Mohon tunggu...
Lekat Kaulan
Lekat Kaulan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN, Internal Auditor, Traveller, Pengamat Perpolitikan

Pemula Entrepreneur, Sosialis, Adventurer dan Mencoba mengamati Politik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jangan Berkelit di Masa Covid

29 Juni 2020   22:15 Diperbarui: 29 Juni 2020   22:41 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Satu hal menggelitik ketika membaca Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Saat ini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020) Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Pada Bagian Penutup yang terrmuat dalam Bab V Pasal 27 Ayat (2) berbunyi “Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada Itikad Baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. 

Selain itu pada Ayat ke (3) isinya: “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”.

Intinya, semua perbuatan atas dasar “Itikad Baik” yang yang dilakukan oleh pejabat dalam peraturan di atas tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana saat melaksanakan kegiatan.

Setelah saya analisis, tujuan pemerintah menerbitkan Perpu tersebut sangat baik adanya. Banyak hal-hal yang dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan tersebut. Harapannya ialah, jangan sampai kebijakan yang dibuat oleh tim pelaksana tugas dituntut secara hukum dikemudian hari.

Sedangkan Tim Satgas Covid tersebut hanya menjalankan kewajiban dan mengikuti hati nurani saja. Jangan sampai, hal tersebut malah mencelakakan mereka. Jangan sampai pula, hanya gara-gara birokrasi yang rumit, proses pengadaan barang dan jasa tidak dapat atau terlambat dilaksanakan sehingga menimbulkan korban yang lebih banyak lagi.

Dalam kondisi pandemi seperti ini, semua hal berada dalam posisi ketidakpastian. Stok yang terbatas, permintaan barang yang sama dalam jumlah besar (khususnya alat Kesehatan), harga yang melambung tinggi, risiko penyedia yang sudah bersepakat melakukan kartel dan lain sebagainya sehingga mau tidak mau kita harus mengikuti alur yang ada. Jadi, misalkan barang yang dibeli tidak sesuai dengan harga pasar dan berkali-kali lipat dari harga biasanya, demi keselamatan rakyat, barang tersebut pun tetap harus dibeli.

Jangan sampai, tujuan baik pemerintah yang diwakili oleh Tim Satgas Covid, disalah artikan oleh oknum-oknum. Apalagi jika sudah mendekati pemilihan kepala daerah. Lawan politik akan mencari kesalahan-kesalahan dari Tim Satgas. Sekecil apapun kesalahannya akan diungkit-ungkit. Khususnya jika kepala daerah yang ada, statusnya sebagai incumbent dalam pemilihan.

Kepala LKPP telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan Barang/Jasa Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kebijakan tersebut telah menyederhanakan proses PBJ sehingga mendukung Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2020 untuk melakukan angkah-langkah cepat, tepat, fokus, terpadu dan sinergi.

APIP didorong untuk melakukan pengawasan baik dalam kegiatan consulting maupun assurance terkait kegiatan PBJ dimasa pandemi. Selain itu, LKPP membuka ruang komunikasi melalui para narahubung untuk konsultansi PBJ.

Selain itu, Ketua KPK RI melalui Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Terkait Dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

Menekankan bahwa dalam proses PBJ, pihak-pihak tetap memperhatikan perturan yang berlaku, mendorong keterlibatan APIP dalam mengawal dan mendampingi proses pelaksanaan PBJ, pelaku PBJ tetap berpegang pada prinsip efektif, transparan, akuntabel dan berpegang pada konsep harga terbaik (value for money), serta para pelaku PBJ tetap menghindari perilaku tipikor seperti: persekongkolan/kolusi, memperoleh kisckback dari penyedia, ada unsur penyuapan, gratifikasi, benturan kepentingan, kecurangan, mal-administrasi, berniat jahat, dan membiarkan tindak pidana korupsi terjadi.

Namun dalam pelaksanaan kebijakan tersebut masih tetap perlu diperhatikan, jangan sampai kebijakan tersebut malah membuat oknum-oknum yang serakah malah memanfaatkan kesempatan yang langka ini. Apalagi kita sudah paham kondisi perpolitikan bangsa ini.

Akibat mahalnya biaya demokrasi, banyak pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi. Seperti yang kita ketahui, berdasarkan peringkat Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index-CPI) Tentang korupsi, peringkat Indonesia masih berada dalam posisi  85 dari 180 negara. Itu artinya posisi tersebut perlu dipertimbangkan saat membuat kebijakan.

Menurut Jack Bologne (1993) dalam bukunya yang berudul Handbook of Corporate Fraud terdapat empat faktor penyebab fraud. Empat Faktor tersebut dinamakan dengan Teori GONE yang merupakan singkatan dari Greed, Opportunity, Need, dan Exposure. Empat faktor yang dapat menjelaskan penyebab fraud dapat diuraikan sebagai berikut:

(1) Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku (2) Opportunity terjadi karena sistem yang memberi peluang untuk melakukan kecurangan (Need) sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai (Exposure) hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain.

Teori GONE merupakan penyempurnaan dari teori Fraud Triangle, yang sebelumnya menyebutkan bahwa Pressure (Tekanan), Opportunity (Peluang), Rationalization (Rasionalisasi) adalah alasan  mengapa seorang  koruptor  melakukan  tindakan  fraud.

Ada baiknya kita uraikan satu persatu kenapa Teori GONE ini erat sekali hubungannya dengan Perpu tersebut.

Pertama ada Greed. Mahalnya biaya berdemokrasi di Indonesia menyebabkan banyak Pejabat di daerah yang menjadi serakah. Demi baliknya uang yang sudah dilakukan untuk melakukan kampanye dan segala hal, mau tidak mau proyek pemerintahlah yang menjadi sasarannya.

Begitu juga dengan pejabatnya. Demi mendapatkan Jabatan, banyak ASN yang terlibat Politik Praktis dengan mendukung kepada salah satu pasangan calon. Kadangkala dukungan tersebut dengan mengeluarkan uang dari kantong pribadi. Akibatnya ialah timbul Keserakahan tersebut. Seperti berdagang, pada saat menjual pasti ingin balik modal dan mendapatkan keuntungan.

Kedua ada Opportunity. Ketika proses pengadaan bisa dilakukan dengan penunjukkan langsung tanpa melalui seleksi atau tender dapat memperbesar peluang untuk melakukan pemilihan rekanan yang berjasa atau rekanan yang berani memberikan fee proyek.

Ketiga adalah Need. Kondisi Pandemi menyebabkan banyak sekali permasalahan. Jika biasanya para pejabat bisa mendapatkan uang melalui honor ataupun perjalanan dinas, Ketika pandemi hal tersebut tidak bisa dilakukan. 

Karena beberapa kegiatan yang dianggap tidak terlalu penting dihapus mata anggarannya. Sedangkan kebutuhan tetap ada dan semakin besar. Apalagi jika keluarga banyak yang dirumah. Alhasil, berselancar diinternet jadi perilakunya. Yang kadang-kadang ujungnya belanja.

Eksposure. Kekebalan hukum bagi tim satgas menyebabkan mereka berani melakukan Korupsi. Coba saja jika Penjelasan Perpu tsb dibalik. Barangsiapa yang melakukan Korupsi untuk memperkaya diri atau orang lain, maka akan mendapatkan Hukuman sepuluh kali lipat dari putusan Hakim. Saya yakin banyak pejabat yang tidak akan berani untuk Korupsi.

Terdapat Bahasa yang ambigu juga dalam Perpu tersebut “Itikad Baik”. Bagaimana menentukan bahwa suatu Korupsi itu tidak terjadi karena itikad baik. Jika Sistemnya saja masih lemah, bagaimana orang bisa mengetahui maksud dari itikad baik tersebut. Orang penegak Hukum saja bingung mengartikannya.

Dari semua Kriteria tersebut sudah mencukupi. Maka ada risiko dari terbitnya Perpu tersebut yaitu Korupsi.

Sebagai bagian dari 3 Lines of Defense, APIP harusnya sudah menyadari akan risiko ini. Walaupun dalam kegiatan Penanganan Covid ini, APIP sudah diberdayakan dengan melakukan reviu atau refocussing atau realokasi anggaran dan melakukan pengawasan atas bantuan sosial yang disalurkan pemerintah.

Menurut saya, masih ada hal yang belum dilakukan. Dua kegiatan yang sudah dilaksanakan itu hanya terkait dengan perencanaan dan pertanggungjawaban. Terdapat kegiatan pelaksanaan pengadaan barang jasa yang perlu diawasi. Oleh karena itu, APIP seharusnya:

  1. Meminta kepada Pejabat Pengadaan untuk mengumumkan kegiatan pengadaan sehingga memberi keyakinan bahwa proses pengadaan telah sesuai dengan harga yang wajar pada saat pengadaan tersebut. Artinya, walaupun harga tidak sesuai dengan harga pasar, setidaknya tidak terjadi markup. Contohnya, masih ada penyedia lain yang berani memberikan harga yang lebih murah pada saat pengadaan dilaksanakan.
  2. Meminta kepada pejabat Pengadaan untuk segera mempetanggungjawabkan proses pengeluaran uang.
  3. Melaporan hasil Pengadaan untuk penanganan Covid kepada publik sehingga masyarakat pun dapat mengevaluasi pelaksanaan pengadaan.

Melihat besarnya risiko yang timbul dan dampak yang dihasilkan dari risiko tersebut, ada baiknya APIP melakukan mitigasi dan pencegahan. Sehingga harapannya, pandemi ini bisa ditangani dengan baik, tanpa adanya kasus korupsi yang merugikan semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun