Mohon tunggu...
Mas De Sakunab
Mas De Sakunab Mohon Tunggu... Wiraswasta - Palate!

Penulis lepas. Tinggal di sekitar yang ada. Keseharian setia menikmati perilaku sosial, budaya dan diplomasi. Cenderung mengagumi ketimbang memiliki. Kini sedang dalam proses mencari dan menjadi yang terbaik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pentingnya Pendekatan Sosial-Budaya dalam Menangani Konflik Perbatasan

6 November 2020   12:11 Diperbarui: 6 November 2020   12:17 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(image: mydiarylusia.blog.com)


Secara garis besar penentuan wilayah perbatasan negara di Indonesia umumnya merupakan warisan pemerintah kolonial melalui perjanjian internasional. Penentuan garis batas negara antara RI - Timor Leste berdasar pada kesepakatan antara Belanda dan Portugis. Salah satu hasil perjanjian itu adalah perbatasan antara Nelu, Sunsea, Timor Tengah Utara, NTT dan Leolbatan, Kosta Oekusi, Timor Leste. Meski sudah ada garis-garis batas di antara kedua wilayah ini, tetapi selalu terjadi konflik.

Sampai dengan saat ini, kedua kelompok warga hidup dalam perasaan waspada. Masalah tentang titik koordinat garis batas belum terselesaikan secara pasti dan permanen. Kenyataan ini dapat menimbulkan konflik (lagi) di waktu mendatang. Pertanyaannya, bagaimana upaya yang tepat dalam menangani konflik di wilayah perbatasan Nelu - Leolbatan?

Di setiap wilayah perbatasan negara manapun, konflik selalu tak terhindarkan. Konflik terakhir diantara kedua warga terjadi pada tahun 2013. Diberitakan bahwa konflik terjadi karena adanya pembangunan infrastruktur jalan Pemerintah Timor Leste yang merusak kuburan dari warga Nelu dan penyerobotan tanah sejauh 500 meter dari zona netral. Penyerobotan ini mengakibatkan kedua warga saling lempar di sekitar wilayah perbatasan.

Meski konflik terakhir terjadi tahun 2013, tetapi sampai sejauh ini masalah tersebut belum ada kejelasan. Maka itu, bisa diramalkan bisa terjadi konflik lagi jika tidak ditangani secara permanen.

Ditilik secara mendalam, kedua warga di sekitar perbatasan memiliki kesamaan dalam suku, agama dan bahasa. Kesamaan ini dapat menjadi strategi diplomasi Pemerintah Indonesia dalam menangani konflik yang sering terjadi. Pemerintah dapat melakukan pendekatan sosial-budaya dengan warga Nelu dan juga warga Leolbatan.

Pendekatan sosial-budaya cukup relevan mengingat bahwa upaya yang selama ini dijalankan hanya berdamai di atas kertas saja. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan terjadi konflik oleh karena warga kurang memahami kesepakatan tertulis tersebut. Pada titik ini, sosialisasi perlu ditingkatkan lagi oleh Pemerintah RI kepada masyarakat di sekitar wilayah perbatasan.

Dengan melihat unsur kesamaan dari kedua warga, maka ada tawaran untuk melakukan pendekatan secara sosial-budaya (Wirawan, 2009: 195) :

Pertama, melakukan ritual yang terdiri dari warga Nelu dan Leolbatan. Kedua kelompok warga memilih mediator/ tokoh adat yang dihormati kedua belah pihak. Kedua belah pihak mengakui pernah terjadi konflik.

Dalam hal ini, tokoh adat berasal dari suku Dawan. Tokoh ini hadir sebagai pemersatu yang dihormati oleh warga Nelu dan juga warga Leolbatan.

Kedua, tokoh adat yang dipilih bekerja untuk menciptakan situasi yang saling memaafkan dan menyelesaikan. Pada tahap ini, martabat warga Nelu dan Leolbatan perlu dijunjung tinggi dan dipulihkan. Kedua kelompok warga ini memiliki kedudukan dan kehormatan yang sama yang perlu dihargai.

Fungsi utama tokoh adat ialah menyadarkan kembali bahwa warga Nelu dan Leolbatan berasal dari nenek moyang yang satu dan sama. Penyadaran itu bisa menumbuhkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara kedua kelompok warga.

Ketiga, tokoh adat yang dipilih mengundang semua masyarakat Nelu dan Leolbatan untuk duduk bersatu sebagai jaminan dan pemberian maaf. Proses ini sebagai puncak dalam penyelesaian konflik secara sosial-budaya. Semua dihadirkan agar masyarakat mengetahui secara pasti dan yakin.

Tawaran pendekatan sosial-budaya di atas membutuhkan real intervension dari pihak pemerintah, militer dan masyarakat setempat. Pemerintah perlu memberikan dukungan dan memfasilitasi pendekatan sosial-budaya ini. Pihak militer dengan strateginya dapat menjalankan fungsinya untuk memberikan rasa aman demi terselenggaranya pendekatan ini. Dan masyarakat sebagai aktor di lapangan perlu memiliki niat dan komitmen yang tinggi dalam melaksanakan pendekatan sosial-budaya ini.

Dengan demikian diharapkan pendekatan secara sosial-budaya semacam ini dapat menyelesaikan konflik yang dapat terjadi kapan saja di waktu yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun