Mungkin tak banyak tahu bahwa hari ini 22 Mei merupakan hari Keanekaragaman Hayati (biodiversity) Sedunia. Penetapan tanggal tersebut adalah bentuk kepedulian sekaligus keprihatinan masyarakat global (yang memahami) terhadap fenomena menurunnya keragaman hayati dunia yang signifikan dari tahun ke tahun.
Hanya sedikit dari kita yang mau peduli atau bahkan sekedar tahu apa arti penting dari keragaman hayati bagi kelangsungan hidup makluk bumi khususnya makhluk yang paling serakah yakni manusia.
Biodiversity begitu penting dalam menopang prikehidupan manusia. Salah satu fakta dari sekian banyak keprihatinan kita adalah menurunnya jumlah varian tanaman obat padahal ini penting dalam menjamin keselamatan manusia. Keprihatinan lain adalah terganggunya keseimbangan siklus alamiah akibat terputusnya mata rantai sub sistem yang menyusun sebuah ekosistem.
Keanekaragaman hayati yang terdapat di bumi Indonesia meliputi: 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptil dan amfibi, 17 persen spesies burung, serta 25 persen spesies ikan yang terdapat di dunia (Sumber : Forest Watch Indonesia, 2011).
Pengetahuan tentang keragaman hayati ini mestinya sejak dini ditularkan kepada masyarakat khususnya generasi modern saat ini. Fakta menunjukkan, bahwa turun kepedulian masyarakat tersebut sebagai akibat nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang mestinya menjadi dasar dalam pengelolaan SDA dan lingkungan kian ditinggalkan dan digantikan dengan sikap antriposentris ysng berlebihan atas kepentingan ekonomi.
Tengok saja, fenomena yang sangat memprihatinkan adalah tingginya laju deforestasi. Jutaan hektar hutan tropis Indonesia hilang setiap tahun. Maraknya eksploitasi pertambangan, pembalakan liar dan alih fungsi hutan untuk industri perkebunan, dan kebijakan konsensi hutan menjadi biangkerok utama hilangnya keragaman hayati. Padahal hutan adalah lumbung biodovetsity dunia yang paling kompleks. Bisa dibayangkan Indonesia pernah masuk dalam Guinness Book of World Record tahun 2000 sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Memprihatinkan !
Sebagai gambaran, berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI) laju deforestasi Indonesia selama kurun waktu tahun 2009 -- 2013 sebesar 1,1 juta hektar pertahun. Walaupun cenderung mengalami penurunan jika disbanding kurun waktu periode sebelumnya, namun perlu digaris bawahi bahwa penurunan tersebut bukan karena intervensi kita, namun lebih desebabkan karena kawasan tutupan hutan yang berkurang.
Kemajuan teknologi, disatu sisi juga tidak sedikit yang mengabaikan prinsip kehatian-hatian terutama bagaimana melihat ada tidaknya dampak negatif terhadap biodivetsity. Teknologi rekayasa genetik yang sporadis justru berpotensi menghilangkan jenis aslinya. Maka tidak heran beragam spesies asli pertanian dan perikanan mulai tergeser.
Introduksi jenis baru (allien species) juga terkesan sporadis tanpa ada risk analysis import, imbasnya dominasi invasif species telah menggeser native species. Fakta ini banyak ditemukan justru di taman nasional yang nota bene mestinya jadi benteng untuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati.
Pada sektor perikanan misalnya, introduksi invasif allien species yang dipandang prospektif untuk bisnis juga telah memicu tergesernya ikan asli Indonesia. Jika saya pulang kampung misalnya, nyaris sulit menemukan jenis ikan seperti nilem, tambakan, tawes dan lainnya, yang ada hampir secara umum kolam kolam rakyat didominasi oleh ikan bawal hasil introduksi dari Brazil puluhan tahun lalu.
Fakta lainnya, beberapa kajian di Perairan Danau Toba menunjukkan ikan endemik lokal nyaris hilang dan didominasi ikan nila. Karakteristik ikan nila yang cepat berkembang biak, beresiko menjadi pesaing ikan endemik lokal. Ikan nila mestinya dikembangkan dalam kolam/wadah yang terkontrol.