Ijinkan penulis kali ini mengungkapkan kegundahan atas dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Saya khawatir, dinamika ini ibarat kapal di Samudera yang tanpa dilengkapi GPS, melaju tapi tak jelas arah dan hanya mengandalkan tiupan angin yang terkadang justru menyesatkan.
Ya. Perumpamaan di atas adalah fakta. Sejak memasuki era reformasi, sebagai anak bangsa kita berharap ada perubahan dinamika kehidupan berbangsa ke arah yang lebih baik. Harus diakui, reformasi yang digadang-gadang menjadi tunggangan terakhirpun seolah lepas kendali juga.Â
Dalam konteks berdemokrasi, memang telah berhasil membuka kran kebebasan berfikir dan berpendapat bagi masyarakat. Namun perlu diingat, demokrasi kita adalah demokrasi pancasila yakni demokrasi yang tetap memegang teguh nilai-nilai luhur kepribadian sebagai bangsa yang beradab. Bukan demokrasi yang diadopsi dari bangsa-bangsa sekuler, yang telah melepaskan diri dari koridor kultur sosial bangsa Indonesia.
Berdemokrasi menjadi bagian hak azasi manusia, tapi harus diingat hak azasi juga tidak berlaku universal, artinya pada kondisi tertentu hak azasi harus juga menyesuaikan dengan dinamika sosial yang berlaku. Artinya hak setiap orang juga dibatasi oleh norma sosial pada kondisi dan lingkungan tertentu.
Ironisnya, kehidupan berdemokrasi fasca lahirnya reformasi bukanlah cita rasa demokrasi pancasila, namun faktanya justru bercita rasa liberal dan sekuler. Imbasnya kebebasan berpendapat menjadi liar dengan menonjolkan superioritas dan subjektfitas yang melampaui batas-batas kepatutan sebagai bangsa yang beradab. Kemajuan informasi teknologi yang masif dan sangat dinamis menjadi arena pelampiasan nafsu dan telah secara nyata merubah tatanan sosio kultur masyarakat. Ini terjadi, karena bangsa ini telah kehilangan pedoman dalalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hampir tiap hari masyarakat bahkan generasi muda dijejali dengan berita berita tak mendidik. Berita tentang dagelan politikus yang saling berebut kuasa, kriminalitas, hasutan, hoax dan lainnya. Sadar tidak sadar bangsa ini telah ter-brainwash, sehingga wajar jika kehidupan sosial semakin jauh dari sikap tenggang rasa dan toleransi. Ini mengkhawatirkan karena akan menciptakan benih benih perpecahan.
Puncak perpecahan semakin nyata di dunia maya, dimulai saat gelaran pesta politik pada Pilpres tahun 2014, Pilkada DKI, dan terus berlanjut hingga meminculkan dua kubu yang saling bersebrangan. Ironisnya, dua kubu ini sama-sama menanggalkan akal sehat dalam berfikir, pegangannya satu yakni fanatisme figur atas nama suka dan tidak suka.
Kesimpulannya ruh demokrasi nyatanya telah luntur, karena lebih mengedepankan subjektifitas atas nama fanatisme berlebih. Sebuah sikap yang tak mendidik pada bangsa yang masih mengklaim pancasila sebagai dasar demokrasi. Sayangnya, prilaku pancasilais justru belum banyak ditunjukan oleh para elit kita saat ini.
Intinya Pancasila saat ini hanyalah slogan dan tak dimaknai dalam kehidupan sehari hari. Ingat, Pancasila lahir sebagai buah fikir para pendiri bangsa lewat perjalanan panjang, diskusi yang alot, sehingga menghasilkan kesepakatan bersama yang mengakomodir kenyataan sebagai bangsa yang plural.
Apa yang ditunjukan para elit terdahulu adalah potret demokrasi sesungguhnya yang mampu menanggalkan ego pribadi dan golongan hanya demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Singkatnya, Pancasila adalah warisan terbesar bagi bangsa ini, menjadi pedoman hingga NKRI masih kokoh berdiri.
Pertanyaanya bagaimana saat ini dan ke depan? Saya sebagai anak bangsa justru khawatir, karena faktanya nilai-nilai ini kian luntur. Saat ini, sadar tidak sadar kita berada pada sebuah persimpangan jalan yang mendadak lupa arah jalan pulang.
Langkah Pemerintah dalam membentuk sebuah badan se-level kementerian yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menuai polemik, mestinya harus mampu memberikan solusi yang efektif dan komprehensif, sehingga keberadaan badan yang dibiayai APBN yang tak sedikit ini betul betul memberi dampak nyata bagi terwujudnya kehidupan ber-pancasila.
Pertanyaanya cukupkah dengan hanya membuat pedoman, norma dan action plan semata? Saya katakan tidaklah cukup. Karena sebenarnya akar masalahnya ada di depan mata, yakni Pancasila tidak dimaknai sebagai sikap, namun hanya kata semata.
Bagi saya, langkah yang paling dibutuhkan saat ini adalah bagaimana sikap pancasilais ini ditunjukan oleh para elit dalam menahkodai kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudahkan sikap itu tercermin? Sudahkah ke-lima sila dalam Pancasila ini terfasilitasi bagi kepentingan kemaslahatan bangsa? Perlindungan kehidupan beragama, pemerataan yang berkeadilan, hak azasi dan kemanusiaan, kehidupan demokrasi yang pancasilais, integritas dan pengabdian tulus. Saya bahkan sulit menyembunyikan kekecewaan, tak habis fikir, bagaimana mungkin begitu banyak para elit yang mestinya jadi figur baik, justru mendekam di balik jeruji akibat merampok uang negara?
Perbaikan sistem pendidikan nasional memang menjadi keniscayaan. Pendidikan yang lebih fokus dalam menempa mental generasi muda agar nilai nilai luhur pancasila melekat sebagai benteng diri. Pendidikan yang tidak hanya berfokus pada "knowing" dengan menjejali anak didik dengan pengetahuan eksakta seperti saat ini, sehingga mereka justru melihat sekolah sebagai arena berperang otak. Tidak sedikit justru mereka merasa phobia saat menghadapi ujian nasional yang hanya fokus pada beberapa materi dan indikator kuantitatif. Pendidikan moral dan kultur seolah tak ada guna, imbasnya kita hanyalah mencetak generasi pinter tapi keblinger.
Jika saya jujur, terlepas dari seberapa besar kesalahan orde baru, tapi harus diakui bahwa pengembangan pendidikan moral pancasila begitu masif. Harus diakui ada dampak positif, paling tidak rasa nasionalisme dan kebangsaan kala itu begitu tertanam.
Penguatan pendidikan pancasila pada sekolah formal adalah penting, tapi bagi saya lebih penting lagi bagaimana mengimplementasikan nilai nilai Pancasila dalam sikap kehidupan sehari-hari. Sikap pancasilais yang ditunjukan para elit, para guru, dan orang tua adalah hal yang sangat dibutuhkan saat ini. Bangsa ini haus akan figur seperti ini.
Sekali lagi, jika akan merubah moralitas, maka bukanlah pendidikan kata kata yang wajib didengar, tapi pendidikan sikap yang wajib diliat dan dicontoh. Kita pasti tidak ingin membiarkan anak anak kita terjebak akan standar pendidikan tinggi namun minim moral. Fakta ini terjadi, dan diluar akal sehat, bagaimana mungkin anak SD berlaku cabul? Tentu ini terjadi karena mereka tak punya pegangan moral, sementara akses informasi kian masif menjangkau anak anak di bawah umur. Miris, sedih, marah!!
Jika diawal tulisan ini, saya mengibaratkan kapal yang berlayar tanpa GPS, maka sebenarnya saya mengumpamakan GPS itu sebagai Pancasila. Begitu pentingnya pancasila sebagai pedoman dan petunjuk arah kehidupan berbangsa dan bernegara agar mencapai kehidupan yang Baldatun Thoyyibatun Wa rabbun Ghafur.
Oleh karenanya, Pancasila tidak cukup dengan hanya menampilkan slogan dan peringatan rutin tahunan. Karena Pancasila bukanlah kata kata, tapi Pancasila adalah sikap sekaligus jati diri bangsa yang harus tercermin dalam kehidupan sehari hari.
Selamat Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H