Pada suatu hari saya memutuskan untuk pergi ke negeri ini. Negeri yang entah ada pada kilometer berapa dari kampung halaman saya.
Pertama kali menginjakkan kaki di bandara Tribhuvan. Tidak ada yang istimewa dan kesannya bahkan begitu sederhana.
Padahal ini adalah gerbang pertama orang dari seluruh penjuru dunia yang akan menaklukkan atap dunia. Iya, betul di pegunungan Himalaya dengan Everest sebagai puncak tertingginya. Pegunungan Himalaya memang membujur antara Nepal, Tibet, Bhutan, India, China bahkan sampai ke Pakistan.
Setelah keluar dari Tribumi, kita sudah berada di Kathmandu, sang ibu kota.
Lalu saya dapati bahwa kota ini begitu berdebu. Debu menyelimuti pada setiap titik kota. Pada seluruh penjuru kota. Konon makin parah setelah gempa hebat melanda Nepal 2015 silam.
Antik bangunannya, antik kendaraannya dan bahkan terasa antik saat melihat kabel-kabel listrik di sepanjang jalan ini dengan ruwetnya saling silang, saling menumpuk. Parah sekali.Â
Jujur, saya bahkan ngeri melihatnya dan membayangkan akan ada gesekan antara mereka dan kemudian bisa terjadi ledakan atau kebakaran setelahnya, tapi mereka santai-santai saja berjualan di bawahnya.
Meskipun Nepal berbatasan dengan banyak negara, namun budaya India yang paling banyak mewarnai negeri ini. Mulai dari wajah warganya, bahasa, agama bahkan sampai ke makanannya !Terasa sangat India...
Dan walaupun sang Budha (Sidharta Gautama) konon dilahirkan di sini (Lumbini), namun faktanya Hindu menjadi agama mayoritas. Tapi saya senang sekali saat tidak sengaja bertemu dengan seorang Bapak tua yang menjadi pedagang aksesoris di Kathmandu Square dan ternyata dia adalah Muslim, kami bahkan sempat mengaji bersama hehehe.
Durbar Square yang berarti Royal Squares dalam bahasa Inggris adalah nama generik yang digunakan untuk menggambarkan plaza dan area yang berseberangan dengan istana kerajaan lama di Nepal. Nama ini berasal dari Persia (Darbar).
Durbar Square ini terdiri dari kuil/temple/candi, berhala, lapangan terbuka, air mancur dan banyak lagi. Sebelum penyatuan Nepal, negeri ini dulu terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil dan dibagi lah menjadi 3 area di atas.
Begitu juga dengan tempat wisata lain di Kathmandu seperti Boudhanath dan Pashupatinath Temple.
Bahkan saat ada beberapa orang yang minta berfoto bersama, posenya akan tetap sama dengan wajah dan emosi datar, seperti tanpa lelah. Yang mengagetkan seorang biara lain saya jumpai pula di Boudhanath dengan cerita yang sama.
Mereka berdua berdiri berjam-jam dengan membawa seperti "kotak sumbangan", dimana para pengunjung bisa memberikan donasinya secara sukarela.
Selain biksu tersebut, kita juga bisa jumpai beberapa biksu yang entah kenapa "seluruh badannya seperti di cat" dengan warna oranye di Pashupatinath. Mereka dikenal sebutan dengan the Holy Man.Â
Selain itu, di Pashupatinath juga sering dilakukan acara kremasi seperti acara Ngaben di Bali.Â
Mereka akan pergi sampai ke puncak atau hanya di base camp. Tapi walaupun hanya di base camp itu tadi tentu saja perjalanannya tidak mudah dan butuh waktu serta persiapan fisik yang luar biasa.
Saya? Tentu saja bukan keduanya! Saya cukup tau diri kok untuk tidak pergi ke sana
Saya memilih pergi ke Pokhara, sebelum kemudian terbujuk untuk sejenak menikmati Annapurna Base Camp (ABC). Annapurna sendiri merupakan puncak tertinggi ke sekian di pegunungan Himalaya setelah Everest tentu saja.
Pokhara merupakan starting point dari mereka yang akan meneruskan perjalanan ke ABC atau Annapurna Circuit. Kota ini mengingatkan saya pada Malang yang merupakan titik keberangkatan mereka yang akan pergi ke Semeru atau pegunungan Tengger.
Pokhara merupakan sebuah kota kecil yang berjarak perjalanan 6-8 jam via darat dari Kathmandu. Kota ini lebih kecil, lebih tenang dan lebih sejuk dari sang ibu kota dengan sebuah danau besar (Phewa Lake) yang mengelilingi kota dan menjadi ikonnya.
Saat sore saya menyempatkan diri berkeliling dengan menyewa sepeda. Lucunya disini saya menemukan adanya Disneyland! Tapi sayang saya tidak sempat masuk ke dalamnya karena hari sudah beranjak gelap saat itu.
Saya bahkan sebenarnya terlalu malu untuk bercerita bagaimana perjalanan saya ke ABC karena tidak seperti mereka yang berjuang berhari-hari (butuh waktu sekitar 10-12 hari untuk trekking PP), saya hanya butuh waktu sekitar 20 menit menuju ke sana, yakni dengan menggunakan heli.
Tapi, hanya menikmati kota Pokhara sendiri, menurut pendapat saya pribadi lagi-lagi tidak terlalu istimewa.Percayalah, bahwa Indonesia juga banyak mempunyai tempat indah yang bisa bikin kita berulang kali jatuh cinta pada Indonesia hehe.
Karena itu saya memutuskan untuk pergi ke ABC dan karena tidak ada persiapan fisik sama sekali dan saya tidak punya waktu libur selama itu, maka saya pergi ke sana dengan jalur pintas.
And trust me, it's very worthed! Maksud saya bukan naik helinya, tapi karena ABC memang luar biasa indah. Speechless, saya hanya bisa mengucapkan syukur berulang kali karena diizinkan Sang Kuasa ada disini. Saya beruntung karena pagi itu cuacanya cerah dan bersahabat, sehingga Himalaya dengan salju abadinya yang selama ini cuma saya lihat di layar kaca, saat ini ada di depan mata!
Ada banyak alasan untuk mengunjungi ABC selain viewnya yang menakjubkan. Konon katanya trek ini boleh lah dijajal untuk trekker pemula dan lemah seperti saya, kita bahkan tidak perlu repot-repot membawa tenda, karena sepanjang perjalanan banyak ditemui teahouse/lodge yang menjadi tempat transit para pendaki.Â
Saat saya tiba di ABC, saya mengobrol dengan salah seorang pekerja imigran dari Hongkong yang akan membangun salah satu tea house disana.Â
Bayangkan, dia jauh-jauh dari Hongkong dan tiap hari bangun pagi dengan pemandangan yang sempurna. Ah, itu seharusnya masuk dalam daftar menjadi salah satu pekerjaan yang membahagiakan.
ABC rasanya menjadi salah satu perjalanan terbaik dalam hidup saya, jadi sulit buat saya untuk bisa "move on" dari perjalanan kemarin. Akhirnya saya hanya hanya berani berjanji dalam hati, bahwa saya akan kembali ke sini dengan cara lain yaitu dengan perjalanan sesungguhnya, walau entah kapan.
Namaste... Namaste.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H