"Kamu tahu apa yang anak-anakmu rasakan, haaaa?" suara simbok kembali terdengar.
"Anak-anakmu jadi bahan ejekan temannya punya bapak yang saban hari kerjaannya cuma main judi. Berangkat malam pulang pagi."
Kulihat bapak masih duduk terdiam di kursi kayu. Bapak membolak-balikkan rokok tembakau di sela-sela jarinya yang hitam.
Dari sela bibir bapak yang mulai legam, asap mengepul bergulung-gulung. Desahan napas bapak terdengar sangat berat. Aku tahu makna itu. Sangat tahu.
Bapak yang tidak pernah marah pada simbok. Bapak yang selalu sabar mendengar omelan simbok nyaris di sepanjang hidupnya. Dan judi menjadi pelarian bapak. Tapi apakah judi akan menjadi teman bapak sepanjang hidupnya bersama simbok?. Entahlah.
Aku, anak perempuan bapak dan simbok. Lahir di belantara kemiskinan yang mengikat ujung leher. Mencekik tanpa henti semenjak Kang Mardi pergi dari rumah meninggalkan segudang masalah. Ya, Kang Mardi yang membuat bapak lari mencari judi sebagai pelipur hati.
Â
----bersambung---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H