Saya masih ingat dengan jelas awal saya menginjakkan kaki di Banda Aceh 15 tahun lalu saat menjadi relawan ..tepat 2 minggu setelah kejadian maha dahsyat itu terjadi. Ya, tsunami adalah yang saya maksud. Saya saksikan sendiri bagaimana luluh lantaknya Aceh setelah tsunami berlangsung.
Saat pertama kali datang, kota Banda masih seperti kota mati apalagi saat malam hari. Separuh kota masih gelap gulita, kantong mayat masih ditemukan dijalan, sebagian besar puing reruntuhan masih dengan mudah dijumpai di mana-mana, bahkan bebekarapa kapal kayu besar masih saya lihat “nyangsang” di tengah jalan tanpa ada yang berusaha memindahkannya. Ya..saat itu tentu saja semua kegiatan masih berfokus pada pencarian jenazah dan penyelamatan /penyembuhan korban yang masih hidup. Masih dengan jelas terekam pada korban yang saya temui, bagaimana trauma mereka terhadap kejadian tersebut.
Akibat tsunami, tampaknya semua perhatian di dunia tertuju ke Aceh..saat itu dengan mudahnya saya temui berbagai teman relawan dari seluruh penjuru dunia. Semua orang dari berbagai benua rasanya ada disana, baik lembaga resmi pemerintah (government) maupun yang bukan (NGO) . UN (United Nations) pun bahkan turun tangan langsung menangani korban tsunami . Namun buat saya pribadi, yang paling berjasa adalah para tentara kita (TNI). Tentu saja saya tidak bermaksud mengecilkan jasa semua relawan yang bahu membahu membantu korban dan memulihkan kondisi pasca tsunami. Dua bulan kemudian saya kembali ke Aceh, saat ini saya tinggal lebih lama dan ditempatkan di posko luar (di luar kota Banda) yakni di kota Nagan, 1 jam dari Meulaboh..kota lain yang tidak kalah rusaknya dari Banda Aceh. Saya pikir kedua kota tersebut sudah cukup membuktikan bagaimana dahsyatnya kejadian tsunami 26 Desember lalu..
Ternyata, saya salah..ada kota lain yang menurut saya jauh lebih luluh lantak, tak bersisa..tapi entah kenapa kurang terdengar dibandingkan Meulaboh atau Banda. Kota yang saya maksud adalah Calang yang masuk dalam wilayah Aceh Jaya. Memang, selama saya tinggal di posko luar saya harus mengadakan perjalanan ke teman relawan di posko-posko luar lain sepanjang pantai Barat Aceh. Mulai dari Lambaro, Lampu’u, Lhok Nga, Lamno, Lhok Ruet, Panga, Calang, Meulaboh sampai posko saya di Nagan adalah daerah-daerah dimana jejak tsunami jelas terekam di sepanjang perjalanan yang saya tempuh. Jangan tanyakan bagaimana perjalanan itu kami tempuh, mengingat hancurnya semua infrastruktur yang ada. Kami bahkan pernah harus kembali ke posko awal, karena truk yang saya tumpangi tidak mampu meneruskan perjalanan.
Saya percaya bahwa orang-orang Aceh adalah orang yang kuat, mereka orang-orang yang tegar.. sedemikian dahsyatnya cobaan yang mereka hadapi , namun mereka tetap ramah menyambut kami orang luar aceh dengan senyuman. Tentu saja sesekali kesedihan itu jelas tampak, namun rasanya kami sendiri tidak cukup kuat menghibur mereka bila dalam diri mereka tak ada kekuatan yang mendekap. Saya belajar banyak dari mereka, berkasih sayang, dan memupuk persaudaraan dengan tetangga-tetangga saya di Aceh dahulu. Bahkan hingga hari ini kami masih tetap berhubungan baik, saling menyapa kabar layaknya saudara. Aceh sudah seperti rumah kedua buat saya. Oleh karena itu alangkah senangnya saat tahun lalu saya menginjakkan kaki kembali di bumi serambi Mekkah ini..Kali ini, tentu saja bukan sebagai relawan. Dan lebih senang lagi saat melihat begitu banyak perubahan yang terjadi di sana... Begitu mengharukan melewati jalan dan bangunan yang dulu kami lewati bersama dan kini saya bahkan tak mengenalinya lagi karena sudah banyak perkembangan yang jauh lebih baik. Doa saya buat Aceh..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H