Perhelatan hari bumi setiap tanggal 22 April, mestinya jadi refleksi untuk menjawab tantangan: "bagaimana nasib bumi ke depan?"
Jika bicara nasib bumi, maka kita akan bicara nasib generasi masa yang akan datang. Apa yang telah dilakukan saat ini, tentu akan menentukan keberlanjutan antar generasi.
Begitu prinsip "sustainable development" yang hingga kini masih digaungkan. Tentu meninggalkan ironis, karena faktanya hanya dalam tataran rencana pembangunan setiap negara di belahan bumi. Ya. Prinsip ini hanyalah pandangan filosifis belaka, tanpa keberpihakan politik. Bahkan sejak kenferensi stockholm 1972.
Catatan mengenai fenomena yang diungkap dalam sebuah buku fenomenal "our common future", faktanya hanya menyentuh kepedulian dalam tataran wacana di forum forum/konvensi internasional. Kepentingan ekonomi jauh lebih diperhatikan dan mengubur prinsip prinsip dasar "sustainable development" itu sendiri.
Sebagaimana negara negara lain, Indonesia juga telah meratifikasi berbagai konvensi internasional. Tapi lagi lagi, implementasi tak ada yang membekas. Benar apa yang disampaikan Prof. Sonny Keraf, bahwa prinsip" sustainable development" hanyalah wacana karena tak ada kebijakan politik yang kuat dalam tataran implementasinya.
Baru baru ini, Menko Kemaritiman bahkan mengancam keluar dari kesepakatan paris/Paris Agreement (COP 21) hanya karena polemik perdagangan CPO dengan UE. Langkah yang pragmatis dan justru blunder, karena Indonesia sendiri telah berkomitmen dalam upaya pencegahan perubahan iklim global dengan menurunkan emisi secara mandiri sebesar 29% pada tahun 2030. Dilematis memang jika dihadapkan pada kepentingan ekonomi. Namun, mestinya Pemerintah RI dan UE mencari alternatif solusi lain jangka panjang dengan mengedepankan kepentingan ekonomi dan lingkungan.
Kebijakan yang mendorong pemenuhan energi melalui 100% biodisel (B100) yang didominasi oleh penggunaan kelapa sawit. Disatu sisi menguntungkan secara ekonomi, namun disisi lain akan memperparah penurunan kualitas lingkungan.
Film dokumenter "sexy killer" yang beredar di dunia maya, telah membuka mata kita, betapa perang kepentingan ekologi vs ekonomi terus terjadi. Dilematis lagi lagi, karena faktanya kebutuhan listrik lebih dari 60% tergantung dari batu bara. Disisi lain, implementasi road map terkait penggunaan energi baru terbarukan juga belum membuahkan hasil dominan.
Harus kita sadari bahwa daya dukung bumi (supportive carrying capacity) terus menurun secara signifikan. Bahkan telah melampaui batasan biofisik. Ini semua tentunya tidak terlepas dari antroposentisme yang mendomonasi prilaku dan gaya hidup masyarakat modern. Disisi lain ledakan penduduk yang sulit terkendali, telah menuntut manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup secara tak terukur.
Eksploitasi sumberdaya alam yang sporadis, penurunan biodiversitas yang memicu hilangnya sumber daya genetik, output limbah yang jadi bom waktu, krisis sumber daya air dan defisit pangan yang menghantui. Ini deretan masalah besar yang akan jadi momok menakutkan. Bukan lagi perang idiologis. Tapi persaingan memenuhi kebutuhan hidup akan menjadi pemicu utama peperangan itu sendiri. Pertanyaannya, seberapa banyak penduduk bumi yang menyadarinya?