Pemenuhan kebutuhan pangan telah dihadapkan pada defisit sumber daya alam yang semakin kritis. Laju alih fungsi lahan yang demikian cepat. Mendegradasi lahan lahan berbasis pangan. Defisit ini dihantui oleh surplus jumlah penduduk bumi yang signifikan.
Ditambah lagi defisit sumber daya alam telah membawa penurunan terhadap manfaat nilai ekonomi. Ini akan memicu masalah sosial yakni kemiskinan, yang jadi salah satu penyebab utama permasalah lingkungan dan konflik horizontal di berbagai negara. Belum lagi krisis sumber daya air dan lainnya.
Sebuah kajian menyebutkan jika prilaku dan gaya hidup manusia bumi seperti saat ini, maka dibutuhkan lebih dari 3 (tiga) planet yang serupa dengan bumi.
Gaya hidup yang mengabaikan unsur eco-feminisme dalam keseharian penduduk bumi. Lupa, bahwa bumi punya keterbatasan dalam menopang kebutuhan hidup.
Saatnya setiap negara punya komitmen konkrit untuk selamatkan bumi. Bahkan setiap individu, punya tanggungjawab untuk menginvestasikan kepedulian bagi kepentingan antar generasi.
Tindakan kuratif, yang hanya ada aksi saat ada akibat. Harus dirubah dengan tindakan preventif. Pemerintah tengah melawan dampak sampah plastik. Tapi lupa, dan hampir tak ada upaya untuk memberlakukan aturan lebih ketat terhadap akarnya yakni produsennya. Penegakan aturan, harus dilakukan sebagai bagian dari upaya menumbuhkan masyarakat sadar lingkungan.
Polluter pays principle (prinsip pencemar harus membayar) mestinya juga diterapkan dan dibuat payung hukum. Sayang hingga saat ini nyaris tak dilakukan.
Hasil audit BPK terkait kerugian ekonomi langsung dampak lingkungan yang dilakukan Freeport senilai Rp. 180 trilyun. Hingga saat ini tak ada tindaklanjut. Mungkin pertimbangan untung rugi (alasan klasik !). Masih banyak lagi kasus sejenis.
Mengakhiri tulisan ini. Saya kembali mengutip pernyataan Mahatma Gandhi : "Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah".
Silahkan renungkan sendiri.
Wallahualam.