Tiba-tiba Presiden Trump melalui The US Trade Representative (USTR) mengeluarkan kebijakan resmi mencoret Republik Indonesia (RI) dari daftar sebagai negara berkembang bersama China dan India. Artinya RI digeret oleh Pemerintah Amerika Serikat naik kelas sebagai negara dengan kategori maju. Tentu menarik untuk mengulas ini. Kita mesti bangga, ironis, atau justru perlu waspada ?
Pemerintah Trump menggunakan 2 (dua) kategori untuk menilai RI layak menjadi negara maju, yakni : pertama, karena sebaran perdagangan dunia RI mencapai lebih dari 0,5%, atau ada diangka 0,9%; dan kedua, alasanya karena RI masuk dalam daftar negara anggota G 20. Sayangnya pertimbangan mendasar dan penting yakni standar minimal pendapatan per kapita suatu negara justru diabaikan. Seperti diketahui, sebuah negara dikatakan maju jika pendapatan per kapita nya mencapai lebih dari 12 ribu dollar US. Padahal pendapatan per kapita RI hanya pada kisaran 3 ribu dollar US -- 4 ribu dollar US. Artinya RI masih berada pada level middle income country.
Bagi penulis sebuah negara maju, adalah negara yang berhasil keluar dari middle income trap dengan pendapatan per kapita rakyatnya yang besar. Status apapun jika menampikan fakta ekonomi di level masyarakat adalah lipstik. Maka, tak perlu dibanggakan.
Apakah kebijakan Trump hanya sebatas lipstik belaka? Jawabannya Iya. Pemerintah Trump sudah barang tentu punya agenda politik dagang tertentu, yang tentunya merupakan hak kedaulatan dagang negeri Pamansam tersebut. Mungkin, Pemerintah Trump ingin menggenjot produksi nasionalnya dia, sehingga perlu ada proteksi dengan cara-cara halus (tidak frontal) dengan memberikan status strata ekonomi yang sepintas membuat publik bangga. Ya. Ironisnya, publik yang awan memandang status itu sebuah kinerja positif Pemerintah. Mungkin, mereka masih belum melek pengetahuannya terkait politik dagang global.
Pemberian status sebagai negara maju, akan memungkinkan Pemerintah Trump mengevaluasi beberapa kebijakan, khususnya keistimewaan bagi negara berkembang berkaitan dengan tariff ataupun non tariff barier. Dampak yang akan diterima RI terkait hal itu antara lain penghapusan beberapa keringanan tarif Countervailing Duties (CVD), Generalized System of Preferences (GSP), potongan bunga, dan minimis margin subsidi perdagangan turun menjadi 1% dari semula 2%.
Berbagai penghapusan keringanan atau keistimewaan yang selama ini didapatkan RI, tentu berpotensi akan berimbas terhadap kinerja ekspor Indonesia, karena dipastikan akan berdampak pada daya saing produk ekspor kita akibat hilangnya insentif dari negara tujuan ekspor. Â Bahayanya lagi, seiring dengan dinamika perdagangan global yang dinamis seperti saat ini, kebijakan serupa Pemerintah Trump juga bisa saja diikuti oleh negara maju lainnya. Tentu ini yang harus diantisipasi oleh Pemerintah, karena jika terjadi dan berimbas terhadap kinerja ekspor RI, maka defisit neraca perdagangan RI akan semakin dalam.
Peneliti Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Aviliani, seperti dilansir media nasional, juga mengatakan hal yang sama, bahwa status yang diberikan Pemerintah Trump akan lebih banyak memicu dampak negatif terhadap kinerja perdangan ekspor kita ke Amerika Serikat. Bahkan, beliau menyarankan Pemerintah untuk menyatakan sikap menolak terhadap status tersebut, sebagaimana China juga menolak hal serupa.
Jika RI menolak status yang disandangkan Trump, lalu apa bargaining RI? China bisa menolak karena ia punya bargaining besar.
Tentu ada. Sebagai negara berbasis sumber daya alam, RI punya bargaining untuk produk produk di sektor pangan dalam hal ini  pertanian dan perikanan. RI sebenarnya punya keunggulan komparatif, dengan catatan mampu mengoptimalkan potensi yang ada melalui peningkatan produktivitas. Disamping itu, dua sektor ini sebenarnya adalah masa depan sebagai solusi untuk menghadapi tantangan global berkaitan dengan permasalahan pangan. Negara-negara maju dipastikan akan sangat bergantung pada produk-produk pangan. Ini penulis kira yang bisa menjadi kekuatan RI, jika kemudian Pemerintah akan meminta Pemerintah Trump mengavaluasi kebijakannya.
Lantas apa yang perlu diantisipasi?
Penulis akan coba mengulas bagaimana kinerja perdagangan RI-USA khusus pada sektor perikanan. Sektor ini diprediksi akan menjadi solusi global terhadap tantangan kerentanan pangan masyarakat global di masa depan.
Jika kita menganalisis data perdangan RI-USA yang dipublish oleh International Trade Center (ITC, 2019), menunjukkan bahwa USA merupakan tujuan ekspor produk perikanan terbesar RI (di luar produk rumput laut), dengan nilai ekspor mencapai 1,32 milyar dollar USD atau sebesar 39,87% dari total nilai ekspor produk perikanan RI. Disusul, Jepang, China dan Vietnam. RI juga menguasai supply share pasar perikanan USA sebesar 7,06%. Sedangkan supply share terbesar dikuasai oleh Kanada, Chile, India, dan China.
Jika kita lihat market share ekspor produk perikanan RI, memang USA sangat dominan. Ini yang perlu diantisipasi, jika usulan menolak status negara maju ditolak, dan kebijakan pemberian keringanan tetap dicabut. Kita harus mampu mengantisipasi bagaimana daya saing dan kinerja ekspor tidak terlalu terdampak. Â Jika RI tidak mampu mengantisipasi, perlu diingat di bawah RI masih ada Vietnam, Thailand dan negara berbasis perikanan lainnya yang bisa saja menggeser RI sebagai 5 (lima) besar eksportir terbesar ke USA.
Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah mendorong efisiensi usaha di sektor perikanan, menurunkan suku bunga kredit bagi sektor strategis, perbaikan sistem logistik perdagangan yang efisien, dan insentif lainnya yang secara langsung berdampak pada produktivitas dan efisiensi.
Tetapi penulis berharap, RI tetap mengajukan penolakan status tersebut, jika belum mampu keluar dari middle income trap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H