Brakk.
Bunyi pintu papan dibanting oleh simbok membuat rumah kayu ini terasa bergoyang. Aku yang ketakutan hanya terdiam di balik kursi kayu yang hampir roboh.
Byurrr.
Bunyi air dibuang terdengar kemudian. Apa yang dilakukan simbok kali ini?.
Aku memberanikan diri mengintip lewat celah gedek yang sudah mulai bolong. Kulihat simbok membuang air dari dalam panci yang baru saja diangkatnya dari tungku. Aku tahu kenapa simbok melakukan itu. Simbok tidak ingin melayani bapak membuatkan kopi untuknya.
"Tidak usah pulang sekalian!" teriak simbok dari arah dapur.
"Kamu lebih memilih teman-temanmu dibanding kami ini." Simbok melanjutkan omelannya.
"Sudahlah, Nah. Malu didengar anak-anak," bela bapak.
"Apa? Malu? Kamu masih punya urat malu di depan anak-anakmu?" suara simbok semakin meninggi.
"Aku pikir urat malumu sudah putus," ucap simbok lagi.
"Kamu tahu apa yang anak-anakmu rasakan, haaaa?" suara simbok kembali terdengar.
"Anak-anakmu jadi bahan ejekan temannya punya bapak yang saban hari kerjaannya cuma main judi. Berangkat malam pulang pagi."
Kulihat bapak masih duduk terdiam di kursi kayu. Bapak membolak-balikkan rokok tembakau di sela-sela jarinya yang hitam.
Dari sela bibir bapak yang mulai legam, asap mengepul bergulung-gulung. Desahan napas bapak terdengar sangat berat. Aku tahu makna itu. Sangat tahu.
Bapak yang tidak pernah marah pada simbok. Bapak yang selalu sabar mendengar omelan simbok nyaris di sepanjang hidupnya. Dan judi menjadi pelarian bapak. Tapi apakah judi akan menjadi teman bapak sepanjang hidupnya bersama simbok?. Entahlah.
Aku, anak perempuan bapak dan simbok. Lahir di belantara kemiskinan yang mengikat ujung leher. Mencekik tanpa henti semenjak Kang Mardi pergi dari rumah meninggalkan segudang masalah. Ya, Kang Mardi yang membuat bapak lari mencari judi sebagai pelipur hati.
Â
----bersambung---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H