***
Persisnya, sebenarnya hukum positif tak perlu ada, karena masyarakat lokal/adat sebagai objek justru telah memiliki hukum sendiri yang mereka gali dari sumber sumber kerarifan lokal. Kata "arif" mengandung makna kebijaksanaan dalam menempatkan keseimbangan tiga pilar utama sustainability yakni ekologi, ekonomi dan sosial.
****
Sekali lagi, Pemerintah mestinya memupuk nilai nilai ini agar tumbuh subur di zona zona sumber daya perikanan. Atau ekstrimnya Pemerintah mesti belajar banyak bagaimana inisiatif pola pengelolaan sumber daya perikanan ini dilakukan. Pengaturan pemanfaatan sumber daya ikan pada musim musim tertentu, memberikan jeda waktu sumber daya ikan untuk recovery dan memulihkan kondisi seimbang, sehingga siklusnya terus berjalan. Konsepsi ini, akan sangat efektif jika diterapkan dalam konteks pemanfaatan sumber daya lobster.
****
Pertanyaanya bagaimana jika korporasi besar berkepentingan mengelola sumber daya yang ada?
****
Menjawab itu, Pemerintah pasti memilih jalan untuk mengeluarkan hukum positif yang sentralistik itu. Padahal hemat saya, korporasi besar bisa terlibat dalam memanfaatkan kue sumber daya, dengan catatan harus melalui masyarakat lokal dan bersedia mematuhi aturan lokal/adat. Sayang, setiap korporasi tujuan utamanya meraup untung dan itu wajar. Ketidakwajaran bisa nampak, saat sumber daya tak lagi terasa manis.
Wallahualam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H