Mohon tunggu...
Lnura
Lnura Mohon Tunggu... Guru - Eccedentesiast.

Menulis adalah caraku menyembuhkan rasa rindu padamu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kantin dan Batagor

6 Oktober 2020   06:14 Diperbarui: 6 Oktober 2020   06:22 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruang kecil yang terletak di bagian paling ujung gedung sekolah. Dengan sekat kawat bersilang memudahkan mbak-mbak pelayannya mendengar suara khas anak-anak sekolah yang hendak jajan.

Dengan teras yang lumayan cukup luas, bisa dijadikan destinasi akhir ketika perut mulai mengeluh meminta diisi di kala jam istirahat. Yang aku ingat menu-menu yang tersedia adalah roti, nasi goreng, bihun goreng lengkap dengan sambal kacangnya, batagor, mpek-mpek ala kadarnya, permen, kerupuk, dan es. Mungkin masih banyak varian yang lain, tetapi karena kami anak asrama tak pernah punya uang jajan yang besar, kami hanya hafal makanan yang biasa kami beli saja.

Batagor. Makanan ini adalah jenis yang sering aku beli. Alasannya klise, cukup mengenyangkan karena bahan dasarnya adalah tepung. Batagor berbumbu kacang yang dibungkus pada plastik yang super mungil, alhasil susah sekali membuka plastik bumbunya.

Yossi punya kenangan yang hampir sama denganku. Saking semangatnya ingin makan batagor, plastik bumbu itu tak mau segera terbuka, digigit berkali-kali, tapi hasilnya adalah bumbu itu mendarat indah di baju dan ada pula di tembok. Ah, batagor pun menjadi mati rasa di lidah. Hambar.

"Ini, buat kamu," tangan itu bergerak maju memberikan bungkusan kecil. Batagor. Mungkin dia tahu dengan pasti, bahwa batagor adalah makanan kesukaanku. Selain batagor, ada beberapa butir permen, dan es mambo ras teh.

Aku diam saja. Tak segera ku ambil pemberiannya. Lelaki itu tetap berdiri di depanku dengan tetap menggenggam semua makanan yang hendak diberikannya padaku.

"Ambil..." katanya.

Tangannya pun meraih tanganku untuk memindahkan semua isinya. Aku hanya diam saja menerima semua makanan itu.

Aku dan dia bersahabat layaknya sahabat. Benar-benar sahabat. Tanpa ada rasa yang lain. Saling mendukung, saling berbagi cerita, saling berkeluh kesah. 

Tapi kami tak menampakkannya di luar. Kami berbicara melalui buku. Setiap jam istirahat tiba, salah satu di antara kami akan berdiri di depan wastafel yang letaknya dekat dengan kelasku, di depan aula. Untuk mengembalikan buku yang terselip surat di dalamnya. Karena kami berbeda kelas, tak jarang kami pun berbagi catatan pelajaran.

"Sarapan dulu" katanya pagi itu.

Sebungkus roti diberikannya padaku. Dia tahu, bahwa kami anak asrama selalu sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah. Tapi, aku terima roti itu lengkap dengan air minumnya. 

Seperti biasa, kami tak pernah berlama-lama ketika berbicara. Karena kami sepakat bahwa tidak akan ada yang tahu tentang persahabatan antara kami. Hanya kran air, batagor berbumbu, kantin sekolah, selokan di depan kelas, dan kertas-kertas surat itu saja yang menjadi saksi persahabatan ini.

Aku suka kamu.

Tiga kata yang ditulisnya di bukuku hari itu. Tak lupa dia sertakan batagor kesukaanku ketika memberikan buku itu di jam istirahat di kantin sekolah. Secepat kilat kututup buku itu khawatir terbaca oleh teman-teman yang berlalu lalang di sepanjang koridor sekolah. Hanya diam yang kulakukan.

Persahabatan yang terjalin selama hampir dua tahun pun sudah tak bisa dipertahankan karena ada rasa di dalamnya. Dan aku tidak suka seperti itu. 

Semenjak tragedi tiga kata itu, aku menjauhinya. Dan dia tahu, aku menjauhinya. Untukku, bersahabat lebih indah dibandingkan dengan rasa suka antara laki-laki dan perempuan. Sahabat tidak akan ada rasa benci atau sakit hati ketika salah satu pihak menyakiti. 

Sejak saat itu, tak ada lagi batagor di jam istirahat. Tak ada lagi buku yang menjadi penghubung kami. Tak ada lagi pertemuan sembunyi meskipun kami lakukan di tempat yang tidak tersembunyi. Dan tak ada lagi senyum yang tersungging kala bertemu. Yang ada hanya beku. Bersua pun seolah-olah tak saling mengenal. 

Aku tahu, kamu pasti kecewa karena aku tak pernah mengembalikan buku yang bertuliskan tiga kata itu. Maafkan aku. Aku terlalu kecil untuk mengetahuinya. Meskipun akhirnya aku tahu, kamu terluka karena sikapku. 

Tak akan aku sebut nama pada bagian ini. Karena kami telah berjanji, nama itu hanya kami yang tahu. Aku dan dia. 

Kantin dan batagor menjadi sisi lain kehidupanku di tanah berembun, bersamanya. Sahabat bayangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun