Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seorang Lelaki di Kedai Mie

3 Juni 2013   08:37 Diperbarui: 14 Maret 2019   15:27 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedai 'Mie Tua' di pojok jalan adalah satu-satunya yang pria itu tahu, kemana kakinya harus melangkah jika lapar menyerang. Bukan karena lelaki itu penggila mie, bukan juga karena tidak ada kedai yang lebih enak lagi selain Mie Tua di kota kecil ini, namun lebih karena persoalan kantong.

Si lelaki mendapatkan bahwa kedai itu memiliki satu kelebihan dibandingkan kedai-kedai lain, sepanjang yang ia tahu. Lima mangkok mie yang bisa dihabiskan oleh satu orang pelanggan dalam hitungan 10 menit, maka ia tak perlu membayar untuk apapun.

Maka hari ini, setelah seminggu si lelaki tidak menyambangi kedai Mie Tua karena suatu urusan di luar kota, (lelaki itu selalu pulang ke desa ketika  panen cengkeh  berlangsung) adalah saat yang benar-benar tepat untuk menjejali ususnya dengan lima mangkok mie gratis.

Dan di sinilah si lelaki duduk.

"Lima !" teriaknya pada pelayan. Biasanya, setelah itu para pengunjung kedai langsung menyambutnya dengan bertepuk tangan. Namun kali ini si lelaki heran, karena alih-alih antusias, mereka, sebagian pengunjung kedai mie malah menatapnya dengan heran.

"Hei bung, mie di tempat ini sudah tidak gratis lagi." tegur salah seorang pengunjung.

Si lelaki terkejut mendengarnya. " Apa benar begitu?"

"Ya, bung. Tanyakan pada pelayan, sebelum kau benar-benar harus membayar  atas lima mangkok yang kau kira gratis itu."

Si lelaki mengerutkan kening. Apa alasannya? Bisiknya dalam hati. Baru seminggu ia meninggalkan kota kecil ini dan peristiwa besar terjadi. Oya, jelas. Baginya ini peristiwa besar. Jika seseorang memiliki persoalan keuangan akut, maka ketika ' yang gratis menjadi tidak gratis lagi ' adalah sebuah masalah.

"Chen, ini tidak benar. Aku, maksudku ..mengapa kedai ini menghentikan sesuatu yang sudah bagus? " kata si lelaki pada anak pemilik kedai yang selalu duduk di belakang meja kasir.

"Bagus, katamu? Kami rugi belakangan ini gara-gara kebijakan promosi yang tidak masuk akal. Maka setelah nenek kami meninggal, tidak ada lagi yang bisa menghalangi kami untuk menjalankan bisnis secara akal sehat." jawab anak pemilik kedai dengan ketus.

"Jadi usulan mie gratis itu dari nenek kalian?"

"Ya, ide yang tidak masuk akal. Dia memaksa untuk melakukannya atas nama amal. Ingat bung, bisnis tidak bisa disatukan dengan amal, jika kau tidak ingin lekas bangkrut."

Si lelaki muak mendengarnya. Anak pemilik kedai itu lantas menggerutu panjang pendek mengenai kerugian yang diderita mereka sejak orang-orang miskin mulai berdatangan dan mencoba atraksi makan mie gratis.

"Chen, kukira amal yang dilakukan nenek kalian sudah cukup baik, hanya saja tinggal diatur caranya. Mungkin kau bisa memikirkan sebuah jalan tengah ?"

Anak pemilik kedai mengedikkan bahu. "Tidak ada jalan tengah", sahutnya. "Bisnis adalah bisnis".

Kemudian si lelaki yang memang sudah lapar setengah mati terpaksa memesan mie yang 'sudah tidak gratis lagi' dengan hati dongkol.

"Ini tidak bagus." omelnya dalam hati.

Lelaki itu lalu menyantap semangkok mie dengan perlahan-lahan, tidak seperti yang sudah-sudah, sembari berpikir bahwa Chen, anak pemilik kedai itu salah besar. Namun kejelekan sifat itu seperti mie yang melingkari sumpit. Semakin sumpit itu diputar, maka mie yang terkait akan semakin banyak. Ujung sumpit jadi tidak terlihat lagi. Begitu pula, semakin sifat jelek itu membelit manusia, maka ujung (tujuan) hidupnya semakin samar hingga tak terlihat !

Tujuan hidup yang hakiki, yakni menggapai kebahagiaan di 'dunia selanjutnya' yang kekal abadi..

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun