Pemilu 2014 berlalu dengan membawa segerobak persoalan. Apakah akan menjadi pelajaran atau terulang kembali pada Pilpres Bulan Juli 2014. Seperti hata pepatah hanya keledailah yg terjerembab kepada lobang yg sama. Berapa kali kita melakukan pemilu, sejak pemerinahan Bu Megawati Sukarno Putri hingga berganti Rezim SBY. Tetapi pemilu bukan semakin baik melainkan semakin gila curang nya. Semakin mengerikan akibat yg akan dibawanya kemasa yg akan datang, setelah pemilu selesai. Seorang Legislator ketika memenangkan pertarungan dengan mengeluarkan uang dalam jumlah tdk wajar, maka wajar juga bila suatu sa’at kelak mereka mencari peluang untuk mengembalikan biaya kampanye yg demikian besar. Seorang caleg dari kota Jogjakarta saja untuk menjadi anggota legislatiep dari Kota bisa menhabiskan ratusan juta. Ada yg sampai menghabiskan 700 juta tetap tdk mendapar suara banyak hanya 430 suara saja. Padahal penghasilan mereka setiap bulan sebagai wakil rakyat TK II tdk akan lebih dari 15.jt kotor atau 12.5 jt saja dlm setiap bulan yg mereka terima setelah potong pajak penghasilan dll iuran. Trus berapa lama mereka bisa mengemblikan biaya pemilu???? Yg sampai ratusan juta itu ???? Tuduhan yg muncul di benak orang yg melihat begitu hebatnya gurita Suap, ya pasti setelah jadi anggota Dewan terhormat, mereka akan mencari cari mana yg bisa di gelapkan dan di korup.
Kondisi ini tdk juga luput dari pengamatan kaum muslimin di Indonesia, seperti Muhammadiyah ormas islam yg besar sempat juga mengumpulkan seluru ormas islam di Idonesia. Dlm sebuah liutan di TV one sempat terekpos bagaimana ketua PP muhammadiyah mengajak umat untuk bersatu mensikapi pemilu 2014.
Demikian juga hal nya dari Jogjakarta pun muncul Forum Solidaritas Umat Islam Indonesia. Menamakan diri Forum SOMASI Yang pada tanggal 18 April 2014 menyampaikan seruan nya di depan Jamah Jum’at Bulaksumur, Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Apakah langkah yg akan di lakukan oleh Umat Islam sekarang ini untuk mengulangi keberhasilan Masyumi yg pada thun 1955 masyumi mengantongi suara 43% di Pemilu 1955. Yg kemudian hasil kontitusi yg sudah 90 % di batalkan dengan Dekrit Presiden (Sukarno), 5 juli 1959. Yang dinilai sebagai ketakutan pemerintah akan solidaritas Umat islam secara politik dan kenegaraan di jadikan alasan pembenaran untuk membubarkan Masyumi.
Bahwa Umat Islam pada tanggal 9 April 2014 telah menunaikan kewajiban kontitusioanl UUD 45 dalam berpartisipasi menggunakan hak-hak dasar politik dlm Pemilu jurdil. Hasilnya adalah partai berbasis Islam mencapai 31 % perolehan suara. Kecenderungan yg terjadi di hadapan kita sa’at ini justru ada diantara Pemimpin Parpol Islam yg tdk memikirkan bagaimana umat islam, melainkan berpikir untuk kepentingan Golongan saja . Rasanya sama saja dengan para pemimpin partai Nasionalis.
Walaupun mereka mengatakan belum terlambat untuk kembali melakukan pendekaan kepada para petinggi Parpol islam agar mau bersatu. Tetapi mereka juga manusia yg memiliki harga diri dan rasa trauma ketika mereka di bohongin, lantas di perlakukan tdk adil, Justru oleh teman sendiri, apabila pendekatan dilakukan dengan cara yg sama hanya untuk membagi porsi kekuasaan, apalagi dengan embel embel wajar ini politik.
Semestinya para aktivis muslim berpikir ulang akan keberhasilan yg diharapkan bisa diraih. Pertanyaan ku sebagai umat islam, tidakah mereka mencoba menanggalkan baju mereka masing masing ganti dengan pecis dan baju koko, mari bersila berhadap hadapan bersama di halaman masjid. Ikhlaskan hati nilai diri sendiri. Jangan ada upaya untuk mengurangi dan merendahkan teman sesama. Tetapi jujur tatap apa yg saya dan yg kamu punya. Apakah yg aku punya dan kamu punya bisakah untuk memperbaiki negri ini ?.
Bila mereka berangkat dari takaran kebersamaan saya kira mereka akan merasa jengah sendiri ketika dirinya dibandingkan dengan orang lain ternyata aku tdlk memiliki apapun. Atau yg ku punya hanya sedikit sekali. Sehingga aku kurang pantas untuk menilai diri sendiri atau merasa memiliki kekuatan.
Jujur saya melihat kondisi yg ada di lapangan demikian Kaum muslimin yg menjadi petinggi parpol kalau pun ada hanya satu dua saja yg memegang azas kebersamaan dan mau mengakui kelebihan orang lain. Selebihnya mengandalkan koneksi yg mereka miliki, pendukung yg mereka punya, seolah olah mengatakan ini aku dengan gerbongku mau apa yg akan kamu tawarkan kepadaku sehingga gerbong ku bisa impas dengan bayaran yg akan kamu berikan ? bukan apa yg mereka bisa lakukan dengan kekuatan mereka sendiri.
Sikap inilah sebetulnya yg ingin di gugat oleh umat islam kepada petinggi parpol. Bahkan kepada para simpatisan dan kader nya. Dengan kata lain, “Wahai para politisi muslim beserta kader kadernya , jangan lah kamu jumawa karena telah memenangkan suara ku, lihat kamu tdk akan mendapatkan apa apa tanpa aku memilihmu dengan setia.
Sebagai Ujud keprihatinan dan pantas untuk di renungkan oleh umat islam, akankah umat islam membiarkan peluang emas berlalu dengan penuh kegalauan??? Ketidak pastian dan bahkan kebingungan? Atau setujukah umat islam membiarkan parpol yg berbasis islam berjalan sendiri sendiri menentukan presiden atau pemimpin bangsa sehingga kepentingan umat islam tdk akan pernah tercapai. Karena mereka selalu bersaing satu sama lain. Dan ahirnya saling menghancurkan. Dalam keadaan begini maka yg di untunglah adalah pihak ketiga.
Pertanyaan akhir yg ingin saya sampaikan kepada para petinggi Partai Islam “kenapa kalian tdk mampu bersatu dalam satu ikatan dan partai kalian hanya satu saja? Yaitu partai kaum muslimin dan muslimat” segitu parah nya kah sehingga kalian tdk menyatukan langkah dan suara kalian???? Lantas untuk apa keberadaan kalian kalau kalian egois sendiri sendri ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H