Mohon tunggu...
Lnura
Lnura Mohon Tunggu... Guru - Eccedentesiast.

Menulis adalah caraku menyembuhkan rasa rindu padamu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kotak Kulit

7 Oktober 2020   19:37 Diperbarui: 7 Oktober 2020   19:49 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dokumen pribadi

Malam ini, simbok memasukkan hampir seluruh isi lemari ke dalam kotak kulit besar itu. Koper. Entah koper entah benar-benar kotak kulit. Aku yang bocah lulusan SD kurang paham pada keduanya. Tak ada air mata yang jatuh kali ini. Entah sudah mengering atau memang sudah benar-benar kebal pada rasa sedih. 

Asrama. Masuk asrama khusus putri di tanah yang belum pernah terjamah sebelumnya oleh bocah kecil seumurku. Hanya mendengar nama kota itu saat bapak dan ibu guruku menjelaskan tentang kabupaten di Jawa Barat.

"Berangkat besok pagi, ndak boleh ndak, harus berangkat, yo" simbok mengelus kepala berambut pirangku.

Ada kesedihan sebetulnya dalam suara simbok. Bapak yang duduk di atas amben kayu, tak berkata sepatah kata pun. Diam. Mungkin bapak juga sedih melepas kepergianku besok pagi. 

Aku anak bungsu simbok harus terlempar jauh keluar rumah. Meninggalkan rumah sederhana tempat bapak dan simbok membesarkan kami, anak-anaknya. Pil pahit perpisahan harus ku telan, bocah 12 tahun, terpisah dari induknya.

"Jangan muntah, malu tuh..." simbok mengelus perut mungilku di dalam bis itu.

Aku tak peduli dengan omongan simbok. Ku tumpahkan seluruh isi perutku ke atas kain panjang simbok. Basah dan bau yang menyengat. Aku hanya nyengir saja. Aroma minyak pijat memenuhi semua penjuru bus Rudi yang membawaku. 

Tetiba aku seperti nenek-nenek yang sakit rheumatik dan dibaluri minyak pijat. Lima jam perjalanan kurang lebih, dengan perut yang melilit rasanya, muntah berkali-kali dalam kantong plastik berwarna hitam, akhirnya alamat yang dituju dapat ditemukan. 

Dalam perjalanan ini ada Setyorini dan bapaknya, juga Marsutiyo yang diantar bapaknya. Hanya aku yang diantar lengkap oleh bapak dan simbok.

Merinding. Seketika tubuhku merinding melihat bangunan itu. Kotak kulit ditarik bapak karena beratnya luar biasa. Sedang simbok menuntun tanganku yang  mungil. Mungkin khawatir aku kabur pulang lagi ke rumah. Erat sekali simbok memegang tanganku. 

Di dalam bangunan ala Belanda itu ternyata sudah penuh dengan anak-anak yang hendak dimasukkan di asrama yang sama denganku. Aku duduk di atas kotak kulit yang sarat dengan berpuluh potong baju di dalamnya. 

Bapak sibuk mengepulkan asap rokok dari mulutnya, tak henti memandangiku yang asyik di atas kotak kulit itu. Sesakali nampak wajah bapak yang resah. Ah, bapak, tahukah isi hati ku saat ini? Bapak tega padaku, memisahkan aku dari kalian. 

Tak lama kemudian, simbok datang membawa selembar kertas. Ku baca sebentar. Kertas itu berisi perjanjian antara simbok dan pihak asrama. dua ribu lima ratus atau dua puluh lima ribu rupiah, angka yang harus dibayar simbok setiap bulan untukku tinggal di asrama ini, tak jelas angka yang tertulis di kertas itu. Yang jelas terbaca hanya namaku di atasnya.

Kotak kulit itu beringsut berpindah ke dalam ruangan besar berjajar lemari-lemari besar pula di dalamnya. 42 adalah nomor ku. Semua barang harus berlabel ini bila tidak mau hilang. Lemari dengan nomor 42 berhasil ku temukan. 

Ku buka kotak kulit itu dengan susah payah. Banyak mata memandang aneh padaku. Kenapa? Ah, ternyata tak ada yang membawa kotak kulit sepertiku. 

Teman-temanku hanya berbekal tas kecil saja, sedang aku.. alamak, aku seperti mau transmigrasi bedol desa dengan membawa semua kekayaan yang dimilikinya. 

Dengan mulai berlinang air mata, kukemas baju-baju dari dalam kotak kulit itu ke dalam lemari bernomor 42. Penuh sesak lemariku tak cukup untuk menampung seluruh isi kotak kulit yang kubawa dari rumah. 

Tak peduli dengan ukuran lemariku, kumasukkan semua baju dan perlengakapan lain ke dalam lemari itu. Simbok dengan sabar merapikannya. Air mataku yang jatuh tak mengganggu kegiatan simbok sedikit pun. Tegar sekali ibuku ini. Anak bungsunya lepas dari pelukannya pun tak membuatnya bersedih sedikit pun.

Di asrama, aku mendapat perlengkapan tidur dan mandi. Mulai dari selimut, handuk, sabun, shampoo hingga pasta gigi. Bahkan beberapa pucuk pakaian pun disiapkan bagi anak yang tidak banyak membawa pakaian sehari-hari. Mungkin hanya aku yang berbekal pakaian hingga lemari jatahku ingin berteriak karen penuh sesak.

Udara mulai terasa dingin saat itu. Aku yang terbiasa tinggal di daerah panas, mulai menggigil tak tahan dengan dinginnya udara ini. Simbok memandikan tubuh mungilku di kamar mandi paling ujung dengan air yang dinginnya menggigit tulang. 

Mungkin itulah terakhir kalinya simbok memandikanku. Malam ini, simbok dan bapak menginap di asrama. Aku tak mau lepas dari  pelukan simbok. Kupegang terus ujung kain panjangnya. Seakan-akan itu adalah tanda aku tak mau ditinggalkan sendiri di asrama ini. Esok paginya, simbok memelukku. Ku lihat air mata jatuh dari sudut matanya.

"Kelak kamu akan memahami keputusan yang simbok ambil. Memasukkanmu ke asrama ini, nduk. Meskipun berat, terimalah. Ini demi kebaikanmu." Kata-kata simbok padaku sambil memeluk tubuhku yang mungil.

Bus Rudi yang ditunggu pun tiba. Simbok memeluk tubuhku. Badanku terguncang menahan tangis. Simbok dan bapak masuk ke dalam bis itu, kembali ke rumah. Tangisku yang kencang dan teriakanku tak membuat surut langkahnya meninggalkanku di asrama ini.

Aku hanya menangis sekencang-kencangnya. Setyorini menenangkanku. Aku dan Rini kembali ke asrama. Kamar mandi menjadi tujuanku. Aku menangis didalamnya. Kubasahi tubuh mungilku dengan air yang dingin. Bergayung-gayung air membasahi tubuhku. Simbok, bapak, aku ingin pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun