Sejak diterbitkan pertama kali, Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) 113 Tahun 2014 yang mengatur tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, hingga kini belum pernah dilakukan revisi. Padahal dari tahun 2017, sudah ada isu yang berhembus mengenai revisi PERMENDAGRI tersebut. Sudah memasuki bulan ke-empat tahun 2018, isu tersebut belum juga terealisasi.
Sebagai pihak yang banyak sekali terlibat dilapangan dalam memberikan sosialisasi peraturan tersebut, Menurut saya PERMENDAGRI 113 haruslah segera di revisi. Ada point penting yang menimbulkan multitafsir bagi Pemerintah Desa. Poin tersebut ialah penentuan Belanja Upah.
Menurut PERMENDAGRI 113, Pasal (15) Ayat (1) disebutkan bahwa Belanja Barang dan Jasa ialah belanja yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan. Kemudian pada ayat (2) menyebutkan tentang pembagian Jenis Belanja Barang Jasa, salah satunya yaitu Belanja Upah. Itu artinya, Belanja Upah dikategorikan sebagai belanja barang jasa, bukan belanja modal.
Hingga halaman terakhir dan Lampiran PERMENDAGRI tersebut, tidak ada penjelasan rinci mengenai apa itu belanja Upah. Oleh karenanya, hal itu menimbulkan penafsiran bahwa belanja Upah/Ongkos kerja atau apapun biaya yang digunakan dalam rangka membangun aset merupakan belanja barang jasa. Sehingga nilai sebuah aset tidak memperhitungkan pengeluaran berupa Upah/Ongkos kerja.
Jika merujuk pada Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu PERMENDAGRI nomor 13 tahun 2006 , Â Belanja Upah memang termasuk sebagai belanja barang jasa. Tapi Saat menghitung nilai sebuah aset, belanja upah tersebut dilakukan jurnal penyesuaian sehingga nilai asetnya memperhitungkan belanja upah. Yang menjadi permasalahan, bagaimana ceritanya mau dilakukan proses jurnal penyesuaian sedangkan Standar Akuntansi Pemerintah Desa pun belum ada.
Supaya sederhana, saya berikan sebuah ilustrasi dari persoalan diatas.
Pada tahun 2017, Pemerintah Desa Makin Sejahtera mendirikan gedung serbaguna. Rincian pengeluarannya adalah sebagai berikut:
- Pembelian Material           :      Rp75.000.000,-
- Upah Kerja (Ongkos Tukang) Â : Â Â Â Â Â Rp20.000.000,-
- Biaya Penunjang              :      Rp5.000.000,-
Lalu menurut anda berapakah nilai bangunan tersebut saat sudah dikerjakan?
Jika kita mengikuti PERMENDAGRI 113, maka nilai bangunan tersebut hanyalah  Rp80.000.000,-.
Loooh. Kok bisa?
Harusnya nilainya itu kan Rp100.000.000,- dong. Dimana-mana, nilai sebuah bangunan itu dihitung dari semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka mendapatkan sebuah aset. Masa, developer perumahan hanya menjual sebuah rumah berdasarkan harga material dan target keuntungan saja, tapi upah tukang tidak mereka hitung. Rugi besar dong mereka.