Jumlah rakyat miskin Indonesia tahun 2020 menurut data yang dirilis BPS mencapai sekitar 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta jiwa dari tahun 2019 . Secara kewilayahan, kita bisa lihat bahwa jumlah rakyat miskin masih banyak terlokalisir di wilayah pesisir yang notabene didominasi oleh masyarakat nelayan, terutama nelayan kecil/tradisional. Data KKP juga mencatat jumlah nelayan Indonesia tahun 2020 mencapai 2,35 juta jiwa, dimana sekitar 80% Â diprediksi merupakan kategori nelayan kecil. Nelayan kecil merupakan masyarakat yang berprofesi sebagai penangkap ikan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Nelayan kecil, Â juga memiliki akses terhadap wilayah tangkap yang terbatas karena minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki.
Tiga bulan lalu, tim kami melakukan riset dengan menggali informasi dari nelayan di pesisir Pantura Jepara. Dari beberapa variabel yang kami gali, dapat disimpulkan bahwa ekonomi masyarakat nelayan masih sangat minim, dan riskan terhadap goncangan ekonomi. Â Indikatornya antara lain yakni pendapatan yang minim, saving rate dan daya beli yang cenderung rendah. Maka, tidak heran, jika banyak dari mereka yang beralih profesi dari nelayan dengan mencari penghidupan penghidupan yang lain. Secara umum masyarakat justru menghendaki adanya alternatif usaha lain selain nelayan, artinya profesi nelayan justru tergeser menjadi usaha sampingan/musiman.
"Sudah capek, beresiko tinggi, modal terbatas, dan hasil yang tidak menentu akhir-akhir ini".Â
Begitu secara umum pernyataan mereka, saat kami gali mengenai preferensi mereka terhadap profesinya. Kondisi ini, kami kira bukan hanya di Kabupaten Jepara, tapi juga dibanyak daerah di Indonesia termasuk di WPP-RI yang nota bene memiliki sumber daya ikan (SDI) yang cukup melimpah, tapi tetap saja nelayan tradiaional masih cukup sulit menjangkau akses dalam memanfaatkannya. Jika kita bicara kemiskinan, maka alam bawah sadar kita, sudah pasti mengarah pada nasib para nelayan skala kecil ini. Disisi lain, yang membuat kita khawatir adalah jika melihat perbandingan trend perkembangan jumlah nelayan dari tahun ke tahun. Data KKP selama 10 tahun terakhir mencatat pertumbuhan jumlah nelayan hanya sekitar 1,02 % per tahun. Tentunya data ini perlu menjadi perhatian serius, akan sangat mengkhawatirkan jika kondisi ini terus berlanjut, maka akan  mengancam regenerasi nelayan. Artinya nyaris dengan trend tersebut, regenerasi nelayan mendekati stagnan. Nelayan merupakan ujung tombak, sebagai pahlawan dalam menyediakan pangan bagi ratusan juta penduduk Indonesia. Sektor pangan adalah yang paling krusial yang menentukan keberlanjutan bangsa ini ke depan.
Kalau kita analis dari sumber data empiris, maka dapat ditarik bebera faktor yang menyebabkan nelayan kecil/tradisional masih termarjinalkan. Faktor tersebut diantaranya : (1) keterbatasan input sumber daya yang dimiliki nelayan termasuk modal, sarana dan prasarana; (2) aksesibilitas terbatas dalam memanfaatkan ruang/wilayah tangkap; (3) penurunan produktivitas hasil tangkapan; dan (4) konflik pemanfaatan SDI terutama dengan korporasi; dan (5) kebijakan affirmative yang belum fokus menyentuh hal mendasar dan kebutuhan nelayan.
Prinsip Demokrasi Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI)
Arah kebijakan pemberdayaan nelayan kecil, sesungguhnya tidak terlepas dari bagaimana prinsip pengelolaan SDI dilakukan. Konstitusi kita jelas mengamanatkan secara tegas bahwa prinsip demokrasi ekonomi harus jadi dasar dalam pengelolaan SDA, terkhusus SDI. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung didalamnnya, dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kata "dikuasai" dan "kemakmuran rakyat" harus diterjemahkan, bahwa fungsi Pemerintah sebagai pemilik mandat hak rakyat atas SDA, harus mampu mengawasi, mengelola, mengaturnya dengan tujuan utama mensejahterakan masyarakat. Distribusi nilai manfaat ekonomi SDI, harus benar-benar menjamin keadilan bagi masyarakat nelayan, bukan terkooptasi pada jaminan hak individu (private right) atau korporasi/pemilik modal besar.
Jika merujuk pada pernyataan Richard Banner (2009), dapat disimpulkan bahwa SDI termasuk dalam jenis sumberdaya alam common pool resources yaitu sumber daya alam yang mempunyai karakter "rivalry in consumption" tetapi sangat sulit untuk membatasi (melarang) orang lain untuk mengkases sumber daya alam yang sama (non-ecludabity). Oleh karena itu, sebagai mana ditambahkan Daniel Bromley dan Michael Cernea (1998), bahwa dalam pengelolaan SDI bersifat common property, yakni hak pengelolaan yang dimiliki oleh masyarakat adat/tradisional dalam batas-batas wilayah yang pasti, memiliki kewenangan sendiri, dengan norma-norma hukum bersama. Dari dua pernyataan pakar tersebut, jelas bahwa jaminan akses pengelolaan SDI bagi kelompok masyarakat tradisional yang nota bene para nelayan kecil adalah suatu keniscayaan dalam kerangka prinsip demokrasi ekonomi.
Oleh karena itu, pemberian hak penguasaan pengelolaan kepada private sebenarnya bertentangan dengan konstitusi, yakni UUD 1945 pasal 33 ayat (4) yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, efesiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional. Prinsip ini tentu tidak bersifat "zero sum game", dimana pemberian hak kepada private akan memicu penguasaan SDI hanya pada pemilik modal, dan akan membatasi akses pemanfaatan oleh masyarakat nelayan tradisional/nelayan kecil. Nilai manfaat ekonomi SDI harus bersifat distributif secara berkeadilan, bukan bersifat sentralistik.
Integrated Fisheries Business yang Inklusif untuk Pemberdayaan Nelayan Skala Kecil
Saya mengutip poin-poin penting yang disampaikan oleh Dr. Farid Ma'ruf, pemerhati kebijakan perikanan yang juga dewan pembina Pusat Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Ia menyampaikan gagasan pentingnya menciptakan sebuah bisnis perikanan skala kecil secara terpadu dalam scope keruangan terbatas, misalnya saja pada level kawasan desa pesisir.
Dalam konteks perikanan sebagai bahan pangan (Fisheries as a food), maka jaminan ketersediaan stok pangan harus tersedia sepanjang waktu. Di tengah gencarnya program pengentasan kasus stunting melalui Gemarikan misalnya, maka Pemerintah harus mampu mendorong agar kinerja supply chain bisa berjalan efektif, salah satunya dengan menjamin adanya buffer stock ikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Â Untuk memenuhi kebutuhan hal tersebut, program yang paling memungkinkan didorong yakni dengan pengembangan rantai dingin di setiap desa pesisir (One Village, One Cold Chain). Program pengembangan rantai dingin di setiap desa pesisir setidaknya memiliki empat fungsi strategis, yakni : (1) sebagai buffer stock; (2) menjamin supply chain; (3) pemberdayaan nelayan skala kecil; dan (4) pemberdayaan UMKM pengolah perikanan.
Saya kira empat fungsi strategis di atas, jiga didorong melalui program yang terfokus pada setiap desa pesisir, maka akan secara langsung berampak terhadap pergerakan ekonomi local yang ada. Inilah saya kira transformasi pengelolaan perikanan inklusif yang harus mulai dibangun. Integrasi program One Village, One Cold Chain juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan pembiayaan lintas sektoral terkait, misalnya saja dengan menggunakan pembiayaan dana desa-Kementerian Desa, Kementerian sosial, Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif dan lainnya.
Penulis adalah Sekjend Yayasan Pusaran-KP
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H