Mohon tunggu...
Muhammad Junaedi Mahyuddin
Muhammad Junaedi Mahyuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ketika dirimu mampu mengalahkan penyakit hati, saat itu pula kau mampu menjadi manusia yg sebenarnya-saya hanyalah penikmat hidup-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Empati, Sibaliparri dalam Kehidupan Modern

22 Februari 2014   17:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman sekarang ini, oleh sebagian orang menyebutnya modern yang seharusnya makin membuat cakrawala pemikiran dan pemaham kita dalam bersikap selalu bermuara pada penguatan sifat gotong-royong dan saling kasih-mengasihi hingga apa yang kita hasilkan selalu berangkat dari hasil kolaborasi bersama agar kita semua merasa bahwa ini milik kita bersama dan harus kita jaga bersama.

Tetapi yang terjadi pada sekarang ini justru pemahaman kita tentang modern, menggiring kita pada kehidupan individualis yang tanpa kita sadari membuat jarak dengan sesama, mempunyai criteria khusus dalam bergaul, acuh terhadap alam, dan budaya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, bisa dari teman kita bergaul, lingkungan, dan pengaruh media. Banyak peristiwa yang saya dapati dan itu dapat dijadikan indikator bahwa kepribadiaan manusia saat ini merosot tajam. Waktu itu, saya menggunakan jasa transportasi daerah (pete-pete). Saya mendapati anak pelajar yang asyik sambil memainkan gadget (handphone) tanpa memikirkan di mana dia berada saat itu. Sebenarnya tidak ada yang salah dari memainkan gadget tersebut, tetapi jika itu kita lakukan secara keseringan tentunya akan membuat kita sulit untuk berinteraksi dengan sekitar. Dugaanku, kejadian inilah, mungkin yang mengilhami lirik Iwan Fals dalam lagu Internet di album Raya “membuat yang dekat jadi jauh, membuat yang jauh menjadi dekat”. Pernah juga saya mendapati sekumpulan ibu-ibu asyik bercanda dengan suara yang agak memekakkan telinga dengan rekan sebayanya tanpa memikirkan bahwa di dalam mobil tersebut ada penumpang lain yang tentunya sangat tergangu dengan suara dan tawanya. Pernah juga saya mendapati anak pelajar yang tak mau membantu orang tua menurunkan barangnya dari mobil yang dia tumpangi. Pernah juga saya mendapati beberapa anak pelajar yang mengejek/menertawakan temannya yang pada saat itu jatuh ke got besama dengan sepedanya.

MatinyaEmpati

Apa yang saya ceritakan di atas, tentunya salah, karena dari kejadian-kejadian itu dapat menjadi benih-benih dasar bahwa sifat individual telah mulai tumbuh di sekitar kita. Apalagi jika kita melihatnya dari sudut pandang kebudayaan kita!. Nah, kejadian tersebut sudah harus kita pikirkan sekarang dan memikirkan cara mengantisipasinya. Jika, tidak mengantisipasinya di mulai dari sekarang bukan tidak mungkin sifat-sifat kekeluargaan yang diwariskan para nenek moyang kita akan menjadi kenangan romantisme. Beberapa kota besar yang ada di Indonesia telah mengalami itu. Hal itu tentunya tidak kita inginkan terjadi di daerah kita!

Apa yang telah hilang dari sisi kita, adalah empati!. Empati sangatlah penting untuk kita miliki karena empati adalah kemampuan untuk mengalami dan merespon perasaan orang lain. Empati bukan hanya sekedar mampu untuk menerima emosi orang lain melainkan juga mampu merasakan dan mengekspresikannya sepenuh hati. Gunarsa mengemukakan (1992: 71) bahwa "empati merupakan salah satu cara yang efektif dalam mengenali, memahami, mengevaluasi, merasakan, dan menghayati orang lain termasuk bagaimana seseorang mengamati dan menghadapi masalah dan keadaannya". Dari pendapat tersebut, empati merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan, dengan berempati manusia dapat saling memahami

Anehnya, kejadian yang telah saya ceritakan di atas, saya dapati di daerah yang orang menyebutnya sebagai daerah yang berbudaya (Mandar). Hal tersebut tentunya memiriskan hati!. Saya bertanya dalam hati, seperti inikah orang orang Mandar, sudah samakah dengan orang yang berada di kota-kota besar itu?, apakah jiwa empati masyarakat Mandar telah hanyut bersamaan dengan banjir besar yang melandanya beberapa tahun yang lalu?. Hatiku seakan ingin berteriak, ingin menyampaikan seharusnya dimanapun kita berada, empati itu harus selalu ada pada diri kita, menjadikannya baju yang melindungi dari sengatan hasutan pemahaman individualis.Tak tahukah, dengan adanya empati, seseorang dipandang sebagai manusia yang berperasaan (malaqbi).

Orang Mandar adalah orang yang sangat menjunjung tinggi budaya. Apabila kita menilisik jauh ke dalam budaya Mandar kita akan mudah menemukan nilai-nilai budaya yang sangat mengedepankan empati. Kalau kita lupa, ijinkanlah saya mengingatkan kata lewat tulisan , masih ingatkah kita dengan kata “sirondo-rondoi dan siamasei”. Di dalam buku lontarak Pattodioloang, Azis Syah pun terdapat kata “sipakainga, sipatuo, sippakaraya”. Bukti lain yang menandakan bahwa masyarakat Mandar sangat mengedepankan empati dalam kehidupan sehari-harinya itu, dapat kita lihat dari Kalindaqdaq Masaala. Dalam buku Idham “kalindaqdaq masaalah” di hal 121 dan 123, tertulis

Lakulakui pattulung ‘Rajin-rajinlah menolong’

Tau nigauq bawang ‘Orang teraniaya’

Lipaq saqbene ‘Sarung sutraya’

Batang dilalang kuqbur ‘Jasad dalam kubur’

Pelipaq-I tomembeleng ‘Beri sarung yang telanjang

Pandei totamaq-I ‘Beri makan yang lapar’

Ande raginna ‘Makanan empuknya

Batang dilalang kuqbur ‘Jasad dalam kubur’

Sibaliparri dalam bermasyarakat

Untuk mengatasi kondisi-kondisi social seperti di atas, agar tak semakin menjadi-jadi di kemudian hari. Banyak cara yang bisa dilakukan karena kita kaya akan budaya. Konsep Sibaliparrisalah satunya!.

Sibaliparri terdiri dari tiga suku kata, si (berhadapan), bali (lawan, musuh; bila mendapat awalan me-berarti membantu), dan parri (susah). Jadi secara sederhana, sibaliparri berarti saling membantu atau bergotong royong.

Sibaliparri berangkat dari konsep rumah tangga masyarakat Mandar (issi, parewanaboyang). Ketika suami pergi berlayar mencari ikan di laut lepas selama berhari-hari, istri mengambil alih tanggung jawab kepemimpinan rumah tangga, seperti mendidik anak dan tetap di rumah mencari nafkah dengan menenun sa’be sambil menanti kedatangan suami. Ketika suami pulang, tenunan isteri harus selesai. Untuk itu, lama kepergian suami telah diperhitungkan dengan masa pekerjaan sehelai sarung sutra. Artinya dalam pandangan orang Mandar sebagai sesuatu yang harus ditanggung secara bersama-sama. Senang dinikmati bersama dan duka dinikmati bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun