Mohon tunggu...
Leil Fataya
Leil Fataya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

@leilfataya, author of Kucing Hitam & Sebutir Berlian ( Leutika Prio 2012 ), Suatu Pagi di Kedai Kopi ( Red Carpet, 2013 )

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Kalung Mutiara Hitam

26 Mei 2012   03:16 Diperbarui: 14 Maret 2019   16:00 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
haunted_house.blogspot.com

Aku tak butuh  penderitaan dalam hidupku..

oh..benar-benar tak butuh..

karena ia membunuhku perlahan..

dan aku akan membunuhnya duluan..

***

Gadis itu bernama Sol. Hanya Sol saja tanpa nama keluarga. Ia memang tak memiliki siapapun dalam hidupnya, meski hanya seekor anjing atau kucing. Bahkan ia benar-benar tak mempunyai apapun, kecuali selembar baju lusuh yang melekat, serta kehidupan itu sendiri.

Gadis itu kemudian tidak hanya bernama Sol saja, melainkan Solana. Itu adalah nama yang diberikan oleh sang wanita misterius, seseorang yang membuat dirinya terjebak dalam masalah besar! Atau begini..dalam sudut pandang yang berbeda, bukan wanita itulah yang menyebabkan semua kerumitan ini terjadi. Tapi semata-mata karena kebodohannya sendiri.

Kini gadis malang itu harus berurusan dengan seorang petugas kepolisian untuk ditanya ini itu, sedangkan ia hanya bisa menjawabnya dengan gelengan kepala sambil bergumam tidak tahu.

***

‘ Kau membuat kehebohan di pesta itu.’

Ujar sang petugas sambil memelototi kalung mutiara hitam yang melingkar di leher Sol.

Pandangan gadis itu menumbuk ujung sepatunya yang lancip.

‘Kau mencurinya?’ petugas itu bertanya untuk yang kesekian kali. Matanya memicing penuh selidik.

Sol menengadah, lalu menggeleng. Ia merasa tak pernah mencuri apapun dari siapapun. Satu-satunya kesalahan yang diperbuatnya adalah mengungkap identitas sang wanita misterius. Ia benar-benar merasa bodoh. Dan hanya itu yang ia sesalkan. Tidak lebih.

‘Lalu kalau bukan karena mencurinya, dengan cara apa kau bisa mengenakan kalung itu?’

‘Tanya saja Luigo, pelayan itu. Dia tahu jawabannya.’ Sahut Sol, ketus.

‘Saksi sedang menuju kemari. Tapi itu membutuhkan waktu beberapa jam, karena ia sedang berada di luar kota.’

‘Tidak mungkin!’ Bantah Sol keras.  ‘ Luigo yang mengantarku ke pesta. Dia tidak mungkin secepat itu meninggalkan kota ini.’

‘Kau tahu kereta api, nona muda? Pernah menaikinya? Cepat bukan?’ petugas itu menyeringai lebar.

‘Oh tidak..! Mengapa ini terjadi padaku? Apakah aku akan dipenjara?’ Sol mulai putus asa.

‘Ya, mungkin saja! Itu kalau kau tidak bisa membuktikan kebenaran berpihak padamu,nona muda. Luigo juga belum tentu memberi kesaksian seperti yang kau inginkan. Semua tidak segampang yang kau rencanakan, nona Sol.’

Mata gadis itu melebar dan ia mulai meratap.

‘Pak, sungguh, aku tidak merencanakan apa-apa ! Baik.. aku terpaksa menceritakan ini kepadamu. Tapi aku harus mengingatnya dengan keras. Karena semuanya samar bagiku.’

***

‘Kala itu cuaca buruk sekali. Angin bertiup kencang sepanjang hari. Udara dingin menggigiti tulangku dan rasa lapar itu terasa menyakitkan! Aku harus bertahan hidup dengan sepotong roti basi yang kutemukan di jalan. Hampir tak ada manusia yang berbaik hati di hari itu. Mereka sibuk memikirkan bagaimana cara berlindung dari  badai.’

Petugas menyela sambil melancarkan jari-jarinya di tuts mesin ketik. ‘Hari itu? Kapan tepatnya?’

