‘Ibu panas lagi badannya?’
Ginah tersenyum menatap wajah semata wayangnya. ‘Nggak papa kok, le. Hangat sedikit. Ibu nggak apa-apa.’
Ada kesedihan di raut wajahnya. ‘Adi belikan obat ya?’
Ginah menggeleng. Berusaha keras ia menahan batuk yang terus menggerogoti tubuhnya. Percuma. Obat batuk biasa tak akan sanggup mengatasinya. Kemarin Ginah batuk hebat hingga berdarah.
‘Kalo gitu Adi belikan makanan dulu.’
‘Hmm, ini..’ ujarnya membalik bantal. Mengambil sesuatu dari sana.
‘Nggak usah, bu. Ada uangnya.’
Ginah menatapnya, darimana?
‘Adi bantu bersihkan halaman rumah Haji Sukri tadi. Dikasih upah lumayan sama pak haji. Pak haji baik ya, bu.’
Ginah mengangguk. ‘Capai, le?’ Airmata menggantung di pelupuk matanya. Adi menggeleng. ‘Cepet bali ya, le. Jangan mampir-mampir. PR belum dikerjakan to?’ Adi mengangguk. Meninggalkan Ginah yang masih terduduk. Memandang punggung putranya, Ginah menitikkan airmata. Hidup terlihat amat berat di hadapannya. Berikan hamba kesembuhan, Gusti. Biar bisa kuberi kehidupan yang layak bagi putra hamba satu-satunya.
.
Dua tahun lalu..
.
‘Halo, yu.. Ini aku.. Marni..’
‘Mbak Mar.. Kok tumben?’
‘Ndang bali, yu.. Anakmu ki ra enek sing ngopeni saiki. Bojomu ra bali omah wis patang wulan. Katut..’ Suara mbak Marni seperti petir di siang hari. Ginah meletakkan ganggang telponnya tak percaya. Kang Mardi. Membanting tulang ia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang, bahkan setiap bulan ia mengirim uang. Siapa yang menduga, Mardi, suaminya, menginggalkan Adi dan dirinya demi seorang wanita.
Sebulan setelah itu Ginah pulang ke Indonesia. Miris hatinya melihat kondisi Adi, buah cintanya, tergolek lemah di rumah. Badannya kurus. Tak terurus. Sehari-hari hidupnya dari belas kasihan orang. Duh, Gusti. Ginah menatap kondisi sekelilingnya. Rumahnya. Bukan. Bangunan itu bukan seperti rumah lagi bentuknya. Sebelum berangkat menjadi TKI dulu, setidaknya rumah mungil itu masih sedemikian hangatnya. Tidak seperti sekarang. Bocor dimana-mana. Perabotan mulai hilang. Dimana televisi pemberian almarhum ibunya? Motor tua peninggalan ayahnya? Padahal hanya itu barang mewah miliknya satu-satunya. Kemana larinya semua uang yang dikirimkannya?
.
‘Kemana, Di?’
‘Beli nasi, Pak Haji.’
‘Hati-hati, le. Sepulang nanti, mampir rumah Pak Haji ya.’
Adi mengangguk melihatnya. Pak haji sudah seperti kakek baginya. Pelahan bocah kecil itu membelokkan setir sepeda tuanya keluar kampung. Senja sudah mulai turun. Jalanan ramai sekali. Bus dan truk berkejaran tak henti. Adi melaju sepedanya menuju rumah makan padang dekat kantor kelurahan. Sesekali ia ingin membelikan ibunya kemewahan. Nasi padang. Meski ia tahu, ibu bakal marah melihatnya menghambur-hamburkan uang. Dua belas ribu sebungkus, itu makan malam termahal yang pernah ia rasakan. Adi tersenyum. Di sakunya masih ada sisa lima puluh ribu rupiah. Aman.
.
‘Yu Ginaaaaahhh!!’ Suara warga memekakkan telinga.
.
Ginah tersedu menggendong putra semata wayangnya. Genangan merah membasahi aspal jalan raya. Airmata membasahi wajah putranya yang tersenyum, namun telah menutupkan matanya untuk selama-lamanya. Sebungkus nasi padang terserak di dekat setang sepeda. Sopir bus raksasa yang menabraknya, lari dari amukan massa.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H