Mohon tunggu...
Stefanus Ajie
Stefanus Ajie Mohon Tunggu... Freelancer - Stefanus Ajie

Jalan-jalan, nulis dan motret secara freelance dan konsekuen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Visual Storytelling dari Wayang

9 November 2020   02:20 Diperbarui: 9 November 2020   02:47 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pentas Wayang Beber dari daerah pacitan, Jawa Timur

Hari Wayang Nasional yang diperingati setiap tanggal 7 November, bukan hanya hanya sebuah penghargaan untuk wayang-wayang dari Jawa saja.

Penghargaan ini dipersembahkan untuk semua bentuk visual storytelling tradisional yang hidup di berbagai suku dan daerah di Indonesia. Dari Wayang Golek di Tanah Pasundan hingga Hudoq di Bumi Dayak, semuanya itu merupakan medium untuk bertutur, menyampikan kearifan lokal dari leluhur untuk generasi berikutnya.

Kreatifitas dalam sebuah proses transfer ilmu dan pewarisan budaya melalui visual storytelling, bisa selalu menjadi sebuah pembelajaran yang berharga untuk generasi sekarang dan generasi selanjutnya.

Melihat budaya wayang sebagai bentuk visual storytelling, membawa kita dalam pembelajaraan tentang sejarah bagaimana leluhur kita bertutur. Tahapan sejarah ini mungkin bisa berbeda untuk tiap suku atau daerah, namun bisa ditarik benang merah yang serupa.

Di dalam kultur Jawa, seni bertutur pada awalnya berbentuk lisan. Seni bertutur lisan semacam ini masih bisa dilihat jejaknya pada Kesenian Muntiet yang ada di sekitar Banyumas. Kesenian ini bertutur dalam format mendongeng dan dialog, dengan iringan musik yang juga menggunakan suara manusia.

Pada perkembangan berikutnya, cerita-cerita leluhur dituturkan dalam pahatan relief yang ada di candi-candi. Di lingkup masyarakat umum yang hidup di waktu itu, cerita lisan masih menjadi sarana bertutur utama, sedangkan di kalangan bangsawan mengembangkan seni bertutur menuju media visual.

Cerita Panji yang muncul di Kerajaan Kediri antara tahun 1042-1222, kisahnya terpahat dalam relief di Candi Penataran. Kisah-kisah dan ajaran spiritual di era Hindu-Budha juga bisa ditemukan pada relief berbagai candi. Relief Candi Prambanan mengkisah tentang Ramayana, Candi Borobudur berkisah tentang perjalanan Sidharta, Candi Sojiwan berkisah tentang fabel Jataka, dan Candi Sukuh berkisah tentang Sudamala. Bisa dikatakan, relief candi tersebut adalah bentuk cerita bergambar yang dihasilkan oleh para leluhur.

Kesenian Muntiet bertutur dalam format mendongeng dan dialog, dengan iringan musik yang juga menggunakan suara manusia
Kesenian Muntiet bertutur dalam format mendongeng dan dialog, dengan iringan musik yang juga menggunakan suara manusia

Candi sebagai tempat suci mempunyai keterbatasan dari sisi kemudahan dan kedekatan akses kepada masyarakat umum. Keterbatasan ini dijembatani dengan munculnya kesenian Wayang Beber, dimana visualisasi cerita seperti yang ada di relief candi, dilukis dalam gulungan kertas. Wayang Beber dibuat dari Pohon Daluang, dengan pewarnaan dari getah tanaman, kulit buah, kulit pohon atau mineral-mineral pewarna lainnya.

Dalam satu gulungan Wayang Beber memuat satu potong adegan, yang biasanya berasal dari Cerita Panji. Memuat adegan cerita dalam gulungan-gulungan kertas memudahkan mobilitas karya tersebut, sehingga cerita bisa disimak oleh lebih banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun