum cukup memihak petani kecil dengan memberikan kebijakan proteksi dan subsidi yang lebih melindungi mereka dari ancaman pasar bebas. Produk-produk pertanian dari Negara lain mulai dari beras hingga kripik singkong, makin bebas masuk dan menggusur produk local petani kita. Jika hal ini terus dibiarkan, kebangkrutan ekonomi pertanian rakyat dan hilangnya kedaulatan produksi pangan merupakan resiko besar yang terpampang di depan mata.

Sementara itu, kalangan petani bukannya tidak melakukan upaya mengatasi permasalahan pemiskinan kehidupan mereka. Di dusun Keceme Gerbosari, komunitas petani yang bergabung dalam SerTANI (Serikat Petani) kecamatan Samigaluh Kulonprogo telah memulai upaya bangkit dan memberdayakan diri mereka sendiri.

Lebih dari 15 tahun yang lalu, kalangan petani dusun Keceme menjadikan lahan (tanah) mereka sebagai perkebunan teh, atas dorongan sebuah perusahaan (PT.Pagilaran). Lahan perkebunan teh itu kemudian dikontrak oleh perusahaan untuk jangka waktu sekitar 10 tahun. Selama masa kontrak, petani harus menanam dan menjadi pemetik teh, lalu menjualnya kepada perusahaan dengan harga jual yang ditentukan oleh perusahaan. Untuk kebutuhan bibit serta biaya perawatan pun, mereka mendapat pinjaman dari perusahaan yang harus dibayar dari harga jual pucuk-pucuk daun teh yang mereka panen dari lahan mereka.

Kini, mereka membebaskan lahan produksi (tanah) dan hasil produksi pertanian mereka dari perusahaan yang sudah lebih 15 tahun menjadikan mereka buruh di lahannya sendiri. Komunitas petani ini telah mulai membangun kemandirian ekonominya melalui sumberdaya dan basis produksi yang mereka miliki dan organisasi independen yang memayunginya.

Itulah tantangan kita sekarang. Menjawab pertanyaan; apakah kita akan membiarkan kekayaan sumberdaya ekonomi kita terus-menerus digerus dan dihisap sehingga melemahkan ketahanan pangan kita karena semangat kebangsaan kita melentur oleh penetrasi budaya asing ? Atau sebaliknya, membangun kemandirian local sebagai senjata handal untuk mempertahankan ketahanan pangan melalui nilai-nilai kebangsaan yang kokoh dan terpatri kuat sebagai jati diri bangsa ?.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Serikat Petani (SerTANI) Kulon Progo bekerjasama dengan PERGERAKAN Bandung, Serikat Perempuan Independen (SPI) Kulon Progo, HAPSARI Sumatera Utara, SEMAI-YACITRA, CUCT YOGYAKARTA, Sekretariat Bina Desa-Jakarta, dan P3PK-UGM, merefleksi ulang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Hari Pangan Sedunia, melalui Dialog dan Semiloka Nasional dengan tema : “Sumpah Pemuda, Sumpah Rakyat Indonesia : Membangun Komitmen Pemberdayaan Petani untuk Ketahanan Pangan, Kemandirian Ekonomi dan Produksi Menuju Kesejahteraan Rakyat Indonesia”

Kegiatan ini diselenggarakan di Puncak Suroloyo, tanggal 28 – 30 Oktober 2010 dan akan diikuti oleh sekitar 70 orang peserta, komunitas petani Keceme dan jaringan organisasi SerTANI dari sekitar wilayah Jawa (Pekalongan, Bantul, Tasik, Sumedang dan Garut). Menghadirkan berbagai narasumber; GKR Hemas, (Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah), DR.Francis Wahono (YACITRA Yogyakarta) Prof.DR.Ir.Muhammad Makhsum,MSc (P3PK-UGM), Ir.Bambang Tribudi Harsono (Kadispertahut Kab.Kulon Progo), Sapei Rusin, (Ketua Badan Pelaksana PERGERAKAN Bandung), M.Miftah, (Sekretariat Bina Desa-Jakarta), serta Saiful Bahari, (Ketua Perserikatan Rakyat-Jakarta).

Kegiatan ini juga akan menampilkan Wayang Kulit Jum’at Kliwonan bersama 3 Dalang, dengan lakon; “Semar mBangun Kahyangan”.***

Konfirmasi atau Klarifikasi:

Timan Ansuro, HP : 0878 8513 6448

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun