Beberapa hari ini media dan ruang publik kembali dipenuhi diskursus terkait rencana review Permen KP no 56 tahun 2016, khususnya terkait substansi tata kelola benih lobster. Saat KKP dinakhodai menteri Susi, pengeluaran dan perdagangan benih lobster adalah haram.
Alasannya jelas. Menteri (saat itu) Susi menilai penangkapan benih lobster akan mengganggu siklus hidup lobster dan mengancam keseimbangan stok. Ia juga menilai harga jual lobster konsumsi justru jauh lebih tinggi dan nelayan akan diuntungkan.
Kebijakan Susi sontak mendapat pertentangan di kalangan masyarakat nelayan penangkap benih, khususnya di Pulau Lombok. Ribuan nelayan kehilangan pendapatan dan aktivitas budidaya tutup. Masalah ini terus bergulir, karena faktanya perdagangan ilegal benih lobster ke luar wilayah NKRI masih marak terjadi.
Susi memang telah meletakan prinsip kehati-hatian (pre-cauntionary principle) dalam pengelolaan sumber daya lobster, di mana di satu sisi penting sebagai salah satu pilar fisheries sustainability. Sayangnya tidak didukung fakta, data yang berbasis kajian ilmiah (evidence based) yang komprehensif.
Penulis mencoba mengurai masalah berdasarkan evidence based yang dilakukan para pakar. Tentu ini telah melalui rangkaian studi panjang dan komprehensif.
Pertama, hasil studi Jones (2015) yang menyimpulkan bahwa tingkat kelulushidupan benih lobster hingga dewasa di alam hanya 0,01% (1 ekor hidup dari 10.000 ekor) akibat faktor alami dan pola arus. Kejadian ini disebut "sink population".
Kedua, hasil studi Dao, et al (2015) yang menunjukkan bahwa kelimpahan benih lobster yang luar biasa tinggi di beberapa hot spot tidak berhubungan langsung dengan populasi lobster dewasa;
Ketiga, hasil studi Priyambodo (2018) yang mengestimasi selama tahun 2016 jumlah benih lobster yang tertangkap mencapai 100 juta ekor. Ia juga mempredikasi jumlah kelimpahan stok bisa mencapai hingga milyaran benih.
Jika melihat ketiga simpulan hasil riset di atas, maka penulis berpandangan memang perlu ada review terhadap pemberlakuan Permen KP no 56 tahun 2016. Tentu tujuannya guna mendorong pemanfaatan potensi nilai ekonomi sumber daya lobster, dan tata kelola lobster secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Pertanyaannya, apakah perlu ekspor benih dilegalkan kembali?
Menteri Edhy Prabowo dan jajarannya saat ini memang tengah menggodok rencana review peraturan tersebut dan belum ada keputusan final mengenai perlu atau tidaknya ekspor benih. Tentu kita berharap berbagai pertimbangan dan masukan harus jadi acuan.
Pertimbangan sosial ekonomi tidak boleh mengorbankan aspek kelestarian SDA dan lingkungan, pun begitu sebaliknya. Prinsip-prinsip sustainable development seperti  kehati-hatian, kepentingan intra dan antargenerasi, serta kelestarian biodiversity tidak boleh dikesampingkan.
Ekspor benih memang sangat menjanjikan, itulah kenapa black market yang melibatkan mafia-mafia kakap banyak bermain pada bisnis ini, meski aturan diberlakukan.
Tapi, pernyataan dari pejabat publik yang hangat di media bahwa ekspor benih harus dilakukan untuk menghindari praktik ilegal, bagi saya adalah logika terbalik dan keliru. Bagaimana ini jika jadi preseden bagi kasus-kasus barang ilegal lainnya?
Yang jelas, pandangan saya dari hasil telaahan menyarankan agar pemerintah tidak membuka ekspor benih lobster dan perdagangan benih lobster hanya bisa dilakukan untuk kepentingan pengembangan industri budidaya lobster nasional.
Jika, ekspor benih dibuka, meski dengan pengaturan kuota, saya meyakini industri budidaya nasional tidak akan bisa berkembang dan ini kontraproduktif dengan visi Presiden untuk mengembangkan industri akuakultur nasional.
Industri Budidaya Lobster Jalan Tengah Satu-satunya
Selama ini banyak kalangan memandang bahwa aktivitas akuakultur hanya fokus pada kepentingan ekonomi, padahal faktanya akuakuktur memiliki peran penting sebagai buffer stock sumber daya ikan.Â
Maka, jika melihat kesimpulan hasil studi di atas, jelas pengembangan industri budidaya lobster nasional menjadi jalan tengah satu-satunya untuk memanfaatkan nilai ekonomi yang jauh lebih besar dan di sisi lain tetap menjaga kelestarian stok.Â
Jika kita mampu memanfaatkan minimal 20% saja dari 100 juta ekor benih maka akan ada potensi nilai ekonomi minimal 1,5 trilyun per tahun. Ini jauh lebih besar jika hanya dibiarkan hidup di alam.
Tentu, sekali lagi dengan catatan ekspor benih tidak diizinkan. Jika, ekspor benih terbuka, maka pembudidaya tidak akan mampu bersaing dengan harga yang tinggi.
Nelayan akan lebih tertarik jual ke eksportir dan akan ada alih profesi dari pembudidaya ke nelayan tangkap benih. Ini karena sosio-kultur masyarakat yang lebih menyukai proses instan.
Perlu diketahui, 80% suplai benih lobster di Vietnam berasal dari Indonesia. Dan Vietnam mampu mendominasi supply share pasar ekspor dunia dengan nilai yang fantastis.Â
Bayangkan mereka berani membeli benih dengan harga hingga 100 ribu per ekor. Berarti ada nilai tambah ekonomi yang luar biasa besar dari bisnia budidaya lobster. Mestinya Indonesia mampu membaca itu. Ironisnya lagi transaksi perdagangan tersebut juga melalui Singapura.
Sebagai broker, Singapura juga mampu mencicipi nilai tambah ekonomi, meski tidak punya sumber daya. Lalu, bagaimana dengan Indonesia sebagai negara basis sumber daya benih lobster dunia? Hanya mencicipi sisa tulangnya. Budaya yang lebih senang hal-hal yang instan asal ada hasil, mestinya sudah dihilangkan.Â
Zaman telah berubah. Bukankah katanya harus bergerak cepat memanfaatkan peluang? Kini saatnya pemerintah memulai itu. Mandiri dalam pemanfaatan sumber daya lobster dengan membudidayakan di Tanah Air. Akan ada ribuan rumah tangga perikanan yang terdongkrak secara ekonomi dengan usaha ini.
Setidaknya ada sebelas langkah penting yang harus segera ditindaklanjuti pemerintah:
Pertama, mengembangkan inovasi teknologi yang berkelanjutan mulai dari perbenihan hingga pembesaran lobster yang modern untuk meningkatkan produktivitas dan mewajibkan pembudidaya menyisihkan minimal 5% dari biomas untuk keperluan re-stocking pada fase tertentu;
Kedua, segera jadikan industri budidaya lobster sebagai kebijakan prioritas nasional dan segera menyusun roadmap pengembangan industri budidaya lobster nasional dalam lima tahun ke depan;
Ketiga, membangun percontohan teknologi budidaya lobster di kawasan potensial dengan mengadopsi inovasi teknologi yang telah berkembang;
Keempat, segera melakukan kajian ketersediaan stok untuk mengukur sumber daya, sebaran geografis, komposisi spesies, dan musim tangkap sesuai potensi lestari;
Kelima, segera melakukan pemetaan sentral sentral/kawasan tangkap benih lobster yang diperbolehkan berdasar hasil kajian stok;
Keenam, Pemerintah (pusat dan daerah) melakukan pemetaan dan penetapan kawasan peruntukan ruang untuk pengembangan industri budidaya lobster;
Ketujuh, menarik investasi korporasi baik PMDN maupun PMA, khususnya dari negara negara importir lobster dengan kewajiban melakukan transfer teknologi dan menjalin kemitraan dengan pembudidaya lobster skala kecil;
Kedelapan, melakukan pengaturan tata niaga lobster yang efisien, sehingga nilai tambah tidak banyak hilang dan melakukan lisensi terhadap pelaku usaha (pembudidaya, nelayan tangkap benih, pengepul, dan eksportir);
Kesembilan, menetapkan harga dasar benih lobster di tingkat nelayan/pembudidaya;
Kesepuluh, memperkuat pengawasan di pintu-pintu keluar ekspor, baik resmi maupun pelabuhan tikus;
Kesebelas, melakukan diplomasi bilateral dengan Vietnam dan negara-negara importir benih lainnya terkait kebijakan penutupan izin ekspor benih dan membuka kemungkinan kerja sama di bidang pembudidayaan lobster.
Sekali lagi, stop ekspor benih dan kembangkan industri budidaya, maka Indonesia berpeluang menguasai supply share pasar ekspor lobster dunia. Ini devisa untuk memperbaiki neraca dagang yang selalu bernilai merah.
Wallahualam.
Penulis adalah Anggota Perkumpulan Perencana Pembangunan Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H