Tak terbesit sebelumnya dalam benakku untuk bisa berkesempatan menjelajahi salah satu pulau nan eksotis di ujung utara negeri ini, bahkan namanyapun aku baru dengar. Terkadang aku malu, ternyata aku justru buta karena tidak mampu mengenal ibu pertiwi ini dengan seutuhnya.
Jikalau orang-orang kaya di kota itu lebih bangga karena mampu menjelajahi negeri-negeri orang asing itu, bagiku nasionalismenya patut dipertanyakan! Betapa tidak, bahkan wajah ibu pertiwi ini seolah enggan mengenalnya.
Kesempatan ini bagiku, ku anggap bagian dari rencana Tuhan terkasih agar aku mampu membuka mata hati, mengungkap rahasia bumi pertiwi yang mungkin tidak banyak elemen bangsa ini yang tahu. Ya, Pulau mungil nan eksotis itu bernama Morotai tepat di bibir Samudera Pasifik. Sebuah nama yang asing!
Ada dua alternatif untuk menjangkau pulau terisolir ini, pertama melalui alternatif perjalanan laut, dengan menjelajahi lautan menyusuri perairan Halmahera yang cukup ganas. Dengan alternatif ini kalian harus meghabiskan perjalanan sehari semalam, karena terpaksa harus menginap terlebih dahulu di Tobelo Halmahera Utara sampai menunggu pagi, karena keterbatasan sarana angkutan laut menuju pelabuhan Daruba, Morotai.
Alternatif kedua melalui udara dengan pesawat kecil menjelajahi angkasa pulau Halmahera yang terhampar hijau laksana lukisan alam hasil karya Tuhan terkasih.
Memang waktu itu belum ada perusahaan penerbangan yang melayani rute Ternate -- Morotai selain Merpati Nusantara Airlines, entah kenapa? Tapi isunya karena itungan ekonomi yang gak masuk. Ehmm.. ternyata nasionalisme juga harus tergadaikan dengan itungan ekonomi!? lagi-lagi aku harus mengelus dada.
Sayang saat ini perusahaan plat merah itupun sedang dilanda krisis dan terancam bangkrut! yang khabarnya utangnya membumbung tinggi!, tapi syukur, khabar terakhir nampaknya sudah ada penerbangan komersil dengan exspressairlines.
Tepat tiga puluh menit sejak take off dari Bandara Sultan Babullah kota Ternate, pesawat yang ku tumpangi mendarat mulus di landasan pacu yang ternyata aku baru tahu bahwa landasan tersebut merupakan peninggalan tentara sekutu Amerika Serikat sejak tujuh dekade yang lalu tepatnya bernama bandara "Pitu", khabarnya karena mempunyai tujuh landasan sehingga diberi nama tersebut. Sayang dari tujuh landasan, hanya satu yang operasional sedangkan lainnya terbengkalai, dibiarkan begitu saja ditumbuhi padang ilalang.
Saudaraku, mungkin secara umum kita bangsa ini masih merasa asing dengan nama Morotai tersebut, padahal jauh sejak hampir tujuh dekade yang lalu lalu tepatnya sejak Tahun 1944, Morotai telah mempunyai arti sangat penting dan strategis ketika Panglima Divisi VII Amerika Serikat (AS) Jenderal Douglas MacArthur dengan 63 batalion tentara sekutu mendarat di Tanjung Dehegila Morotai sebagai tempat konsolidasi ratusan ribu pasukannya dan menjadi basis pertahanan hingga mengantarkan tentara sekutu memetik kemenangan atas Jepang pada Perang Dunia  II.
Jejak dan Kisah heroik seorang Jenderal bernama Douglas MacArthur  tersebut masih membekas sebagai saksi bisu betapa pulau kecil di bibir Pasifik tersebut mempunyai arti penting di mata sang Jenderal. Jika MacArthur saja pada tahun 1944 telah memilih Morotai sebagai basis strategis tentara sekutu, tentu ada potensi luar biasa di daerah ini yang perlu digali dan dicari jawabannya.
Aku terhenyak, sungguh miris bangunan yang menurutku tidak layak sebagai sebuah pangkalan militer udara, dengan atap yang banyak bocor, dan dinding yang mulai lapuk, dan fasilitas lain nyaris tanpa perawatan.
Hatiku mulai teriris, betapa kawasan yang menurutku sangat strategis sebagai basis pertahanan terdepan justru mempunyai pangkalan militer dengan kondisinya seperti ini?! dengan segala keterbatasan! Padahal sebuah pangkalan militer menurutku adalah sebuah bentuk supremasi untuk menunjukkan pada dunia bahwa bangsa ini tidak layak untuk diinjak-injak kedaulatannya.
Aku tertegun seraya duduk di atas bongkahan batu karang yang menjulang, jauh memandangi Tanjung Dehegila dengan tumpukan beton-beton dan besi-besi baja tua yang menancap bekas sandaran kapal-kapal perang tempo dulu.
Benakku seolah melayang flashback mencoba merasakan bagaimana gejolak peperangan maha dasyat yang melibatkan ratusan ribu tentara heroik antara tentara Sekutu dengan Jepang dalam mempertahkan sebuah supremasi atas penguasaan dunia. Aku tah tahu apakah perang itu atas nama kebenaran untuk menumpas kebathilan seperti dalam cerita Mahabarata?
Saudaraku, ternyata pulau mungil ini mempunyai nilai strategis secara geografis dan geopolitik. Secara geografis Morotai berada tepat di bibir  Pasifik yang sangat strategis karena menghadap langsung pada kawasan Asia Pasifik, inilah yang menyebabkan secara geopolitik Morotai mempunyai arti tersendiri bagi Sekutu sebagai basis pertahanan terdepan.
Pertanyaannya saudaraku, lantas bagaimana dengan negeri ini? Ah, sungguh ironis bagaimana tidak, pangkalan militer yang mestinya menjadi basis pertahanan terdepan negeri ini saja dibiarkan dengan segala keterbatasan, bahkan aku tak melihat satupun pesawat tempur atau sarana persenjataan sekalipun, apalagi kapal perang teronggok disana!
Lebih ironis lagi saudaraku, ternyata sarana persenjataan dan alat tempur yang canggih-canggih, bahkan leopard yang baru dibeli dengan segala kontroversinya itu dibiarkan teronggok begitu saja terpusat di  Jawa.
Saudaraku, bagiku tanpa ada penguatan di kawasan terdepan negeri ini, maka tak ada benteng lagi untuk mempertahankan kedaulatan negeri ini. Aku bahkan kadang berfikir, dimana nasionalisme itu?
Bangkai-bangkai pesawat dan tank-tank tempur yang teronggok di pesisir dan di dalam laut Morotai bagiku adalah sebuah catatan bagi anak bangsa ini, betapa pulau mungil ini punya arti dan nilai yang tak terkira, nilai yang akan mampu membawa nama besar bangsa ini, bangsa yang mempunyai supremasi dan harga diri di mata dunia. Sayangnya bangsa ini tak menyadarinya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H