"Jadi usulan mie gratis itu dari nenek kalian?"
"Ya, ide yang tidak masuk akal. Dia memaksa untuk melakukannya atas nama amal. Ingat bung, bisnis tidak bisa disatukan dengan amal, jika kau tidak ingin lekas bangkrut."
Si lelaki muak mendengarnya. Anak pemilik kedai itu lantas menggerutu panjang pendek mengenai kerugian yang diderita mereka sejak orang-orang miskin mulai berdatangan dan mencoba atraksi makan mie gratis.
"Chen, kukira amal yang dilakukan nenek kalian sudah cukup baik, hanya saja tinggal diatur caranya. Mungkin kau bisa memikirkan sebuah jalan tengah ?"
Anak pemilik kedai mengedikkan bahu. "Tidak ada jalan tengah", sahutnya. "Bisnis adalah bisnis".
Kemudian si lelaki yang memang sudah lapar setengah mati terpaksa memesan mie yang 'sudah tidak gratis lagi' dengan hati dongkol.
"Ini tidak bagus." omelnya dalam hati.
Lelaki itu lalu menyantap semangkok mie dengan perlahan-lahan, tidak seperti yang sudah-sudah, sembari berpikir bahwa Chen, anak pemilik kedai itu salah besar. Namun kejelekan sifat itu seperti mie yang melingkari sumpit. Semakin sumpit itu diputar, maka mie yang terkait akan semakin banyak. Ujung sumpit jadi tidak terlihat lagi. Begitu pula, semakin sifat jelek itu membelit manusia, maka ujung (tujuan) hidupnya semakin samar hingga tak terlihat !
Tujuan hidup yang hakiki, yakni menggapai kebahagiaan di 'dunia selanjutnya' yang kekal abadi..
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H