‘Seminggu yang lalu. November, hari ke sembilan belas. Tidak ada yang mengacuhkan seorang gadis yatim piatu, kotor dan bau sepertiku. Kecuali satu orang, Dolores. Wanita itu memanggilku dari balik gerbang rumahnya dan..’

‘Dolores..Rojas..’ sela petugas itu lagi sambil tetap mengetik sambil menggeleng-gelengkan kepala.

‘Ya. Nyonya Dolores Rojas memanggilku masuk untuk berlindung sejenak dari badai. Ada Luigo juga, sang pelayan. Kuharap ia segera datang untuk menyelamatkanku.’

Petugas itu mengernyitkan dahi.  ‘ Kembali ke masalah awal, nona.’

‘ Ya. Aku tidak pernah berniat untuk tinggal lama di rumah itu. Tapi ia memaksa.’

‘Ia? Siapa?’ tanya sang petugas.

‘Tentu Dolores, maksudku. Anda tak bisa terus-terusan memotong ceritaku, Pak’

Petugas itu mengerucutkan bibir lalu menjawab tegas ‘ Aku sedang meminta keterangan anda dengan sejelas-jelasnya, nona muda, bukan sedang membuat novel.’

Sol mendengus kesal.

‘Aku berada di rumah itu selama beberapa hari. Ia menyiapkan kamar yang cocok untuk gadis seumuranku. Ya, kurasa demikian. Karena ada setumpuk gaun indah di lemari dan beberapa pasang sepatu yang berukuran sama dengan panjang telapak kakiku. Ada juga piringan hitam yang memutarkan lagu-lagu yang kusukai. Satu lagu dari Chantelle, seorang penyanyi lama. Kau mau tahu lagunya? Begini.. 

Aku tak butuh penderitaan dalam hidupku..

oh..benar-benar tak butuh..

karena ia membunuhku perlahan

dan aku akan membunuhnya duluan..’


 ‘Nona muda, maaf, saya kira anda mesti melanjutkan keterangan yang perlu-perlu saja.’ Sembur petugas itu cepat.

‘Aku mulai menyukai kehidupan baruku bersamanya. Ia menyebutku, nak.  Tidak hanya itu. Dolores, mengganti namaku menjadi Solana. Ia bilang, aku bisa menambahkannya semauku. Solana Rojas, maksudnya.’

Petugas itu masih tetap mengetik dengan mulut berdecak-decak heran.

‘Kau tidak akan membuang waktuku dengan bualan kan, nona?’

Sol mendelik marah lalu melanjutkan dengan perasaan sebal.

‘Aku jarang melihatnya ke luar rumah. Ia hanya berdiam diri saja dan tidak menghendakiku untuk bertanya macam-macam. Ah.. bagiku itu tidak jadi soal. Selama aku bisa mendapatkan rumah yang nyaman untuk bernaung saat  musim dingin meniupkan angin-angin jahat , dan rasa lapar bisa membunuh siapa saja secara perlahan-lahan.’

Petugas itu berhenti mengetik. Ia ingin menggeliat bosan tapi situasinya tak mengijinkan.

 ‘Lanjutkan, nona. Ingat, yang penting-penting saja. Sudah habis enam lembar kertas dan jariku mulai melepuh!’

‘Baik, pak. Suatu ketika ada perayaan pesta di balaikota. Semua warga kelas menengah atas  berkumpul di sana. Kau pasti ingin bergabung dengan mereka kan pak, tapi sialnya, kau harus tetap diluar melakukan penjagaan. Angin mulai menembus seragammu yang tipis dan membuat kau menahan gigil sepanjang menit.’

‘Cukup nona. Kau terlalu bertele-tele!’ ujar petugas itu menahan kesabarannya yang mulai menipis.

‘Luigo yang mengantarku ke pesta. Eh, ya, kurasa kau perlu tahu, alasanku pergi ke sana. Selama ini aku hanya bisa memandangi orang-orang kaya itu dari luar sambil berharap, semoga akan banyak remah makanan yang tersisa untukku. Aku akan mengendap di belakang gedung, tempat pembuangan sampah dan menanti para petugas kebersihan melempar kantong-kantong berisi cuilan kue, potongan daging atau apa saja. Jadi untuk yang pertama kali dalam hidupku, aku ingin merasakan hadir di antara mereka dan menyantap hidangan yang layak.’

