Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memandang Banjir Jakarta dari Perspektif Environmental Ethic

3 Januari 2020   21:31 Diperbarui: 3 Januari 2020   23:04 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya bukan hanya Jakarta yang mengalami bencana banjir yang parah tapi daerah lain di Indonesia merasakannya. Pemicunya curah hujan yang tinggi dan konon sebagai curah hujan tertinggi sejak 150 tahun. Pertanyaannya kenapa Jakarta yang habis habisan disorot, bahkan sosok Anies sebagai bulan-bulanan? Ya, Jakarta tidak bisa dipungkiri sebagai magnet.

Sebagai ibu kota negara, berbagai dinamika yang ada tentu menjadi kudapan yang lezat untuk disantap diruang publik. Diskursuspun terjadi, pro dan kontra memanas, bahkan opini pun dibangun bukan lagi pada basis ilmiah, tapi melenceng lebih jauh. Dan sama sekali tak ada hubungan apapun dengan bencana banjir. Tak jarang diseret menjadi diskursus yang sarat muatan politis.

Intinya banjir Jakarta dalam setiap pergantian Gubernur menjadi komoditas politik, siapapun Gubernurnya. Yang bagi saya memuakan. Dan ironisnya tak satupun Gubernur DKI Jakarta yang mampu menyelesaikan masalah banjir ini.   Mestinya diskursus diisi oleh berbagai ide, telaahan, dan masukan solutif. Tapi nampaknya publik tidak tertarik itu. Jika demikian, ya sudah.

Memandang permasalahan lingkungan termasuk banjir tidak bisa parsial, seperti hanya pada upaya penanggulangan saja. Lingkungan adalah sistem kompleks ada interaksi alamiah dalam hubungan sebab akibat antar sub sistem yang ada.

Sistem ini berjalan manakala ada hubungan yang seimbang. Eksternalitas akan memutus mata rantai sistem, dimana imbasnya adalah ketidakseimbangan yang memicu bencana.

Banjir adalah akibat terganggunya siklus alamiah itu. Tentu lagi lagi aktor penyebabnya adalah manusia yang tak memiliki environmenetal ethic. Jakarta adalah potret wilayah urban, dimana secara keruangan sangat jenuh dengan beragam aktivitas manusia yang sebenarnya telah melampaui daya dukung fisik.

Saya tidak tahu bagaimana dulu awalnya konsep kota Jakarta ini. Yang kita tahu dari literatur sejarah memang merupakan daerah rawa. Apakah tata ruang wilayahnya sejak jaman Belanda telah mempertimbangkan ini atau ditengah jalan dirubah sesuai kepentingan?. Konon katanya konskep tata ruang Jakarta telah berubah, sejak era orde baru.

Dan akhirnya jadilah Jakarta yang menjelma sebagai pusat segala galanya. Padahal seyogyanya tata ruang wilayah mempertimbangkan kajian lingkungan hidup, risk analysis, dan pre-cationary principle.

Tentunya semuanya kembali pada prinsip dasar yakni environmental ethic. Intinya tata ruang wilayah harus menjamin keseimbangan alamiah yang tadi diulas di atas agar tetap berjalan baik.

Ironisnya, sebagian besar publik atau bahkan pemangku kebijakan hanya menilai pada bagaimana upaya penanggulangan, singkatnya mengedepankan tindakan kuratif paska bencana atau masalah terjadi. Ini penyakit kronis. Maka, ide-ide yang muncul adalah bagaimana melakukan rekayasa teknologi untuk mencegah bencana.

Konon katanya, manusia diberi akal untuk menciptakan itu. Sayangnya akalnya hanya sebatas merekayasa tapi lupa memakai hati yakni bagaimana environmental ethic atau bahkan feminisme menjadi kaca mata dalam memandang akar masalah.

Singkatnya apakah rekayasa engineering itu mampu mengembalikan keseimbangan? Jawabannya tidak. Karena merekayasa hanya sebatas upaya penanggulangan, upaya artifisial manusia dan belum tentu efektif walaupun tetap penting dilakukan. Tengok saja Jepang, siapa sangka negara yang sarat dengan para ahli nuklir, nyatanya tak mampu mencegah kebocoran reaktor nuklirnya di Fukusima.

Sekali lagi memandang bencana banjir harus komprehensif, dimana akar penyebab masalahnya adalah terabaikannya environmental ethic pada kita, manusia serakah ini.

Oleh karenanya, banjir Jakarta tidak bisa dilepaslan dari keterkaitan antar wilayah terutama dengan daerah daerah penyangga. Apalagi sebenarnya satu kesatuan ruang yakni Jabodetabek. Hilangnya catchment area di wilayah hulu seperti di Bogor telah memicu run off, penumpukan sampah di sepanjang daerah aliran sungai dan lain lain.

Ini membutuhkan koordinasi antar wilayah dan komitmen tinggi. Maka akan sangat bagus kalau dibentuk semacam Satgas bersama atau Badan antar wilayah terkait, sehingga kebijakan dan programnya sama. Tidak lagi berdasarkan pendekatan wilayah administratif tapi berdasarkan pada eco-region, sehingga upaya kebijakan/program akan lebih integratif dan komprehensif.

Tengok saja misalnya pembukaan lahan baru di puncak -Kabupaten Bogor untuk villa, hotel dan lainnya sangat marak. Lagi lagi perencanaan ruang yang hanya mementingkan kepentingan ekonomi. Jika memungkinkan ada satu kebijakan berkenaan dengan tata ruang ini yakni tata ruang tunggal untuk wilayah Jabodetabek. Ini saya kira cukup efektif untuk menghindari eksternalitas.

Mulai saat ini, kembalikan fungsi lingkungan itu karena itu satu satunya jalan untuk mencegah bencana banjir terulang kembali. Memang butuh waktu lama dan komitmen tinggi, terutama bagaimana merubah kultur masyarakat Indonesia yang masih jauh dari prinsip ADS (Atur Diri Sendiri) ), oleh karena itu bicara lingkungan, aturan harus benar benar ditegakkan. Atau ekstrimnya rubah tata ruang Jakarta dengan mengedepankan ruh environmental ethic.

Kolaborasi antara upaya pencegahan dengan mengembalikan fungsi dan layanan lingkungan hidup dan upaya rekayasa teknologi, saya rasa jawaban untuk masalah banjir Jakarta. Kecuali Tuhan menghendaki   lain.

Sudahi saling menghujat. Sebaiknya berdoa yang terbaik untuk para korban banjir di seluruh Indonesia

Wallahualam

Penulis adalah Anggota Perkumpulan Perencana Pembangunan Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun