Mohon tunggu...
Lely Nur Azizah
Lely Nur Azizah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa psikologi semester akhir

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Gay itu Normal

2 Desember 2014   19:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:14 4471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak semester dua saya mulai tertarik dengan isu-isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Bukan karena apa-apa, ini hanya karena saya pernah tiba-tiba mendapat mengakuan mengejutkan dari seorang sahabat yang mengaku bahwa dirinya Gay. Saya yang waktu itu masih anak bawang, belum tau apa-apa tentang dunia psikologi, kelabakan menghadapinya. Saya tak tahu harus seperti apa, dan celakanya saya salah menawarkan solusi, waktu itu saya tak benar-benar paham bahwa ketika seseorang bercerita, sejatinya bukan solusi yang ia minta, tapi dengarkan saja, dan setujui saya.

Kau tahu apa yang kemudian kulakukan kala itu? Dengan sok menjadi malaikat aku menawarkan terapi. Itu bumerang bagiku, yang benar saja, sontak ia marah, dan tak mau menghubungiku selama berbulan-bulan. Kau tahu apa yang ia katakan? Ya, kau benar, seperti yang dikatakan oleh kaum gay lain, bahwa dia menajdi gay adalah takdir Tuhan, bukan kemauan dirinya.

Sejak saat itu, saya mulai membaca banyak literatur terkait gay, diskusi dengan beberapa dosen dan teman-teman mahasiswa, yang pada akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan hibah penelitian terkait tema ini. Dan kawan, tahukah kamu yang kemudian membuat saya semakin terkejut? Bahwa jumlah gay di dunia adalah jutaan dan Indonesia mencapai prestasi yang luar biasa, yakni negara dengan ‘populasi’ gay terbanyak kelima setelah China, India, Eropa dan Amerika(Menurut survey CIA dalam topixmalaysia.com).

Di malang pun ada puluhan bahkan ribuan, ada kantor resminya lagi. Pernikahan sesama jenis juga telah banyak di legalkan di banyak negara, seperti di beberapa negara bagian di Amerika, Belanda, Belgia, Spanyol dan Kanada. Yang membuat saya mengerutkan kening adalah, ketika di Indonesia ternyata ada beberapa aktivis gay yang kemudian memperjuangkan hak serupa, yakni pelegalan pernikahan sesama jenis.

Apa yang membuat mereka sebegitu beraninya? Apakah mereka tidak memahami dimana mereka tinggal? Di negara yang masih sangat memandang tabu gay dan pernikahan sesama jenis, bisa-bisa mereka di tentang dan dikucilkan, dasar hukum apa yang membuat mereka seberani itu?

Dan ternyata kawan, dasar hukum mereka adalah ‘kitab suci psikologi’ –DSM. Dalam DSM IV, gay atau homoseksual tidak lagi dipandang sebagai perilaku abnormalitas, namun hanya sebagai perbedaan orientasi seksual. Ini rupanya yang kemudian menjadi dasar mereka berani memunculkan taringnya. Bahwa mereka sama saja seperti kita, tak ada yang salah dalam diri mereka, dan hak mereka juga patut untuk sama-sama diperjuangkan.

Asal kau tahu saja kawan, tak semua orang psikologi setuju dengan DSM ini. Dalam kelas psikologi klinis semester lalu, kami sempat berdebat panjang lebar terkait penggolongan diagnostik ini. Saat itu juga kemudian saya tercerahkan, dosen saya mengatakan bahwa selalu ada kemelut kepentingan dan unsur politis di dalam penyusunan DSM.

Pernyataan dosen saya rupanya benar, baru-baru ini saya mendapatkan sebuah link artikel yang berjudul “Lima Dari Tujuh Orang Tim Pembuat DSM Adalah Homo dan Lesbian”. Dilansir dari hidayatullah.com edisi 19 November 2014.

“Lima dari tujuh orang tim task force DSM adalah homoseksual dan lesbian, sisanya adalah aktivis LGBT”, terang Rita Soebagio saat memberikan pemaparan pada seminar “Pengaruh LGBT Terhadap Keluarga dan Ketahanan Nasional” yang diadakan Wadah Silaturahmi (Wasilah) Muslimah Wan-TNI dan Polwan di Auditorium Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Saya sudah biasa saja ketika membaca artikel ini, karena keterkejutan saya sudah lama berlalu sejak di kelas klinis semester empat kemarin. Saat membaca artikel ini beberapa minggu lalu, saya mulai bisa memaklumi, bahwa diamana pun dan kapan pun unsur kepentingan tidak bisa tidak akan selalu bermain dalam hampir semua lini kehidupan kita. Maka jangan salahkan DSM jika isinya seperti itu, jika tidak terima, silahkan saja lakukan penelitian yang relevan, jadilah orang berpengaruh, percuma menghujat tanpa data, percuma mengkritik tanpa karya. Maka jika ingin isi DSM berubah, mari lakukan penelitian, mari sekolah setinggi mungkin, mari berenang dalam samudra ilmu seluas dan sedalam mungkin. Maka kata selanjutnya adalah, tidak ada waktu untuk menunda dan mari bergerak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun