Mohon tunggu...
Find Leilla
Find Leilla Mohon Tunggu... Administrasi - librarian

seperti koinobori yang dihembuskan angin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Komen Dulu atau Berteman Dulu?

26 April 2014   09:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hari ini saat membuka profil saya di Kompasiana, agak tertegun saat melihat hitungan jumlah komentar yang menunjuk kisaran angka 4222 tanggapan (cantik bener angkanya). Jujur, sesungguhnya saya tak paham apakah hitungan itu hanya berlaku untuk semua komentar teman yang pernah masuk di artikel saya, atau sekaligus tanggapan yang saya berikan pada artikel pribadi, ataupun termasuk komentar yang saya tinggalkan di artikel Kompasianer lain. Dengan jumlah sedemikian, baru nyadar betapa ributnya saya di dunia maya (waduh).

Komen dulu (boleh)

Kalo diingat lagi, saat awal bergabung di Kompasiana dulu, sangat sering saya menuliskan komentar. Dua tahun lalu saat kali pertama bergabung di blog keroyokan ini, semua komen, menulis tanggapan, bahkan menulis artikel, bisa saya lakukan lewat hape. Apalagi saat itu saya sering mobile namun tak memungkinkan melakukan perjalanan dengan membawa laptop, sehingga hape jadi satu-satunya pilihan hiburan yang menyenangkan. Kapan saja, dimana saja, pukul berapa saja, ketika berada dalam perjalanan atau sedang berada di kota seberang, saya bisa menulis apa saja yang saya inginkan termasuk menulis komentar di lapak-lapak orang.

Saat membuka artikel dengan judul dan isi yang menarik, meski belum berteman, seringkali saya meninggalkan jejak dalam bentuk tulisan atau vote. Kadang saat membaca postingan orang, saya bisa diingatkan tentang banyak hal. Nggak selalu tulisan yang bersifat manual atau tips yang nyata jelas bermanfaat, tapi termasuk juga artikel curhat ato bahkan sekedar cermin bisa jadi sesuatu yang begitu inspiratif di mata saya. Saat materi yang terbaca itu begitu berdampak, disitulah saya meninggalkan sepatah dua patah kata.

Netiket (wajib)

Meninggalkan komentar di lapak seseorang yang belum menjalin pertemanan itu sah-sah saja. Namun meski tak ada aturan sahihnya, ada baiknya jika netiket tetap terjaga. Layaknya orang yang pergi jalan-jalan dan nyasar di sebuah desa, saat bertemu rumah pertama yang bijaknya dilakukan adalah kulonuwun dulu, menyapa dengan ramah dulu, baru setelah itu menyampaikan maksud kedatangannya di sana. Jangan letterlik mengartikannya. Meski tidak berarti harus membuka komentar dengan kata ‘sampurasun’ lalu pidato bla blaa blaaa, minimal kalimat yang digunakan kedengarannya ramah dan enak dibaca pemilik lapak ketimbang gradak-gruduk komen ngedumel sepanjang satu artikel, kemudian nitip link nggak jelas di sana.

Hormati pemilik lapak seberapa pun baik buruknya tulisannya di mata anda. Jika terlanjur terpancing emosi dengan artikel yang kontroversial, misalnya, sedapat mungkin sampaikan ketidaksetujuan dengan kata-kata yang tidak mengutuk dengan mengutarakan argumen yang masuk akal. Memancing diskusi jauh lebih baik ketimbang adu otot lewat tulisan dan bersahut-sahutan tiada henti. Atau jika sama sekali tak setuju dengan pemikiran seseorang, tinggalkan. Komen berbunyi ‘nyuwun sewu, kulo misuh nggih’ sedapatnya dibuang jauh-jauh dari layar (meski sudah pake kata nyuwun sewu dulu).

Sebelum menekan tombol submit, ada baiknya membaca kembali komentar yang sudah ditulis. Ejaannya, alay nggak-nya (eh, ada loh), mancing keributan ato enggak, nyakitin ato enggak (coba pake teori pembalikan, kalo dia yang nulis komen gitu untuk saya gimana rasanya ya? jedarkah? kepala kayak dilempar batukah rasanya? ato gimana? pikir lagi). Dengan segitu banyaknya aturan yang mungkin belum disebutkan, bukan berarti saat berkomentar kita nggak boleh jadi diri sendiri. Yang patut diingat bahwa menjadi diri sendiri itu sangat baik dilakukan jika berhadapan dengan seseorang atau berada dalam kelompok yang sudah kita kenal, bukan dengan orang atau sekelompok yang sama sekali belum kita kenal. Kalo tiba-tiba hadir dan berkomentar yang ‘semau gue’ di lapak orang, bukannya dapat simpati bisa-bisa malah dapet tepokan sandal (meski kadang yang menyakitkan itu bukan tepokannya, tapi dicuekin-nya itu yang mendalam sampe cetar rasanya).

Saat menuliskan ini, bukan berarti saya seorang yang sudah sangat baik karakternya dan tertata baik kata-katanya. Salah. Saat merangkai setiap kalimat dalam tulisan ini justru saya seperti diingatkan kembali betapa alay-nya saya kadang-kadang di dunia maya (maaf ya).

Di satu sisi, saya sendiri sangat menghargai setiap mereka yang hadir dan mengomentari tulisan saya, meski belum berteman. Buat saya hal itu adalah satu penghargaan. Untuk beberapa Kompasianer (yang belum berteman dengan saya), jangan bete kalo saya tiba-tiba makbedunduk muncul ya. Saat komentar saya nangkring di lapak anda, itu artinya artikel anda begitu manis dan sangat menarik untuk dibaca.

Salam Kompasiana!

.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun