Mohon tunggu...
Find Leilla
Find Leilla Mohon Tunggu... Administrasi - librarian

seperti koinobori yang dihembuskan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Firasat

1 Oktober 2014   23:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:44 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak tau sejak kapan kupu-kupu itu hinggap di kakiku. Pikiranku terlalu sibuk bahkan untuk menyadari seekor makhluk bersayap indah bertengger di situ. Saat akhirnya kusadari, sengaja tak kugerakkan kedua kaki agar serangga cantik itu betah singgah berlama-lama di sana.

Menatap pola cantik sayap kupu-kupudi atas keremangan senja, berulangkali kuyakinkan pada diri sendiri bahwa firasatku tak pernah salah. Jika sudah tentang Dika, aku tak pernah salah. Aku tau kapan saatnya ia berduka, menangis, gembira, menyeringai, tertawa, atau bahkan saat ia tak lagi berada di bawah langit yang sama. Aku tau. Aku tak butuh seribu detektif bayaran untuk memberikan informasi tentang hal itu. Tak perlu. Ikatan batinku terlalu kuat menempel padanya. Bahkan jika harus terlepas seujung serabutnya.

.

‘Aku pergi.’

‘Aku tau.’

‘Siapa memberitahumu?’

‘Tak ada.’

‘Insting? Lagi?’

Aku tertawa menatap wajahnya.

‘Sejak kapan kau tau?’

‘Lama.’

‘Apalagi yang kau ketahui? Bahkan jika ku mati?’

‘Bahkan jika kau mati. Aku tahu.’

‘Psychic.’

Aku tersenyum mendengarnya.‘Mungkin.’

.

Ibu bilang karena saat bayi tak sempat mencukur habis rambutku mengakibatkan aku tau segala sesuatu. Perasaanku jadi lebih halus dan peka, terlebih jika tentang seseorang yang sudah kuanggap dekat seperti keluarga. Mimpi yang berbicara. Seperti beberapa bulan lalu. Aku melihat rumah eyang diselimuti awan nan biru. Namun lama setelah itu, awan biru terhalau angin dan pergi menjauh. Tiba-tiba semua berubah menjadi hitam. Kelam. Persis seminggu setelah itu eyang dipanggil Tuhan. Itu bukan yang pertama. Dan aku sangat ketakutan. Aku mengetahui yang orang lain tidak tahu. Aku melihat yang orang lain tidak lihat. Dan Dika? Baru kemarin aku mendapat firasat tentangnya. Lagi-lagi aku tahu, firasatku tak pernah salah.

.

‘Jangan hari ini.’ Kata-kataku seperti melebur di udara.

‘Apa?’

‘Tidak. Aku.. Maksudku.. ada pertunjukan musik malam ini. Temani aku, bisa?’

Ia mengernyitkan dahi.

‘Temani aku. Terakhir ini saja.’

‘Jangan memaksa.’

‘Tapi..’

‘Sudahlah. Aku harus bersiap sekarang. Kereta berangkat jam tujuh petang. Aku pulang.’

‘Dika..’

Ia bergegas memanggul tasnya. Tak bisa berkata, kutatap cemas punggungnya.

‘Dika, tunggu..’

‘Cepat! Atau kalau tidak, kau harus pulang sendiri!’

Berlari kecil aku mengejar langkahnya. Antara sedih dan mencari cara untuk menyampaikan satu kata padanya, ‘jangan pergi.’ Tapi kadang kata-kata bisa begitu mudah tercekat di tenggorokan kita. Dan aku tak memiliki kemampuan bahkan untuk sekedar menatap mata dan berkata padanya, ‘jangan pergi atau kau mati.’

‘Kau ini berjalan atau berlari? Hei, tunggu aku!’

Ia tertawa. Menoleh ke arahku sambil menjulurkan lidahnya.

‘Dika awaaaaassss!!!!’

Setelah itu yang kuingat hanyalah seonggok tubuh melayang ke udara.

.

‘Kenapa dulu tak ibu cukur habis rambutku?’

‘Wajahmu begitu cantik dengan rambut halus yang menempel di kepalamu. Tidak boleh begitu.’

‘Tapi aku tak suka semua yang diakibatkannya.’

Terkejut, Ibu menatap dalam mataku. ‘Kau melihat apa?’

Menggeleng lemah, aku tergugu memandang wajahnya. Tiba-tiba pelupuk mataku terasa hangat. Ada sebening air mengendap di sana. ‘Aku melihat Dika berjalan di jalan yang sempit, bu. Kukejar tapi tetap tak bertemu. Bayangannya hilang di kelokan jalan. Dia hilang, bu. Dika hilang.’

Rasaku seperti berbicara, namun tanpa suara. Hanya termenung menatapnya kemudian menangis sejadinya.

Ibu membelai lembut rambutku. ‘Katakan pada ibu, kau melihat apa, anakku?’

‘Tidak, bu. Tidak ada.’

Dan hanya Tuhan yang tau mengapa.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun