Mohon tunggu...
Stefanus Ajie
Stefanus Ajie Mohon Tunggu... Freelancer - Stefanus Ajie

Jalan-jalan, nulis dan motret secara freelance dan konsekuen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Visual Storytelling dari Wayang

9 November 2020   02:20 Diperbarui: 9 November 2020   02:47 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesenian Muntiet bertutur dalam format mendongeng dan dialog, dengan iringan musik yang juga menggunakan suara manusia

Jika Wayang Beber bisa diibaratkan seperti sebuah komik atau cerita bergambar, maka Wayang Kulit sudah menggunakan konsep-konsep penyajian karya audiovisual. Wayang digerakkan sesuai kebutuhan adegan dengan suara yang berbeda-beda mengikuti setiap karakternya.

Ada ploting adegan dengan pembagian alur sampai klimaks cerita layaknya sebuah film. Gamelan dan suara para Waranggana ikut membangun cerita, bisa dengan syairnya yang menguatkan isi cerita, menciptakan ambience dari adegan atau mengiringi gerak para wayang saat menari dan berperang.

Pada masa lampau Blencong atau lampu di atas layar pertunjukan wayang yang masih menggunakan lampu minyak. Gerak nyala lampu yang dinamis karena tertiup angin, menciptakan efek pencahayaan yang menguatkan visual dari adegan tokoh-tokoh wayang.

Pentas Wayang Beber dari daerah pacitan, Jawa Timur
Pentas Wayang Beber dari daerah pacitan, Jawa Timur

Pada era sekarang ini, bentuk penyajian wayang makin berkembang dan beragam bentuknya. Dari sisi media visualnya, bentuk baku wayang sudah banyak mengalami modifikasi. Ada wayang yang menampilkan figur tokoh-tokoh nasional dan selebritis, wayang yang disajikan dengan musik hip-hop, wayang disajikan dalam format animasi, wayang dalam bentuk komik dan berbagai bentuk kreatifitas lainnya.

Dari sisi isi cerita juga banyak mengalami modifikasi sesuai dengan kondisi zaman. Sejak awal, Wayang kulit sendiri ceritanya memodifikasi dari kisah Mahabarata dan Ramayana, dengan penambahan tokoh dan kisah yang disesuaikan dengan kultur Jawa.  Sekarang ini modifikasi bisa lebih bebas dari pakem-pakem awalnya, sehingga bukan hal yang aneh kalau ada cerita wayang yang menampilkan Yudhistira berpindah kepercayaan, saat mengakhiri pertapaannya yang sangat lama sampai di era Kerajaan Demak.

Penyampaian pesan-pesan dengan media visual storytelling berupa wayang, telah banyak mengalami perubahan seiring dengan laju zaman. Banyak modifikasi dilakukan, namun masih ada mereka yang menjaga kelestarian pakem awal sehingga generasi sekarang tidak kehilangan lacak terhadap akar dari kesenian tersebut.

Dibalik semua perkembangan tersebut, kekuatan terbesar wayang untuk terus hidup melintasi gerak zaman adalah pengemasan sajian ceritanya yang selalu menyeimbangkan antara tontonan dan tuntunan.

Keseimbangan antara sisi hiburan dengan penyampaian pesan kebijaksanaan yang bisa selaras, membuat wayang tampil sebuah media visual storytelling yang efektif. Hiburan dalam konteks ini bukan sekedar rasa senang pada adegan yang ditampilkan atau tertawa pada humor yang disajikan, tapi juga rasa kagum terhadap seluruh sisi estetika dari pertunjukan. Format yang dikreasikan oleh para leluhur ini bisa diaplikasi jika ingin membuat karya-karya lainnya yang mempunyai intensi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun