Mohon tunggu...
Find Leilla
Find Leilla Mohon Tunggu... Administrasi - librarian

seperti koinobori yang dihembuskan angin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

The Butterfly Lady

12 Februari 2014   16:15 Diperbarui: 8 Agustus 2021   09:16 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘Rambutmu semakin lama semakin seperti salju warnanya,’ ujarnya. Nafasnya begitu terasa hangat di belakang telinga.   

‘Hmm.’ Aku menarik pergelangan tangannya. Merasakan lengan kuatnya dan mendekam di dada bidang itu selama yang ku bisa. 

 

‘Biar saja.’ ‘Nggak suka?’ 

 

‘Kau seperti Gandalf dalam wujud wanita.’  

.

 

Entah mengapa jarak tempuh dari kantor ke Jalan Jawa menjadi lebih lama dari biasanya. Satu persatu bayangan Dewa berkelebat di depan mata. Dulu kita pernah bahagia bukan, Wa? Aku sangat bahagia. Kau? Sesungguhnya aku tak tahu. 

‘Hubungan ini tak bisa diteruskan.’ 

‘Mengapa?’ 

‘Aku harus menikah dengan wanita pilihan ibu.’ 

‘Harus katamu?’ Ia tak menjawab.

Sama sekali tak pernah kumengerti jalan pikirannya. Aku ini apa? Kita ini apa? Sedemikian jauh aku begitu mempercayai bahwa ia cinta. Tapi masih adakah gunanya bertanya jika tak sedikitpun ia membela namaku di depan keluarganya. Itukah cinta? Ataukah selama ini aku buta? Pelupuk mataku basah. Sebab rasa itu begitu rumit untuk dijabarkan. Sedangkan cinta selalu menuntut keberanian. Dan Dewa lebih memilih untuk mengingkari rasa cintanya tanpa beban. 

.

‘Maaf, Hotel M dimana?’ 

‘Ya?’ Kuseka airmata yang menitik begitu saja sebelum menatap arah datangnya suara. ‘Ya?’ 

‘Oh, maaf, M?’ 

‘Di depan sana. Sebentar lagi tiba.’ 

‘Terimakasih.’ 

Sial! Menangis di dalam angkota dan dilihat seorang lelaki pula. 

Aku seperti selembar kertas yang melayang di udara. . 

.

 


Lounge masih terlihat sepi. Beberapa ekspat berbincang sambil terbahak sesekali. Denting piano melantun pelan. Sekali lagi kucuri pandang melalui cermin. Sapuan make up tipis di toilet tadi cukup menyamarkan mata yang bengkak karena terlalu banyak menangis. Kulayangkan pandang ke seluruh sudut ruangan. Hingga kudapati seeorang wanita duduk di depan mini bar sambil sesekali menatap handphonenya. 

‘Lea!’ 

‘My God, Winaaa! Apa kabar?’ Kami berpelukan seperti layaknya dua orang sahabat lama. ‘Akhirnya bisa ketemu juga. Baru saja hendak kutelpon.’ 

‘Iya maaf. Jam pulang kantor padat. Aku naik angkot tadi, mobil di bengkel.’ Tertawa bahagia kumelihatnya. Lea, sahabat kecilku yang kini sudah bermukim di Australia, terlihat sangat sempurna.

‘Kau sungguh berbeda sekarang?’ 

‘Tambah apa?’ 

‘Well, matang. Aku tak bilang kita tua, tapi dewasa, bukan begitu, sayang?’ ujarnya sambil menyentuh pundak seseorang. ‘Ah ya, aku janji mengenalkanmu pada seseorang, bukan? Ini dia orangnya. Damar, ini Wina, teman kecilku yang kuceritakan padamu itu.’ 

Oh tidak, laki-laki itu... 

.


‘Rambutmu semakin lama semakin seperti salju warnanya,’ ujarnya. Nafasnya begitu terasa hangat di belakang telinga. 

‘Hmm.’ Aku menarik pergelangan tangannya. Merasakan lengan kuatnya dan mendekam di dada bidang itu selama yang ku bisa. ‘Biar saja.’ ‘Nggak suka?’ 

‘Kau seperti Gandalf dalam wujud wanita.’ Kecupan bibirnya basah di antara anak-anak rambutku yang jatuh tak beraturan modelnya. Setengah tertawa kubalikkan badan menatap wajahnya. Jentik jemari kusentuh ujung hidungnya. Ia tersenyum menatapku. Mesra. 

‘Mulai ada kerutan di sini. Di situ juga,’ ujarnya. Bibirku mengkerut. ‘Jangan cemberut. Tetep cantik kok. Kalo nggak ngambek.’ 

Kutatap dalam matanya. Dia. Lelaki yang pernah melihat tangisku di dalam angkota. Konyol jika mengingatnya. Hotel tempatnya menginap dengan tempat Lea tinggal tak sampai se-mil jaraknya. Hanya beberapa menit saja dan ia memilih menuruti ide seseorang yang dijumpainya di jalan saat menyeberang, naik angkot yang membawa kami ke tempat yang sama. Takdirkah yang mengaturnya?

‘Jelek kamu.’ 

‘Hmm, sudah kau putuskan apa jawabannya?’ 

‘Oh, common, kita sudah bahas ini berulang kali kan?’ 

‘Apa? Karena kau lebih tua? Karena kau pernah begitu kecewa? Tak ingin menyusahkan orangtua? Sial! Kukatakan beribu kali kepadamu, aku ingin menjadi suamimu, bukan adikmu, kau dengar itu?’ 

Damar menjauhkan tubuhnya. Reaksi yang selalu sama saat kami membicarakannya. Seperti berada di depan dinding bata. Kadang begitu ingin kupergi jauh darinya, dia juga, tapi selalu tak bisa. Selalu kembali mencari jalan untuk bersua. Semakin kuat ingin meninggalkannya, semakin mustahil untuk mewujudkannya. Cinta? Atau butuh? Siapa? Dia? Atau aku? Entah. 

‘Cinta saja cukup kan.’ Kupeluk tubuh atletisnya dari belakang. ‘Sayang..’ Dia mengacuhkan sentuhanku.

‘Kau tau kenapa sedemikian lama aku bertahan?’ 

‘Sayang, ayolah..’ 

‘Dengar dulu.’ Ia membalikkan badan. ‘Selama ini aku diam karena berusaha keras untuk memahamimu. Memangnya cinta itu apa hingga kau memilih untuk menyiksa masing-masing kita?’ ‘Aku mencintaimu, Wina. Meski rambutmu nantinya akan lebih cepat memutih dari rambutku. Meski kelak kau akan lebih mudah letih saat berjalan di sampingku. Atau meski keriput di wajah dan tanganmu akan tumbuh lima kali lebih cepat dari keriput di tubuhku, aku tetap mencintaimu.’ Damar berlutut menggenggam tanganku. 

‘Kau membuatku menangis.’ 

‘Aku tak peduli. Katakan detik ini juga bahwa kau mencintaiku. Aku ingin mendengarnya sekarang juga. Bukan nanti saat kau tersedu dan mengatakannya dengan airmata hujan di musim berikutnya.’ 

‘Tapi..’ 

‘Tidak ada tapi. Katakan bahwa benar kau mencintaiku. Katakan bahwa benar kau mau menikah denganku. Katakan detik ini atau tak akan ada lagi nanti.’ 

Aku mencintaimu. Hanya..

‘Kau pernah terluka. Aku juga. bisakah kita belajar untuk mencari bahagia kita bersama? Belajar dari kesalahan yang sama?’ 

Aku menunduk memeluknya. Tak ingin lagi melepaskannya. Sedetik kemudian ia melepaskan pelukanku. Menyentuh lembut daguku. 

‘Kau mau?’ 

Di tengah semua ketakutanku akan masa depan, yang kulihat adalah dia yang sudah menemaniku berjalan. Meski begitu lebar jeda yang menganga, berulangkali ia meyakinkanku agar tak lagi goyah. Aku bukan seperti Dewa. Hanya pengecut yang tak mampu memperjuangkan cintanya, katanya satu ketika.

‘Mau?’ 

‘Kau berharap aku menjawab apa?’ Aku tersenyum menatapnya. 

‘Winaaaaaaa!’ Ia menarik wajahku mendekat wajahnya.

‘Aduh, sakit, sayang. Lepaskan! Aku lebih tua darimu, ingat itu!' 'Damaaaaaarrr!!' Tangannya terus menarikku mendekat lebih lagi, dan lagi, dan lagi. 'Iyaa.. Iya,. Sebentar. Kemarin ak..' Tak memberiku kesempatan berbicara, bibirnya mengecup bibirku seketika. Terdiam, aku bergumam tanpa suara.

Tiba-tiba kurasa bumi berhenti berputar untuk sementara.

.


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun