Sebenernya saya bukan termasuk penggemar berat makanan berbahan dasar mie. Hari-hari di rumah makan mie bisa dihitung dengan jari. Biasanya saya baru tergoda makan mie setelah nonton film Korea. Biar kata iklan mie goreng slewar slewer di tivi saya nggak bakalan tergoda. Baru tertarik ke dapur masak mie kalo sudah nonton Lee Dong Wook lagi belepotan saus pas makan mie dingin, aaaakkkkk sekseeeehhh ^^
Sore itu seorang teman mengajak saya untuk mencoba Kober Mie Setan. Berbekal rasa penasaran saya manut saja saat motor membawa kami menuju Jl. Kacapiring, Surabaya. Posisi depotnya ada di pojok Jl. Kusumabangsa. Saat parkir, betapa terbengong-bengongnya saya ketika melihat antrian pengunjung sudah mengular sampe ke jalan raya. Dalam hati membatin, emang ini mi rasa apaan ya kok sampe segitunya orang-orang rela baris berlama-lama.
[caption caption="Antrian mengular, Kober Mie Setan Surabaya (dok.pri)"][/caption]
Saat sedang menyesuaikan diri dengan situasi tiba-tiba, ‘AJEENG!! JEEEEENG.. AJUEEEEENNGGGGG!!’ Nyaris pingsan saking kagetnya saat seorang waiter membawa nampan sambil teriak-teriak memanggil nama si Ajeng tepat di sebelah kuping saya. Sebentar kemudian bertalu-talu dipanggil nama si Surti, trus Dian, si Anu, haduh. Gaduh. Baru saya tau bahwa cara waiter mengantar makanannya memang begitu. Manggil kastamer kayak neriakin maling ayam, kenceng banget manggil namanya, semacam petir menggelegar gitu suaranya. Unik bin lucu. Ini selain sebagai satu trik marketing untuk menarik pelanggan, mungkin juga jadi cara mereka untuk menghindari berlama-lama mengantar hidangan di tengah begitu banyak meja dan kerumunan orang. Memang hectic banget tempatnya, indoor maupun outdoor penuh semua. Semakin malam semakin heboh rasanya.
Setelah kurang lebih 5 menit mengantri, kami tiba juga di depan meja dewan juri (eh, kasir). Abisnya memang kayak audisi, semua pengunjung diharuskan antri lebih dulu di depan meja order dan bayar pesanan untuk kemudian mendapat struk dan diijinkan untuk duduk. Jangan coba-coba nyelonong langsung mencari meja dan menempel di kursi saat itu juga, nggak boleh begitu caranya. Kalo tetep nekat bisa-bisa diusir sama karyawannya. Iya, tertib banget mereka. Mengingat segitu panjang antriannya, jelas hal ini bisa ditolerir oleh para pelanggan. Harus sabar, yang penting rasa penasaran terpuaskan.
Mendekati meja kasir saya lihat ada dua papan order bertuliskan dua menu andalan, Mie Setan dan Mie Iblis. Mie setan mewakili mie rebus berwarna putih polos, dan mie iblis adalah mie goreng yang kecoklatan warnanya. Ada ukuran level rasa pedas yang dibuat seperti layaknya size kaos singlet, S, M, dan L. Berhubung newbie, saya memesan mie iblis saja dengan level paling rendah, ‘S’ , ini setara dengan 10 cabai sebagai penyedap rasa (huaaaahhhh). Tadinya saya sempat keder mau pesen 1 cabai saja, tapi di tengah begitu banyak tatapan mata nanti dikira cemen membuat saya memaksa diri untuk memesan tingkat kepedesan sesuai size yang ditawarkan saja (haduh, padahal).
Nggak sampai setengah jam, pesanan kami diantar.
Sebelumnya untuk mengatasi rasa panik berlebihan karena kepedasan, sengaja saya memesan air mineral disamping teh tarik sebagai pelega tenggorokan. Setelah se-jam berjalan, sebotol air mineral dan teh tarik sudah berkurang lebih dari separuh, sedang mie goreng saya nyaris tak tersentuh. Hiks. Emang kayak iblis bercangkang saking pedas rasanya.
[caption caption="Pelega tenggorokan, teh tarik dan es pocong (dok.pri)"]
Melihat tampilan awalnya memang seperti layaknya mie goreng 'normal' pada umumnya. Seporsi mie dilengkapi dengan pangsit goreng dan selembar ham (yang nggak digoreng). Satu kesalahan terbesar saya kemarin adalah sebelum menyantapnya, mie itu saya aduk-aduk dengan harapan agar tercampur bumbunya. Kesalahan. Justru bumbu yang tersembunyi di bawah mie itulah letak dimana ‘racunnya’ bekerja. Coba liat biji cabainya, hoaah, mongah-mongah.
[caption caption="Mie Iblis.. terlihat 'normal'.. padahal.. (dok.pri)"]