Kedua gadis itu, Tia dan Lola, sama-sama menelungkupkan dirinya di atas hamparan karpet persia cokelat muda. Di depan mereka ada puluhan lembar kertas yang berserakan, dengan coretan rumus aljabar, sepiring marshmallow bakar dan dua botol limun dingin. Bora, seekor kucing savannah tidur bergelung di sudut ruangan. Kamar Lola terasa begitu mewah untuk Tia.
Gadis itu menyadari sesuatu, bahwa mereka memang sama-sama berusia 16 tahun, tinggal di kota yang sama, memiliki warna rambut yang sama, tapi adapun perbedaan yang sangat menyolok adalah persoalan ekonomi. Tia berasal dari keluarga sederhana, yang harus bertahan dengan kamar sempit dan selimut tipis setiap harinya.
Tidak ada karpet persia tebal, kucing impor yang dia kira anak macan tutul, bahkan tidak ada kasur berkualitas dengan sprei berwarna putih, handuk-handuk putih dan semua peralatan mandi serba putih yang berkata dengan sopan "kami cukup higenis" - untuknya. Lupakan saja. Tapi siang ini sepulang sekolah, Lola menggamit tangan rapuh Tia, masuk ke dalam Pontiac lantas meluncur cepat melintasi jalan-jalan kota menuju sarang paling elit yang pernah ia tahu.
"Aku tak akan pernah bisa gembira dengan semua hal ini." Lola menunjuk pekerjaan rumahnya, sambil memasang tampang merajuk, entah pada siapa. Mungkin pada guru aljabarnya yang gila pe-er. Dan mungkinkah Tia,gadis jenius di sebelahnya, mau menyelesaikan sebagian persoalan dalam hidupnya: yaitu masalah eksakta, yang tak berkesudahan? Kecuali kalau Lola telah berhasil menamatkan pendidikannya, memberi selembar ijazah yang tergulung dengan pita biru dengan nilai-nilai cantik, lantas kedua orangtuanya akan tersenyum puas dan mempersilahkannya untuk menjadi apa maunya. Artis teater.
Ratu kecantikan. Grupis? O, tidak, bukan grupis. Orangtuanya akan marah besar. Meski gadis itu tergila-gila pada grup musik, bukan berarti ia bisa berkeliaran dengan bebasnya, dari satu karavan ke karavan lain, atau dari konser ini ke konser itu. Konser yang dipenuhi sorakan, kembang api, raungan gitar atau gebukan drum, yang pasti tidak ada pe-er aljabar di situ. " Bukankah sejak satu jam yang lalu aku telah memberimu contoh soal yang paling sederhana? " sahut Tia sambil tercengang.
Ia tak pernah percaya pada seseorang yang tidak menyukai aljabar. Karena bagi Tia, aljabar dan pelajaran eksakta lain adalah seperti keripik jagung dan popcorn di bioskop, akan jadi bosan jika hal-hal itu tak ada dalam hidupnya. Lola menggeleng lemah, lalu mengeluarkan suara erangan yang panjang. Jika seseorang mendengarnya, pasti akan langsung tahu kalau gadis yang mengerang itu sedang putus asa berat.
Lola berpikir lagi atas alasan mengajak gadis canggung yang jenius itu ke rumahnya. Ia bahkan membatalkan acara sore bersama Zoom, sebuah perkumpulan gadis-gadis kaya di sekolahnya. Bukankah semua itu demi Tia ? Dan Tia harus menyanggupi keinginannya, sebagaimana keinginan Lola yang lain selalu terlaksana.
Ia tak cukup pintar untuk eksakta atau hampir semua pelajaran di sekolah. Tapi bukan berarti 'alarm telah menyala'. Lola masih cukup cerdik mengatasinya. Atau cukup licik? Dan Lola tahu, bagaimana menggiring seekor domba jinak untuk masuk ke perangkap serigala. Tapi tentu saja Lola tetap tak setuju jika ada yang menyamakannya dengan seekor serigala, meski kini ia menyeringai lebar di balik punggung Tia.
Persis seekor serigala. " Tia, kau tahu, hidupku bukan untuk ini.." ujar Lola dengan raut wajah sedih seorang anak yang kehilangan mainan. Tia mengangkat alis dengan gerakan ekspresif. Hidupnya justru untuk 'ini' yaitu soal-soal rumit, rumus-rumus canggih, yang mungkin saja mengantarnya pada bangku universitas ternama dengan beasiswa penuh, suatu hari kelak. "Kau baru mengajakku bicara hari ini, dan ternyata cukup mengejutkan." Sahut Tia, masih terheran-heran.
Lola menatapnya beku karena ia tak tahu, mengenai yang dikatakan gadis di depannya barusan sebuah hinaan, atau bukan? Apakah secara tidak langsung, Tia mengatakan bahwa ia terkejut sekali mendapati temannya ini sangat bebal dan bodoh ? Tapi bukan itu masalahnya. Lola harus menahan kesabaran untuk menggiring domba yang satu ini. "Kehidupanku adalah kontes kecantikan, teater, balet dan musik. Kau tak bisa membayangkan betapa berbakatnya aku dalam semua itu, Tia manis." Lola meringis sendiri mengucapkan kalimat tadi. Ia bahkan tidak lulus dalam ujian balet klasik tingkat pertama, tidak pernah mendapatkan peran penting dalam pertunjukan drama dan tidak bisa memainkan alat musik sama sekali.
Dan mengenai kontes kecantikan, ia pernah memenangkan beberapa kontes yang sangat tidak bergengsi. Agak memalukan untuk bercerita mengenai keadaan yang sebenarnya. Tia ber-ohhh panjang sambil menarik dirinya agar lebih dekat pada gadis cemerlang di hadapannya. Lola yang selalu menarik, dengan lipgloss berkilau, rambut ikalnya yang terurai, kalung berbandul balerina mungil, jam tangan Michael Kors, sabuk lucunya..
Apakah Lola mau menceritakan mengenai kontes-kontes itu? Tia selalu penasaran bagaimana rasanya berada di panggung, mengenakan gaun malam dan tiara di kepala, mengayunkan kaki dengan highheels bertabur permata dan melambai anggun ala ratu inggris? Tidak. Tidak mungkin terjadi padanya.
Tapi tetap saja, hal itu adalah impian hampir semua gadis normal, dan Tia tentu cukup normal untuk menginginkannya. Meski itu mustahil. " Kadang-kadang, nilai baik saja tak bisa memberimu kegembiraan. Kau harus tahu kalau di luar sana.." ujar Lola sambil menggeret Tia ke jendela, dan berkata ' tuh! ' dengan gerakan menunjuk. Lola menunjuk dengan penuh antusias, sebuah kawasan perbelanjaan berkelas di pusat kota.
Tia sama sekali tidak melihat apa-apa dan sebenarnya Lola pun hanya mengira-ngira kalau lokasi Glam City benar-benar berada di sana. Lola menyambung kalimatnya yang terputus tadi dengan sebuah ajakan bersenang-senang. Belanja. Menghabiskan waktu. Menggesek kartu kredit orangtuanya. Dan Lola mau melakukan itu -sebuah traktiran spesial untuk Tia, asalkan.. " Asalkan apa? " Tia bersemangat sekali hingga ia tak menyadari kedua bahunya naik dan bola matanya jadi besar sekali karena membelalak senang. " Asalkan kau mau mengerjakan pekerjaan rumahku, lalu aku akan membicarakan kontrak denganmu selama setahun penuh."
Apakah Lola membicarakan kontrak? Kontrak macam apa itu. Tia tak mengerti. Tapi tentu saja Tia mengerti arah pembicaraan ini. Lola hendak melakukan kecurangan bersamanya, sebuah simbiosis jahat yang imbalannya adalah belanja di Glam City. " Aku belum yakin..aku..bisa.." sahut Tia terbata-bata. Lola gemas mendengarnya.
Apa kurang cukup tawaran tadi? Kurang menggairahkan untuk seorang gadis miskin bernama Tia? " Tia manis, kau bisa tampil dengan layak nanti. Aku akan mendandanimu seperti gadis-gadis Zoom. Lupakan saja Tia yang kuno, siswa sekolah kita akan terperangah melihat Tia yang baru, seolah kau adalah siswa baru, manusia baru.. " Lola menghentikan kalimatnya untuk menyeruput sebotol limun sambil menunggu reaksi temannya itu.
Tia tertegun. Ia berada dalam posisi yang menyedihkan. Berharap menjadi orang lain, gadis Zoom. Apakah ia hendak menanggalkan jatidirinya dan menjadi Tia yang baru? Lantas setelah semua itu terjadi, apakah ia akan diterima? Diterima oleh siapa? Zoom? Tia tidak terlalu berharap atas semua itu. Ia menarik diri dari jendela yang terbuka sambil merunduk.
Kakinya hampir saja terantuk Bora, lantas ia ingat akan Sofi, kucing gendut miliknya. Kucing biasa, bukan impor, tapi lucu dan menimbulkan kerinduan. Keluarganya saat ini juga tengah menunggunya untuk menyiapkan makan malam. Ibunya, yang pasti kecewa jika mengetahui anaknya berbuat curang. Kamarnya yang sederhana, tidak seperti kamar Lola yang fantastis, namun hangat saat diingat. " A..aku..kurasa ini sudah terlampau jauh. " Tia membereskan kertas-kertas yang berserakan. Lola hanya melongo. Bibirnya membentuk huruf o dan matanya mengikuti gerak Tia yang cekatan. Dia tak sanggup menguasai keadaan. Lola ingin mengontrol keadaan seperti biasanya tapi tak bisa.
Ada apa dengan dirinya? Apakah ia dan prinsipnya, jatuh terpeleset di depan prinsip si gadis kikuk ini ? Tia berpamitan dengan sopan, meninggalkan Lola yang masih menatapnya tak percaya. Bahkan setelah ia hanya bisa melihat punggung Tia dari jendela di kejauhan, membuka gerbang dan kemudian menghilang dari pandangan. Masih ada domba yang lain, pikir Lola marah.
Pandangannya tertumbuk pada sepuluh soal aljabar yang belum selesai, lantas ia mulai mengkhayal mengenai kontes kecantikan, konser, teater dan pertunjukan balet. Sesungguhnya, Lola malu pada dirinya sendiri. Diam-diam Lola mengakui bahwa ia hanyalah anak orang kaya yang minim prestasi, penuh kebohongan dan pemboros..
Perlahan-lahan, kantuk yang luar biasa menyergapnya dan gadis itu tertidur di atas karpet persia yang tebal. Ditemani kucingnya, Bora, sepiring marshmallow bakar, dan soal-soal aljabar yang tidak pernah selesai di tangannya. ----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H