Petugas itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Anak ini hanya membuang kertas dan tinta saja, pikirnya. Tapi ia harus terus mengetikkan ocehan omong kosong itu.

‘Aku merengek pada Dolores, dan dia mengabulkan permintaanku dengan satu syarat, aku tidak boleh sekali-kali membocorkan rahasia.’

‘Rahasia apa itu?’ kening petugas itu semakin berkerut.

‘Ya..rahasia. Kau mengerti tidak sih, bahwa ada seseorang yang enggan diketahui identitasnya, karena ia begitu misterius. Tapi aku bodoh sekali. Orang-orang yang kutemui sungguh menarik. Aku mencicipi segelas anggur, dan mereka menawarkan dua sampai tiga gelas. Aku berdansa sepanjang pesta, dan kurasa aku mulai mabuk. Lantas..’

‘Lantas apa..?’ petugas itu mencondongkan badan ke depan karena Sol, gadis malang itu mulai bergumam sendiri.

‘Bodoh..bodoh..’

‘Nona, teruskan.’

‘Aku membeberkan cerita tentang pertemuanku dengan Dolores Rojas. Dan dengan serampangan aku bilang ke semua orang kalau Dolores mengangkatku sebagai anaknya. Lantas yang terjadi selanjutnya adalah..’

‘Ya. Cukup, nona. Aku tahu yang terjadi selanjutnya. Mereka panik, bukan?’

Sol mengangguk.

***

Selang satu jam kemudian, seorang pria dewasa, mengenakan jas hitam di balik overcoat, memasuki ruangan. 

‘Luigo!’ seru gadis itu gembira.

‘Nona muda, aku datang untuk anda.’

Lelaki yang baru datang itu, Luigo, menaruh jaminan untuk kebebasan Sol, tapi gadis itu malah semakin heran karena ia merasa tidak harus dibebaskan dengan jaminan. 

‘Jelaskan Luigo. Jelaskan pada mereka bahwa aku tidak bersalah. Nyonya Dolores mana?’

Luigo tidak menjawab apapun, ia menghela napas panjang. Petugas itu berdecak-decak lagi. Ia berujar kemudian. Suatu pernyataan yang membuat Sol nampak seperti seseorang yang hilang akal.

‘Tidak ada nyonya Dolores Rojas untukmu, nona muda. Ia sudah lama tidak ada.’

‘Apa maksudmu, sih? Tidak ada itu, maksudnya apa?’ Sol mulai gusar. 

‘Ketahuilah, nona muda. Nyonya Dolores tewas bunuh diri setelah..’

‘Setelah apa..? Ini konyol. Luigo. Katakan sesuatu.’

Luigo berdiri mematung.

‘Nona muda, dengar baik-baik…Dolores Rojas bunuh diri, setelah menembak mati putrinya yang berusia 17 tahun, di rumah itu. Wanita itu menganggap bahwa ia mesti mengakhiri penderitaan putrinya yang keterbelakangan mental….’

Luigo tak menyanggah apapun. Ia dan gadis itu, saling bersitatap.

‘Benarkah Luigo? ‘

Pria itu mengangguk. 

‘Tapi, tuan, dengarkan saya. Apa yang dialami oleh nona muda ini memang benar terjadi. Dia menemui hantu Dolores Rojas dan..’ ujar Luigo yang langsung disambut gelak tawa si petugas.

‘Hantu..kau percaya hantu..? Kukira kau juga percaya pada  makhluk planet!’ sang petugas sungguh-sungguh merasa geli. Hal itu membuat Luigo geram.

 ‘Camkan baik-baik, tuan. Di dunia ini , ada hal-hal yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan logika.  Ayo, Solana Rojas, bangkitlah dari dudukmu. Rumah itu telah menunggumu untuk kembali!’ sentaknya.

Sang petugas mengedikkan bahu. Baru setelah dua orang itu, Sol dan Luigo beranjak pergi, tiba-tiba ia merasa luput akan sesuatu hal.

Semestinya ia menyarankan Sol untuk lekas menanggalkan kalung mutiara hitam, karena benda itulah yang melingkar di leher putri Dolores Rojas di saat kematiannya.

Petugas itu bergidik ngeri. Ia berkomat-kamit pelan, berusaha menenangkan diri.

Aku tidak percaya  hantu…

Aku tidak percaya  hantu…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun